Jamu Ambung

Jamu ambung? Begini kisahnya…

Darto, wartawan keras kepala dalam banyak hal. Sebagai wartawan dia dikenal sebagai selalu atau sok ingin tahu segala hal sampai ke inti kebenarannya. Kalau ada peristiwa, atau katakanlah kasus, dia paling bersemangat untuk melakukan investigasi sampai segala macam jeroan dari kasus ini bisa dia ungkap. Dia tidak mau menerima fakta yang hanya berfungsi sebagai kulit-kulit peristiwa atau kasus. Bagi dia alangkah ruginya dan alangkah hinanya sebagai wartawan kalau mau menerima apalagi mau disuapi fakta dan kejadian yang sudah dikemas dalam bentuk press release atau lembar tertulis yang dibagi dalam konferensi pers. Sering kali ada logika fakta yang diungkap tidak nyambung dengan inti masalahnya.

Kalau ada press release atau lembar calon berita yang dibagi dalam konferensi press dia selalu melengkapinya dengan wawancara langsung dengan sumber pendamping yang ahli dalam masalah itu. Dia punya database para ahli dan dia hafal betul judul skripsi, tesis dan disertasi mereka juga tulisan mereka di jurnal terkemuka. Untuk ini dia rajin mendatangi pusat studi-pusat studi di kampus, akrab dengan kepala pusat studi, staf bahkan karyawannya dan mengenali cara berpikir mereka. Dengan demikian dia selalu bisa bertanya tepat kepada sumber yang tepat ketika menggali fakta. Ketika ada narasumber yang bilang off the record untuk pernyataannya yang sensitif misalnya dia selalu mengejar dengan pertanyaan yang lebih tajam dan menukik. Dia menanyakan soal hal itu apa pernah ada yang meneliti, laporan penelitiannya di mana bisa ditemukan, atau jurnal apa yang pernah memuat hasil penelitiannya. Kemudian setelah bahan cukup, dia dengan gaya detektif mengonfirmasi temuannya pada yang berkompeten dengan tetap bilang dia akan melindungi sumbernya dan hanya menyebut bahwa bahan berita itu dibaca di hasil penelitian atau tulisan di jurnal. Biasanya mereka tidak bisa menolak untuk memberi konfirmasi.

Nah ketika berita itu ditulis, diperkaya dengan temuannya sendiri di lapangan, di laboratorium dan di perpustakaan, para redaktur heran dan pemimpin redaksinya geleng-geleng kepala. Keberanian berburu kebenaran membuahkan tulisan berita atau laporan yang bermutu dan komprehensif tidak bisa dibantah oleh siapa pun. Tidak bisa dibantah satu kata pun. Sebagai wartawan professional dia selalu bekerja dengan kode etik, jujur terhadap fakta dan menggunakan bahasa yang lugas tapi sopan.

Kalau dia menulis berita atau laporan seperti ini biasanya kemudian pemimpin redaksi mengajak redaksi pelaksana dan redaksi bidang atau penjaga desk tertentu untuk rapat setengah rahasia. Tujuan rapat ini sederhana. Berita atau laporan yang ditulis oleh Darto dimuat atau tidak, seluruhnya. Tidak mungkin diedit karena Darto telah menulisnya dengan full edited sehingga berita itu menjadi utuh, kompak, tidak mungkin diubah atau dikurangi satu kata pun. Keras kepala dalam menulis berita seperti ini sungguh merepotkan redaksi dan pemimpin redaksi. Bagi Darto, dimuat syukur, tidak dimuat ya tidak apa-apa. Kalau dimuat dan mendapat reaksi, dikomplain, dia sudah siap mengantisipasi. Karena Darto dianggap mengganggu kenyamanan redaksi dan pemimpin redaksi dia pun dipindah tugaskan menjadi wartawan olahraga. Darto setuju, meminta waktu tiga hari untuk mempersiapkan diri dengan mempelajari segala hal ihwal olahraga. Dia berkonsultasi dengan dekan fakultas pendidikan olahraga yang kebetulan kakak kelas di sekolah menengah dulu. Dekan itu senang karena Darto serius dalam bekerja. Menggali ilmu olahraga ketika ditugaskan sebagai wartawan olahraga. Dia diantar oleh dekan itu untuk mengunjungi perpustakaan fakultas itu. Di tempat itu dia bisa berpesta informasi tentang olahraga. Ada kliping berita olahraga yang dihimpun dan dipilih berdasar cabang olahraga. Ada buku sejarah olahraga dan buku peraturan pertandingan setiap cabang olahraga, lengkap dengan istilah teknisnya. Dia juga mendatangi pengurus komite olahraga untuk mengetahui perkembangan terkini olahraga lengkap dengan prestasi dan pernak-pernik masalahnya. Selama tiga hari itu kerjanya setiap siang datang ke kantor membawa fotokopi kliping dan buku-buku serta bahan penting lainnya tentang seluk-beluk olahraga. Kemudian dia membaca sampai sore. Bahkan kadang sampai malam. Ketika temannya sibuk mengetik berita atau mengikuti rapat redaksi dua kali sehari dia minta izin untuk tidak mengikuti dan sibuk dengan bacaan seperti orang kuliah menghadapi ujian. Dia disindir oleh wartawan olahraga senior yang juga menjadi redaksi mengasuh halaman olahraga.

“Olahraga kan hiburan, kenapa kau serius amat mempelajari olahraga. Langsung praktik terjun ke lapangan. Lama kelamaan akan tahu seluk-beluk olahraga,” kata wartawan senior itu.

Darto tertawa.

“Mengapa tertawa?” wartawan senior itu tersinggung.

“Justru karena olahraga itu hiburan. Bagian dari industri hiburan maka saya serius mempelajarinya.”

“Kenapa? Dunia wartawan adalah dunia praktik. Bukan dunia teori.”

“Dunia praktik akan lebih asyik kalau dilandasi dengan penguasaan teori.”

“Asyiknya di mana? Kalau kau sibuk berteori, kau tidak sempat atau malahan tidak bisa menikmati pertandingan olahraga itu.”

Dasar Darto.

Dia menjawab begini, “Maaf, Mas, saya harus bisa berenang di lautan berita olahraga yang arus informasinya kadang berpusar-pusar. Saya tidak mau tenggelam dalam lautan berita dan dipermainkan oleh arus berita, saya tidak mau menulis berita asal saja. Kalau perlu saya yang menciptakan berita.”

“Kau sombong, keras kepala.”

Darto kembali tertawa mendengar komentar itu.

“Menjadi wartawan yang sungguhan itu harus sombong dan keras kepala. Untuk apa? Agar sebagai wartawan saya dihargai orang dan berita yang saya tulis dibaca orang.”

Wartawan senior itu diam. Mukanya merah padam. Sebenarnya dia ingin menampar mulut Darto tetapi tidak berani. Dia bertubuh kecil, kerempeng sedang Darto bertubuh tegap, besar dan berambut cepak mirip tentara. Wartawan senior itu tahu betul, kalau dia berani menampar mulut Darto yang amat menyebalkan itu, dia pasti akan ditangkis atau dibalas dengan sekali pukul, dia akan terkapar. Habis. Peristiwa di kantor ini Darto ceritakan kepada istrinya, Syilvia. Syilvia tertawa.

“Saya heran lho, Dik Syil, wartawan olahraga senior kok tubuhnya kurus, kerempeng dan seperti sakit-sakitan. Kena hembusan angin saja bisa terhuyung dan tumbang. Mungkin sebagai redaksi halaman olahraga dia terlalu lama duduk di belakang meja. Tidak sempat olahraga walau sekadar jalan kaki atau senam kebugaran.”

“Jangan mengejek dan melecehkan orang, Mas Darto. Tidak baik. Kasihan dia.”

“Orang macam dia kan pantasnya menjadi wartawan atau redaksi halaman seni budaya yang kerjanya melamun dan menghayati keindahan hidup. Bukan menjadi pemegang halaman olahraga.”

“Sebentar, Mas, hati-hati kalau bicara. Kalau kau melecehkan dia begitu, bisa-bisa Mas Darto sendiri terkena imbasnya, ditaruh oleh pimpinan menjadi wartawan dan redaksi halaman seni budaya.”

“Wah, Kau ada-ada saja Dik Syil,” kata Darto tidak peduli.

Ternyata apa yang dikhawatirkan Syilvia terbukti. Karena Darto tetap keras kepala dan selalu ingin tahu peristiwa olahraga sampai detail. Berita olahraga dia konstruksi menjadi anyaman fakta yang sudah mengarah pada analisis tentang mengapa kejadian dalam olahraga itu terjadi. Berita seperti ini sebenarnya disukai pembaca. Tetapi ketika dia berani membongkar kasus para pengatur skor dan praktik suap menyuap dalam cabang olahraga sepak bola yang menyebabkan olahraga ini berbiaya tinggi sehingga ada kepala daerah hampir korupsi untuk membiayai klub daerahnya, dunia olahraga di kota tempat dia bekerja geger. Pembaca senang. Tetapi banyak pelaku olahraga, pejabat terkait dan para sponsor kegiatan olahraga tidak senang. Mereka menelepon pemimpin redaksi dan meminta agar wartawan olahraga yang bertugas di lapangan diganti. Mumpung belum mendekati event olahraga nasional di mana biasanya terjadi hal-hal yang lucu di dunia olahraga. Semacam jual beli atlet antar daerah misalnya. Atau permainan bonus. Atau bahkan doping dan wasit yang memihak. Kalau Darto yang bertugas di event olahraga nasional, pasti semua hal yang lucu ini dia bongkar habis.

Pemimpin redaksi dan pemimpin perusahaan koran yang khawatir kalau berita model yang ditulis Darto terus diproduksi akan mengurangi jumlah iklan yang masuk dari perusahaan sponsor olahraga, terpaksa menyetujui permintaan mereka. Darto tidak lagi ditugaskan menjadi wartawan olahraga. Dia dipindah tugaskan menjadi wartawan seni budaya dan pariwisata.

Darto tersinggung, marah, dan semacam patah hati mendengar keputusan manajemen koran tempat dia bekerja. Dia berkali-kali menggeleng-gelengkan kepala, tidak mengerti dan murung di kantor. Shock. Wartawan olahraga senior yang mengasuh halaman olahraga bertubuh kerempeng itu bersorak dan tertawa-tawa dalam hati. Dia berjalan hilir mudik di depan meja kerja Darto sambil melirik ke arah Darto, tersenyum sinis. Darto hampir saja menampar mulut tipis wartawan senior atau sekalian memukul perutnya yang sepertinya selalu lapar itu. Tapi, Darto sadar, kalau dia lakukan itu, dia bisa dipecat sebagai karyawan kantor koran tempatnya bekerja. Oleh karena itu dia segera mengemasi buku, dan fotokopi berkas-berkas olahraga di atas meja dan memasukkannya ke kotak kardus bekas tempat mengemas mi instan. Fotokopi berisi lembar kertas data dan informasi tentang olahraga yang menumpuk di meja, setelah dia masukkan ke kardus mi instan dia bawa ke tempat penjaga kantor.

“Tolong ini dijual, dikilokan. Hasil penjualannya untuk beli gorengan untuk disuguhkan kepada redaksi yang piket malam hari, termasuk mas redaksi olahraga itu,” kata Darto dengan nada balas dendam.

Ketika hal ini Darto ceritakan kepada Syilvia, istrinya yang cantik berambut agak keriting mirip Marilyn Monroe dan bertubuh semampai, perempuan itu langsung berkomentar, “Lha rak tenan toh,Mas. Jangan melecehkan orang. Akibatnya kau kan kena bebendu seperti ini.”

Darto minta maaf kepada Syilvia karena bertindak ceroboh dan bodoh. “Lho, kok minta maaf kepada saya? Minta maaf kepada orang itu, dong.”

“Aku tidak sudi.”

Syilvia cepat memeluk dan mencium suaminya untuk meredakan kemarahannya. Lalu mengajaknya ke meja makan.

“Hari ini aku membuat masakan istimewa. Tongseng ayam kesukaanmu.”

“Jadi kau merayakan kekalahanku di kantor dengan masakan istimewa ini?”

“Bukan begitu, Mas Darto. Saya babar blas tidak tahu-menahu dengan peristiwa di kantormu. Saya hanya merasa sudah agak lama Mas Darto tidak menikmati tongseng ayam. Mau membeli di restoran tempatnya jauh dan Mas Darto pasti tidak punya waktu ke sana. Maka saya masak sendiri. Tadi sudah kucicipi. Rasanya pas dengan selera Mas Darto.”

Mendengar Syilvia berkata panjang lebar dengan tulus seperti itu, Darto luluh. Dia malah terharu. Hati yang luka di kantor, dihibur dengan masakan kesukaannya yang dimasak oleh orang yang paling dia cintai di dunia. Syilvia.

Sambil makan dan terus memuji keahlian Syilvia memasak, Darto ingat perjumpaannya dengan Syilvia yang waktu kuliah dikenal sebagai bunga kampus, yang kemudian menjadi bunga KKN. Waktu itu dia masih calon wartawan dan ditugaskan meliput macam-macam. Termasuk meliput mahasiswa sebuah kampus yang KKN di dekat desa Darto berasal. Waktu itu mahasiswa KKN sedang mengadakan pameran dan berdemonstrasi melakukan eksperimen membuat masakan dan minuman lezat dengan bahan baku waluh atau labu kuning, di pendapa kalurahan. Waktu itu Syilvia menjadi MC acara pameran dan demonstrasi masak-memasak. Dia menjelaskan dengan riang, dan mempersilakan tamu yang terdiri dari pamong desa, warga dusun dan para wartawan untuk menyaksikan dan menikmati hasil eksperimen para mahasiswa KKN.

Darto merasakan lezatnya masakan dan segarnya minuman yang terbuat dari waluh atau labu kuning. Dia memuji Syilvia dengan kata-kata puitis membuat hati Syilvia seperti ditumbuhi pohon bunga.

“Mbak, perempuan itu kalau ahli memasak ternyata bisa membuat kecantikannya berlipat ganda, seperti Mbaknya ini.”

“Ah tenane, Mas?”

“Sungguh, Mbak. Coba Mbaknya berkaca, kan tampak kecantikan Mbak bertambah tambah karena percaya diri sebagai ahli memasak.”

Mahasiswi itu tersipu.

Ketika hal ini dia laporkan kepada wartawan senior pengasuh halaman pendidikan, wartawan senior itu tertawa ringan.

“Memang, Dik, setiap wanita apalagi wanita cantik menyukai pujian. Dan untuk menaklukkan ya harus dengan pujian itu. Kau harus tekun menghujani dia dengan pujian.”

Dan itulah yang kemudian Darto lakukan terhadap Syilvia. Merasa dirinya kurang tampan dan hanya bernama Darto dia awalnya kurang percaya diri bisa menaklukkan hati seorang gadis cantik, bernama Syilvia lagi. Tetapi dengan jurus puji-memuji kecantikan, keluwesan, dan kebaikan Syilvia, akhirnya perempuan itu menjadi istri Darto yang juga disayangi ibu Darto. Hubungan menantu dan mertua dalam keluarga Darto lancar dan indah.

Saat menikah, Darto sudah menjadi karyawan tetap kantor koran dan menjadi wartawan sungguhan. Penghasilan Darto yang masih sedikit itu bisa dicakke dengan baik oleh Syilvia.

Setelah diwisuda, Syilvia bekerja menjadi guru TK unggulan karena dia memang lulusan dari pendidikan guru TK di kampusnya. Hanya masalahnya ketika dua anaknya lahir dan Syilvia merasa repot mengurus anaknya, dia berhenti mengajar. Apalagi saat itu keluarga Darto masih mengontrak rumah, dan setiap sekian tahun sekali berpindah rumah kontrakan. Bahkan sampai saat dia menikmati tongseng ayam, dia masih ngontrak rumah.

Darto tersenyum-senyum ingat semua itu.

“Hei, Mas Darto, kenapa tersenyum-senyum, ingat Bu Dosen ya?” tanya Syilvia menggoda.

Memang waktu dia dulu masih pacaran dengan Syilvia ada dosen perempuan kampus yang tertarik kepada Darto dan berusaha mendekati Darto.

“Ah, nggak. Aku hanya kangen pada masakan lezat dan minuman segar waluh itu,” Darto ganti menggoda.

“Mas Darto masih terus ingat hal itu toh.”

“Ya, jelas dong, itu peristiwa besar dalam hidup saya yang tidak mungkin saya lupakan.”

* * *

Awalnya Darto kurang bersemangat menjadi wartawan seni budaya dan pariwisata. Ia merasa menjadi wartawan seni budaya dan pariwisata kurang seru. Tidak ada tantangan. Semua seperti baik-baik saja, indah-indah saja dan berputar lancar seperti bumi memutari matahari. Apalagi dunia pariwisata yang penuh pesta dan suguhan indah dan gemulai wanita-wanita cantik dan muda, harum pula. Dunia penuh goda ini dia rasa bisa menumpulkan naluri kewartawanannya dan menggerus sikap keras kepala dia. Ia justru gelisah karena ini.

Ketika hal ini dia sampaikan kepada Syilvia, perempuan itu tersenyum manis. Melontar kritikan pedas.

“Mas Darto kurang serius dalam bekerja dan hanya hanyut dalam peristiwa di permukaan,” kata Syilvia membuat Darto tersentak.

“Lho, tenane,Dik Syil?”

“Lho, tenan.”

“Apa alasanmu mengatakan itu? Ada datanya?”

Kali ini Syilvia yang tertawa. “Mas Darto, yang jadi wartawan dan redaksi berita seni budaya dan pariwisata itu Mas Darto atau saya sih?”

“Jelas saya, dong.”

“Tetapi mengapa Mas Darto tidak tahu apa yang terjadi di balik peristiwa seni budaya dan pariwisata di kota kita ini? Mengapa Mas Darto malas menggali hal-hal yang bersifat mendasar dan hulu masalah seni budaya dan pariwisata? Apa Mas Darto tidak gelisah kalau membaca banyak sekali kasus seni budaya dan pariwisata yang terjadi selama ini? Sebagai istri wartawan, saya selalu membaca banyak koran yang dilanggankan kantormu di rumah ini. Saya perhatikan, Mas Darto hanya membaca sekilas berita seni budaya dan pariwisata lalu koran itu Mas Darto lempar ke meja di ruang tamu. Kalau saya, saya cermati betul berita-berita itu dan imajinasi kritis saya bekerja.”

Darto melongo mendengar penjelasan sang istri. Ia merasa Syilvia lebih hebat dari Darto.

“Mas Darto, di mana Mas Dartoku yang dulu? Yang selalu kritis bahkan nyaris sinis dengan

segala berita yang dimuat di koran dan selalu bilang bahwa kebenaran sering tidak muncul dalam pemberitaan koran dan televisi. Mas, di mana Mas Dartoku yang ahli investigasi kasus apa pun? Mas Darto, sampeyan ada di mana ketika semua itu terjadi?”

Darto tergagap. Sadar kalau dirinya berubah menjadi lumer karena salah persepsi terhadap masalah seni budaya dan pariwisata. Sebuah dunia yang tidak berarti apa-apa dan tidak bisa mengubah apa-apa, manusia atau masyarakat.

“Terus apa yang harus saya perbuat, Dik Syilvia,” tanya Darto bernada konsultasi kepada

istri. Seolah-olah waktu itu Syilvia adalah wartawan senior dan redaksi pengasuh halaman seni budaya dan Darto adalah wartawan baru yang tidak tahu apa yang harus diperbuat. Syilvia memandang suaminya dengan gemas campur iba. Syilvia langsung menubruk suaminya, memeluk erat dan menghujani dengan ciuman.

“Beginilah Dartoku sayang, apa yang harus kau lakukan,” bisiknya.

Darto tidak paham. Mengapa Syilvia justru mengajak bercumbu di saat dia bingung dengan apa yang harus dia lakukan.

“Apa maksudmu Dik Syilvia dengan semua ini?” kata Darto dengan napas mulai memburu. Dia sungguh bingung sekaligus nikmat.

Syilvia tertawa lirih lalu berbisik di dekat telinga suami. “Sayangilah pekerjaanmu sebagaimana kamu menyayangi istrimu.”

Kali ini Darto sungguh heran mendengar Syilvia mampu mengucapkan kata-kata mutiara semacam itu. “Dari mana Dik Syilvia menemukan kata-kata mutiara tadi?”

“Dari pengalaman hidupku Mas.”

“Lantas kalau diterjemahkan dalam bahasa teknis bagaimana?”

“Kata mutiara akan hilang keindahannya kalau diterjemahkan dalam bahasa teknis.”

“Nggak apa. Aku memerlukannya.”

“Begini, Mas. Sayangilah pekerjaanmu artinya kau harus menerima secara penuh pekerjaan sebagai wartawan seni budaya dan pariwisata. Kenalilah secara detail persoalannya. Tulis berita atau laporan sebagai bagian dari solusi atas masalah itu. Pelan-pelan Mas Darto akan sayang dan jatuh cinta pada pekerjaan baru ini.”

“Hebat kau, Dik Syilvia,” kata Darto sambil memeluk erat dan ganti menghujani istrinya dengan ciuman yang kreatif.

“Tetapi, sayangilah istri bukan hanya berarti Mas Darto harus memeluk dan menciumi saya setiap saat, nanti tidak sempat bekerja dong.”

“Lantas, yang jelas, menyayangi istri yang sekarang harus saya lakukan dalam bentuk tindakan apa, Dik Syil?”

Syilvia senang mendengar pertanyaan itu. Berarti suaminya siap mendengar adanya persoalan nyata yang harus dihadapi dalam rumah tangganya.

“Begini Mas Darto, lima bulan lagi kontrak rumah ini sudah habis dan pemiliknya kan sudah bilang tidak boleh diperpanjang lagi. Artinya, Mas Darto mulai besok hari harus melakukan survei atau mencari data dan fakta di mana ada orang yang mau mengontrakkan rumah. Rumah yang bersih dan suasana lingkungannya pas untuk kita.”

Mendengar itu, Darto mengenakan kaosnya dan membenahi sarungnya yang tadi berantakan.

Sambil berdiri menuju kamar mandi dia bertanya lembut, “Uang tabungan kita cukup untuk membayar kontrak rumah?”

“Cukup, Mas, cukup. Saya selalu menyisihkan penghasilan Mas Darto untuk keperluan strategis seperti ini,” kata Syilvia juga bernada lembut.

Mendengar itu, hampir saja Darto menubruk istrinya untuk dia peluk dan dia ciumi lagi, tetapi dia tahan. Jam segini adalah waktu menjemput anak pulang sekolah, lalu dia harus masuk kantor untuk memeriksa naskah berita baru dan mengikuti rapat sore.

* * *

Di rumah kontrakan baru itu Darto merasa harus menaklukkan dua tantangan serius. Tantangan di kantor dan tantangan di kampung. Dunia seni budaya dan pariwisata ternyata tidak setenang dan sedamai yang dia kira sebelumnya. Ada banyak arus nilai bersilangan, bahkan berbenturan. Persaingan di dunia seni budaya lebih hebat dibanding dunia olahraga. Bahkan dia menjadi tahu kalau persaingan di kalangan penyair mirip persaingan di dunia persilatan. Hanya para pendekar yang selalu mengasah jurus pedang kata-kata yang bisa bertahan dan bisa memenangkan pertarungan karya dan pertarungan wacana. Dunia cerpen dan novel tidak sekeras itu, tetapi tetap ada persaingan yang kadang mendebarkan juga. Untuk dunia seni rupa persaingannya lebih terlihat pada persaingan di pasar seni rupa. Harga karya seni rupa bisa digoreng, mirip saham, agar bisa menang di pasar seni rupa dan seniman yang beruntung bisa panen uang melimpah. kurator dan lembaga pameran menjadi dewa penentu nasib perupa dan karyanya. Seni musik kurang lebih sama. Pasar musik yang menentukan mana musik yang laku dan mana yang habis masa berlakunya kemudian menjadi karya klasik atau hilang dari peredaran.

Dunia seni teater lebih rumit. Keberhasilan sebuah grup teater bergantung pada keberhasilannya membentuk komunitas penonton kelihaiannya merayu sponsor. Pemain tokoh dan lakon yang disajikan juga berpengaruh. Sedang seni lawak mengalami pasang surut dan sepertinya lebih banyak surutnya sampai kemudian muncul stand up comedy yang beberapa saat merajai panggung televisi. Nah seni budaya tradisional biasanya lebih berkaitan dengan pariwisata. Kalau dunia pariwisata ramai dengan turis yang datang, mereka mendapat tanggapan, kadang borongan pentas yang lumayan. Sedang di balik gemerlap dunia pariwisata yang paralel dengan ramai tidaknya bandara dan stasiun sepur dan lokasi wisata ternyata tersembunyi persaingan yang kadang habis-habisan atau malahan saling menghabisi ibarat ungkapan Jawa asu gedhe menang kerahe, anjing besar memang dalam perkelahian memperebutkan pengunjung dan pembeli. Untuk ini besarnya modal dan keberanian bertarung sangat menentukan. Tetapi memang ada yang menarik, tumbuhnya desa wisata atau lokasi yang memadukan kuliner, landscape lingkungan dan pertunjukan seni bisa menaikkan kesejahteraan masyarakat, walau tidak seluruhnya.

Bagi Darto, pernak-pernik persaingan dan arus konflik di dunia seni budaya dan pariwisata membuat dunia itu tidak membosankan. Apalagi ketika restoran di tempat wisata dan di lokasi strategis kota kemudian harus bersaing dengan restoran yang bermarkas di hotel-hotel. Mereka menawarkan paket-paket masakan lokal dan nasional serta dikombinasi dengan masakan internasional dan Darto sering mendapat tugas menulis iklan berbentuk features. Ini mengharuskan dia mendatangi restoran itu, mencicipi makanan lezatnya lalu memotret dan mewawancarai koki atau manajer restoran. Serta mendaftar siapa saja tamu istimewa yang suka bersantap di tempat itu. Pulangnya dia diberi bingkisan masakan lezat itu. Ini tentu membuat istri senang, juga anak-anaknya. Tidak terasa tubuh mereka menjadi makmur dalam arti bertambah berat badannya.

“Mas Darto perlu bersyukur dipindah tugas di dunia seni budaya dan pariwisata. Ternyata ada surga kuliner tersembunyi di situ. Dan kurasakan makin lama berat badan Mas Darto makin bertambah. Coba bercermin. Selama kita menikah baru bulan-bulan terakhir ini badan Mas Darto menjadi gemuk.”

Mendengar kata Syilvia, Darto mengangguk membenarkan. “Mudah-mudahan aku bisa mengerem bertambahnya berat badanku. Aku khawatir tubuh gemuk menjadi tempat bersembunyi banyak penyakit,” kata Darto.

“Asal Mas Darto rajin senam dan olahraga di rumah, serta tetap suka makan buah dan sayuran saya kira semua baik-baik saja.”

“Amiin. Terima kasih, Dik Syil,” kata Darto sambil membayangkan adanya tantangan lain yang menggelisahkan dan harus dia taklukkan.

Tantangan di kampung ini tidak dia bocorkan ke istrinya. Syilvia. Sebab bisa menimbulkan salah paham dan pasti akan membuat Syilvia memintanya pindah rumah kontrakan ke kampung lain. Dasar Darto.

Wartawan selalu ingin tahu, usil, dan memperhatikan hal-hal yang orang lain tidak memperhatikan. Suatu hari dia menemukan ada keanehan di kampung baru ini. Dalam sebuah pertemuan tingkat RW dia melihat yang hadir lebih banyak para wanita ketimbang pria. Siapa mereka? Ketika pulang dari pertemuan dia bertanya kepada Pak RT yang kebetulan rumahnya searah dengan rumah yang dikontrak Darto.

“Mas, mereka adalah para janda.”

“Dan jumlah mereka lebih banyak dibanding para lelaki kampung ini?”

“Ya.”

“Kenapa?”

“Karena para lelaki atau para suami di kampung ini lebih cepat meninggal dibanding istrinya.”

“Para perempuan lebih awet umurnya ketimbang para lelaki?”

“Ya. Tepatnya begitu.”

“Kenapa bisa begitu, Pak RT?”

“Wah ini rahasia besar kampung ini. Tidak sembarang orang bisa mengetahui. Apalagi wartawan seperti sampeyan.”

Kalau Pak RT sudah bilang ini rahasia kampung, Darto memilih menghentikan pertanyaan. Sebagai ahli investigasi Darto tahu itu. Dia harus memakai strategi lain untuk menguak rahasia kampung ini. Sebuah rahasia yang menarik. Menantang untuk dibuka. Walau belum tentu pantas atau baik untuk ditulis. Yang jelas ia optimis bisa membongkar rahasia itu. Sebagai wartawan dia harus tahu segalanya. Malu rasanya menjadi wartawan kalau bisa dikalahkan oleh sebuah rahasia. Apalagi rahasia yang sepertinya tidak terlalu tebal selubungnya. Rahasia tentang lebih banyak lelaki yang lebih cepat mati ketimbang istrinya. Di kampung ini. Sampai di rumah Darto berpikir keras untuk mencari peluang.

Malam berikutnya ia bertugas ronda bersama lima warga kampung. Dua orang berusia tua. Tiga orang anak-anak muda. Regu peronda dibagi dua. Tiga orang berkeliling kampung mengambil beras jimpitan, tiga orang menjaga gardu ronda. Tiga anak muda itu bertugas keliling kampung dan mengambil beras jimpitan. Tiga orang lainnya bertugas menjaga gardu ronda.

Nah, ini kesempatan emas, pikir Darto. Dengan metode dom sumurup ing banyu, Darto secara halus menyusun pertanyaan demi pertanyaan yang mengarah kepada terkuaknya rahasia itu. Pengalaman hidup dua orang berusia tua itu banyak, mereka berebut cerita. Darto tinggal memancing arah dari obrolan.

“Mas Wartawan, sampeyan beruntung punya istri bukan berasal dari kampung ini,” kata yang satu.

“Kenapa Pak?” Darto memancing jawaban yang dia kehendaki.

Sampeyan memerlukan helm atau penutup kuping kalau ingin aman hidup bersama perempuan asli kampung ini,” kata lelaki tua kedua.

“Mengapa harus begitu, Pak?”

“Sebab perempuan di kampung ini paling cerewet sedunia.”

“Suara mereka lantang, Pak?”

“Tentu saja. Ditambah mata mereka setengah melotot.”

“Setengah melotot. Masak iya begitu, Pak?”

“Kalau Mas Wartawan tidak percaya, silakan menguping kalau ada perempuan kampung ini sedang menghardik dan memarahi atau menyalahkan suami atau siapa saja di rumah dia. Letusan senapan mesin dicampur ledakan mercon sebesar kaleng cat belum seberapa.”

Darto takjub. Sepanjang hidupnya dia belum pernah ketemu dengan kejadian seperti itu.

Ibunya sendiri, dia lihat tidak pernah memarahi ayahnya. Apalagi berkata keras dan cerewet seperti itu. Empat kali pindah rumah kontrak di empat kampung kota ini, juga belum pernah menemukan adegan seperti itu. Perempuan kampung ini memang luar biasa, cerewetnya. Pantas para suami lebih memilih mati dan bisa berpoligami dengan bidadari daripada hidup bersama perempuan bermulut drum band seperti itu.

“Apa di kampung ini tidak ada laki-laki yang berani poligami?”

“Boro-boro poligami, Mas Wartawan. Punya satu istri saja sering kali tidak berani menyentuhnya.”

Alangkah malangnya lelaki di kampung ini. Alangkah berkuasanya para perempuan di kampung ini, pikir Darto.

Tiba-tiba lelaki tua yang satu tertawa. Seperti tanpa sebab. Lelaki kedua bertanya, “Mengapa?”

Lelaki tua pertama membisiki lelaki tua kedua lalu keduanya tertawa terpingkal-pingkal. Darto heran, bingung dan tidak mengerti kenapa dua orang tua itu tertawa setelah berbisik-bisik. Karena merasa tidak tahan dengan situasi aneh itu terpaksa Darto bertanya, “Maaf, kenapa bapak berdua tertawa ya?”

Dua lelaki itu kembali tertawa.

Darto gemas. Dia lontarkan pertanyaan tajam, “Mengapa bapak berdua sebagai lelaki tua bisa awet umur dan tidak mudah mati sebagaimana banyak lelaki di kampung ini?”

Dua lelaki itu terhenyak. Berpandangan. Lalu tertawa lebih keras lagi, lama.

“Apakah bapak berdua ini punya jamu atau obat tertentu sehingga bisa awet hidup?”

“Ada, Mas Wartawan.”

“Manjur?”

“Manjur.”

“Apa nama jamunya?”

“Jamu ambung.”

“Heh, Jamu ambung? Apa itu, Pak?”

Darto penasaran. Dua lelaki tua itu merasa keceplosan bicara. Tidak mau menjawab pertanyaan Darto.

“Bertanya kepada orang lain saja, Mas Wartawan. Jangan bertanya kepada kami.”

Dua orang itu mengalihkan percakapan ke hal-hal sepele sampai tiga anak muda kembali dari berkeliling, membawa sekitar dua setelah kilogram beras hasil jimpitan.

“Tolong dibuat laporannya di buku ini ya.”

“Ya Mbah.”

* * *

Di warung angkringan di sudut kampung, Darto menanyakan jamu aneh itu. Akibatnya, seluruh yang hadir dan nongkrong di warung angkringan itu tertawa semua. Darto jadi malu. Tersipu dan meminta maaf karena telah mengajukan pertanyaan konyol seperti itu.

“Mas Wartawan, yang dinamakan jamu ambung itu tidak ada. Itu cuma karangan orang yang kurang kerjaan di kampung ini,” pemilik warung angkringan yang istrinya warga asli kampung ini mencoba menolong Darto.

“Betul, Mas, nggak ada itu.”

“Jamu ambung. Apa itu? Omong kosong.”

Yang lain membenarkan apa kata pemilik warung. Darto malah jadi bingung. Tetapi dia pura-pura tidak bingung. Kemudian muncul semangat untuk mengusut kasus ada tidaknya jamu ambung. Naluri dia sebagai wartawan mengatakan kalau jamu semacam itu memang ada.

Darto tidak tahu kalau warga kampung ini senang bercanda dan senang mengerjai para pendatang. Darto tidak tahu hal itu. Sebagai wartawan dia lumayan sembrono. Tidak bisa mencium gelagat orang kampung yang akan menjebak dia. Dia sama sekali tidak tahu dan tidak mendengar kalau dirinya sudah menjadi bahan pergunjingan warga kampung tentang semangatnya untuk mengetahui rahasia jamu ambung. Darto sama sekali tidak menyangka kalau di kampung itu ada lelaki setengah baya berkumis jarang mirip tikus yang suatu hari berbisik-bisik kepada temannya di saat ronda, tugas ronda di hari yang bukan tugasnya Darto.

“Mas Wartawan kita jebak saja ya.”

“Ya, Pak Lik.”

“Caranya gimana?”

“Begini.”

Lelaki berkumis tikus kemudian menjelaskan secara rinci cara menjebak Darto. “Kita tinggal menunggu kesempatan.”

“Ya, Pak Lik.”

Kesempatan itu datang ketika ada lelaki belum begitu tua meninggal. Meninggalkan istrinya. Berarti jumlah lelaki di kampung itu berkurang dan jumlah janda bertambah. Berita meninggalnya lelaki itu diumumkan di pengeras suara yang dipasang di kantor RW.

Darto datang ke pelayatan itu, dia merasa beruntung sekali ketika ada dua pelayat di dekatnya membicarakan jamu ambung dan siapa yang ahli meramu jamu itu. Ciri-ciri perempuan itu dan inisial namanya disebutkan. Seorang perempuan setengah baya. Darto terkejut bukan main ketika dia tahu siapa dia. Perempuan itu tetangga dekat. Pemilik rumah kontrakan. Dia seorang janda ditinggal mati suaminya. Tinggal sendirian karena semua anaknya pergi merantau. Rumah kontrakan yang ditempati Darto dengan rumah tempat tinggal perempuan itu terhubung oleh pintu butulan. Menghubungkan halaman belakang rumah tempat keluarga Darto dan keluarga perempuan itu sama-sama mengeringkan pakaian yang baru dicuci.

Perempuan itu ramah sekali. Masih tersisa kecantikan di wajahnya dan sisa kemolekan tubuhnya. Darto mendapat kesempatan menemui perempuan itu diam-diam ketika istri dan dua anaknya berbelanja ke mall sehabis mendapat uang gajian bulan ini. Syilvia mengajak dua anaknya berbelanja.

“Sudah ya, Mas Darto, saya berangkat.”

“Sudah ya, Yah.”

Tiga orang itu menyalami dengan mencium punggung tangan kanan Darto. Darto senang, bahagia, dan bersemangat membongkar rahasia keberadaan jamu ambung.

Rumah sepi. Dia kunci pintu depan, lalu dia membuka pintu butulan di belakang dan pura-pura memeriksa jemuran. Perempuan setengah baya itu muncul, memeriksa jemuran.

“Maaf, Bu, sebentar, saya mau tanya.”

“Ada apa ya?”

Darto menanyakan tentang kebenaran adanya jamu ambung. Kalau boleh dia ingin melihat. “Benar nih?”

“Benar, Bu.”

“Untuk apa?”

“Agar umur saya awet, Bu. Kata orang sini, khasiatnya begitu. Jamu itu katanya bisa membuat awet umur laki-laki kampung ini. Apakah benar demikian, Bu?”

“Benar, benar sekali, Mas,” jawab perempuan itu dengan wajah cerah dan matanya menyoroti tubuh Darto.

“Mari ke rumah saya. Kebetulan saya ada jamu itu. Dua gelas. Masnya hanya mau melihat saja atau mau meminum jamu itu?”

“Kalau boleh saya mau meminumnya biar bisa merasakan khasiatnya.”

“Dua gelas sekaligus?”

“Ya. Kalau boleh dua gelas sekalian.”

Perempuan itu mengajak masuk ke rumah. Pintu ditutup. Dikunci dari dalam. Lampu dimatikan.

“Lho, kok gelap, Bu?”

“Khasiat jamu ambung akan muncul kalau ada di ruang gelap.”

Darto berdebar-debar. Dia mencium bau harum. Parfum perempuan itu ternyata berkelas. Harganya mahal.

“Mau minum gelas yang pertama, Mas?”

“Ya, Bu.”

“Ini rasakan segarnya.”

“Nggg. Lho, kok begini, Bu?” Darto mau berontak tapi tidak bisa. Sampai regukan gelas pertama habis.

“Ini gelas kedua, Mas.”

Tiba-tiba Darto ingat Syilvia, istrinya. Selama hidup, dia belum pernah mengkhianati istrinya. “Maaf ya, Dik Syil. Dik Syilvia …,” keluh Darto.

“Ayo terus habiskan gelas kedua jamu ambung ini. Ayo!” perintah perempuan itu.

Aneh, Darto menuruti perintah itu sampai gelas kedua jamu ambung kering tandas. Dalam ruang gelap itu, diam-diam Darto menangis.

Dalam ruang gelap, perempuan itu tersenyum puas.

Yogyakarta, 17 Februari 2022
Mustofa W Hasyim
Latest posts by Mustofa W Hasyim (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!