Beliau adalah ‘Ali bin Muwaffaq al-Baghdadi. Termasuk salah seorang sufi terdepan dan terdahulu di Iraq. Beliau adalah seorang pengembara. Pernah menyaksikan sufi terdahulu dari Mesir, Syaikh Dzun Nun al-Mishri. Tidak diketahui persis tahun kelahiran dan wafatnya.
Dituturkan oleh Syaikh Abu Isma’il ‘Abdullah al-Anshari al-Harawi yang dikenal dengan sebutan Syaikh al-Islam di dalam kitab Nafahat al-Unsi min Hadharat al-Qudsi karya Mulla’Abdurahman al-Jami bahwa Syaikh ‘Ali al-Baghdadi telah menunaikan ibadah haji sebanyak 74 (tujuh puluh empat) kali.
Bayangkan, jumlah itu bukanlah merupakan jumlah yang sedikit untuk ukuran orang naik haji. Itu betul-betul merupakan jumlah yang spektakuler yang bisa menjadikan kita berdecak kagum, terutama jika kita termasuk orang-orang yang menggandrungi dunia spiritual hingga mencapai kenikmatan rohani.
Lalu, tenteramkah beliau dengan pencapaian hajinya yang sedemikian menakjubkan itu? Puaskah beliau dengan prestasi spiritualnya yang begitu gemilang itu? Ternyata tidak, sama sekali tidak. Tidak sebagaimana yang dibayangkan oleh orang-orang yang merasakan rukun Islam yang kelima itu sebagai puncak madu rohani.
Setelah menunaikan ibadah-ibadah haji itu, Syaikh ‘Ali al-Baghdadi merasa sedang digulung oleh gelombang kesedihan. “Aku pergi melaksanakan ibadah haji,” ujar beliau seperti sedang ngelangut dirundung duka, “dan aku kembali lagi ke rumahku. Aku tidak memiliki hati dan waktu yang luang. Jika demikian, lalu bagaimana keadaanku ini?”
Konon, pada malam hari di saat beliau diganduli oleh gelombang kesedihan itu, di dalam tidur beliau bermimpi Allah Ta’ala. Tuhan semesta alam itu berfirman kepada beliau di dalam mimpinya: “Wahai putra Muwaffaq, apakah engkau akan mengajak ke rumahmu seseorang yang tidak engkau cintai? Andaikan Aku tidak mencintaimu, tentu Aku tidak memanggilmu ke rumahKu.”
Bermimpi Allah Ta’ala adalah sesuatu yang sangat luar biasa, sebuah karunia agung yang tak tepermanai, suatu pengalaman rohani yang pastilah sangat mengesankan bagi siapa pun yang pernah mengalaminya. Bayangkan, Tuhan semesta alam itu berkenan hadir dan menjumpai sang sufi di dalam mimpinya.
Dan tidak tanggung-tanggung, Rabbul’alamin itu mengajukan pertanyaan terlebih dahulu, ‘apakah engkau akan mengajak ke rumahmu seseorang yang tidak engkau cintai?’, terhadap sang sufi sebelum pada akhirnya memastikan bahwa tidaklah Dia memanggilnya ke rumahNya setiap tahun hingga 74 kali kecuali hal itu merupakan bukti cinta konkret hadiratNya kepada sang sufi.
Dengan demikian dapat dipastikan bahwa seseorang yang dicintai oleh Allah Ta’ala belum tentu merasakan adanya curahan cinta yang suci itu kepada dirinya sebagaimana yang dialami oleh sang sufi. Sampai kemudian Dia sendiri yang memberitahukan tentang kabar cinta hadiratNya itu kepada sang sufi. Di saat itu, sungguh sang sufi sangat berbahagia. Lebih berbahagia dibandingkan dengan mendapatkan bergunung-gunung emas. Bahkan dibandingkan dengan mendapatkan alam raya seisinya. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Abu al-Husin al-Harawi - 17 January 2025
- Syaikh Ahmad Nassaj al-Khaisy - 10 January 2025
- Syaikh Muhammad as-Sakhiri - 3 January 2025