Syaikh Fudhail bin ‘Iyadh

sudhagee.com

Beliau lahir di Kufah pada 723 M dan wafat di Mekkah pada 803 M. Semula beliau merupakan kepala rampok yang malang-melintang di dalam dunia kelam. Tapi takdir yang tidak lain merupakan kemurahan Tuhan bagi beliau kemudian menariknya ke dalam telaga rohani.

Sebab pertaubatannya dimulai ketika beliau tertarik dan jatuh cinta kepada seorang budak perempuan. Ketika dengan tampang sangar beliau memanjat tembok untuk menemui perempuan pujaan hatinya tersebut, dengan tidak sengaja beliau mendengarkan dari kejauhan seseorang yang sedang membacakan sebuah ayat berikut ini:

“Tidakkah sudah waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk khusyuk hati mereka di dalam berdzikir kepada Allah?”

Ayat 16 surat al-Hadid tersebut seketika menjadikan hati beliau tersentak, lalu tersadar secara rohani untuk meninggalkan segala kekelaman dosa-dosa sembari bergegas untuk memenuhi segala panggilan Allah Ta’ala. “Tuhan,” seru beliau dengan penuh kesungguhan, kepasrahan dan ketulusan, “kini sudah tiba waktuku untuk sepenuhnya berpihak dan berhasrat semata kepadaMu.”

Syaikh Fudhail bin ‘Iyadh tersentuh oleh ayat di atas, persis pada bagian hatinya yang paling rawan secara spiritual. Terkulai beliau. Hatinya kemudian menghambur ke arah hadiratNya dengan berbagai denyut dzikir. Perhatiannya hanya tertuju kepada Satu Titik yang merupakan awal dan akhir dari diri dan kehidupannya, juga sebagai awal dan akhir seluruh alam semesta itu.

Umur beliau semakin hari semakin bertambah, semakin bertambah pula kedekatan beliau dengan Allah Ta’ala. Sehingga akhirnya tersedot perhatian dan konsentrasi beliau secara utuh kepada hadiratNya belaka.

Pada saat yang bersamaan, dengan tandas beliau menepis segala sesuatu yang muspra dan artifisial, segala yang fana dan centang-perenang. Sampai-sampai beliau dengan segenap keteguhan hati menyatakan: “Seandainya dunia ini dengan segala sesuatu yang dikandungnya ditawarkan kepadaku dan aku tidak akan diperiksa karenanya, niscaya aku akan tetap memandangnya dengan penuh rasa jijik sebagaimana salah seorang di antara kalian yang merasa jijik ketika ketemu bangkai dan tidak ingin ujung bajunya sekalipun tersentuh oleh bangkai itu.”

Sebagaimana Kanjeng Rasul Muhammad Saw., kedudukan beliau di hadapan berbagai rezeki materi bukan terutama menerima, tapi sebaliknya: menolak. Tapi pada saat yang bersamaan, kesiapan rohani beliau senantiasa membuka pintu lebar-lebar bagi berbagai guyuran dan limpahan rezeki rohani. Sungguh, hal itu merupakan kelezatan spiritual yang tak tepermanai. Wallahu a’lamu bish-shawab.

Kuswaidi Syafiie
Latest posts by Kuswaidi Syafiie (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!