Beliau adalah persis sebagaimana judul di atas. Tidak kurang dan tidak lebih. Setidaknya menurut penelusuran saya terhadap berbagai literatur yang menulis tentang biografi para sufi. Beliau berasal dari Bukhara. Kondisi rohani beliau begitu mengagumkan. Fokusnya kepada Allah Ta’ala sangat dahsyat.
Umur beliau sedemikian panjang, suatu kesempatan yang sangat leluasa untuk mempersembahkan sujud cinta yang paling tulus kepada hadiratNya. Beliau juga berkesempatan untuk menyaksikan Syaikh Junaid al-Baghdadi, sebuah kebanggaan di kalangan para sufi ketika menyaksikan seorang sufi yang agung.
Tentang beliau, Syaikh ‘Amu pernah berkata kepada Syaikh Abu Isma’il ‘Abdullah al-Anshari al-Harawi: “Aku pernah pergi ke Bukhara pada tahun 370 Hijriah untuk sowan kepada Syaikh Abubakar Falizaban. Rumah beliau hanya memiliki satu pintu. Aku mengucap salam kepada beliau. Beliau menjawab salamku dengan baik.
Aku kemudian masuk ke dalam rumah beliau. Beliau mempersilakan aku untuk duduk. Beliau menghidangkan kepadaku meja makan. Di atasnya ada roti, ada kacang-kacangan, juga ada garam. Aku sungguh sangat lapar. Kuulurkan tanganku untuk mengambil makanan. Ketika aku sedang makan, aku melihat Syaikh Abubakar Falizaban dalam keadaan menangis.
Maka kuhentikan makanku. Beliau kemudian berkata kepadaku: ‘Makanlah. Karena sesungguhnya tangisanku adalah tangisan kegembiraan, bukan tangisan duka cita. Suatu saat dulu, Syaikh Junaid al-Baghdadi pernah berkata kepadaku: Akan datang sebuah zaman seandainya seseorang sedang mengatakan sesuatu, maka orang di dekatnya tidak akan mendengar.’
Dan tidak akan ada seorang pun yang akan datang kepadanya untuk mendengarkan kata-katanya. Saya bersyukur kepada Allah Ta’ala karena sampai pada hari ini masih ada orang yang datang dari Herat ke Bukhara untuk belajar tentang tata krama. Zaman ini tentu saja masih lebih baik dibandingkan zaman tersebut.”
Apa yang bisa kita petik dari perjalanan hidup beliau? Pertama, rasa senang menyaksikan orang agung secara rohani sebagaimana Syaikh Abubakar Falizaban yang sedemikian bahagia menyaksikan Syaikh Junaid al-Baghdadi. Tentu saja hal itu sangat berpengaruh terhadap rohani orang yang senang melihatnya.
Kedua, menempuh jarak yang jauh hanya untuk sowan kepada seseorang yang mulia. Di tengah gemuruh kehidupan yang materialistik, tentu hal itu dipandang sebagai sesuatu yang tidak berguna, yang tidak menguntungkan sama sekali. Akan tetapi di tengah denyut kehidupan spiritual, hal tersebut sangat penting untuk ditempuh. Untuk semakin mengukuhkan kuda-kuda rohani.
Ketiga, menjamu tamu dengan sebaik mungkin. Tentu hal itu merupakan tindakan yang begitu agung sebagaimana yang telah disabdakan oleh Nabi Muhammad Saw. Di dalam salah satu sabdanya, Nabi Akhir zaman Saw pernah mengatakan bahwa di samping tamu itu datang dengan membawa rezeki, ketika pulang, ia juga “membawa serta” dosa-dosa tuan rumah.
Keempat, ada tangis kebahagiaan yang semestinya sering kali kita alami di tengah kehidupan yang semakin durja. Dengan tangis seperti ini, seseorang berarti telah dianugerahi kesanggupan untuk menyelami substansi kehidupan sebagaimana semestinya. Itulah apa yang disebut tangisan syukur. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Abu ‘Abdillah at-Turughbadzi - 13 September 2024
- Mayyirah an-Nisaburi - 6 September 2024
- Syaikh ‘Ali Bin Hasan al-Kirmani - 30 August 2024
Syarah Dzihaniđź’ś
Masa syaa Allah
Semoga semakin banyak pemuda pemudi yang mensucikan hati nya untuk menghadap Tuhan Yang Maha Agung di tengah dunia yang makin Hedon ini.
Barokallah ustadz🙏