
Nama lengkap beliau adalah al-Harits bin Asad al-Muhasibi. Kun-yahnya adalah Abu ‘Abdillah. Termasuk sufi pada generasi awal. Sangat masyhur dan terkemuka di antara mereka. Merupakan rujukan orang-orang di zamannya.
Beliau sangat menguasai baik ilmu lahir maupun ilmu batin. Sangat mendalam penguasaannya di bidang ilmu ushuluddin, mu’amalah, dan ilmu isyarat. Beliau memiliki sejumlah karangan. Juga sebagai guru rohani bagi kebanyakan orang Baghdad.
Beliau berasal dari Bashrah. Bermukim di Baghdad dan wafat di sana juga pada tahun 243 Hijriah, sepuluh tahun setelah wafatnya Imam Ahmad bin Hanbal yang merupakan salah satu imam madzhab di bidang fikih.
Beliau menempuh perjalanan rohani yang sangat ketat dan berat. Bayangkan saja, selama empat puluh tahun, jangankan berbaring, duduk saja beliau tidak pernah kecuali ketika shalat. Tidur dalam keadaan berdiri dengan menyandarkan kepalanya ke dinding atau apa saja.
Ketika ditanya kenapa mesti menempuh jalan rohani yang seperti itu, beliau menjawab dengan tegas: “Aku ini seorang hamba yang setiap saat harus siaga untuk melaksanakan perintah Tuan yang bisa datang sewaktu-waktu. Tak pantas rasanya bagi seorang hamba untuk berbaring atau tiduran.”
Beliau menyatakan bahwa seseorang yang telah sanggup membersihkan batinnya dengan muraqabah dan ikhlas, maka Allah Ta’ala akan menghiasi lahiriahnya dengan mujahadah dan mengikuti sunnah Rasulullah Saw.
Muraqabah adalah menjaga diri baik secara lahir maupun batin dari berbagai macam penyimpangan terhadap perintah-perintah hadiratNya. Sedangkan ikhlas adalah tidak memiliki tujuan apa pun di dalam beribadah kecuali terhadap hadiratNya.
Buah manis dari keduanya itu tidak tanggung-tanggung. Yaitu, lezatnya kesungguhan di dalam menempuh perjalanan rohani menuju kepada Allah Ta’ala dengan cara satu-satunya dan paling istimewa: menapaktilasi berbagai macam ketauladanan yang sangat terpuji dari Sang Penuntun Agung Saw.
Selain sebagai keberangkatan, hidup ini juga mesti dipahami dan dihayati sebagai jalan pulang. Berangkat dari Allah Ta’ala dan kembali kepada hadiratNya juga. Tentu kita sangat menginginkan bahwa dalam perjalanan hidup ini kita tidak digelayuti oleh kepedihan dan dukalara, tidak diganduli oleh rasa bosan dan kejenuhan, tapi sepenuhnya digerakkan oleh heroisme keilahian yang begitu syahdu dan mengasyikkan.
Untuk itu, tidak boleh tidak kita mesti senantiasa muraqabah. Tidak boleh tidak kita juga mesti senantiasa menghiasi diri dengan keikhlasan. Sehingga hidup kita senantiasa berdendang dengan musik-musik Ilahi dengan irama kebahagiaan dalam bingkai ridaNya. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Abu Nashr as-Sarraj - 14 March 2025
- Syaikh Bab al-Farghani - 7 March 2025
- Syaikh Abu Hamid al-Muhib - 28 February 2025