Beliau adalah Abu ‘Abdirrahman Hatim bin ‘Unwan al-Asham, seorang sufi agung pada generasi awal, berasal dari Balkh Afganistan, bersahabat dengan Syaikh Syaqiq al-Balkhi, guru bagi Syaikh Ahmad bin Khadrawih. Wafat di Wasyajird Balkh pada 237 Hijriah.
Cukup aneh juga penyematan idiom “al-Asham” atau “Si Tuli” itu terhadap nama beliau. Ceritanya begini. Beliau punya warung yang menjual berbagai kebutuhan pokok sehari-hari. Pada suatu hari, ada seorang perempuan tua yang berbelanja di warungnya. Tanpa disengaja, perempuan tua itu kentut, dan cukup nyaring bunyinya.
Lantaran peristiwa yang tidak nyaman itu, si perempuan diliputi rasa malu yang tidak kepalang. Terlihat wajahnya berubah menjadi pucat. Di saat itulah Syaikh Hatim dengan sigap mengambil sikap yang sangat bijaksana. Yaitu, pura-pura tuli alias tidak mendengar. “Hah, mau beli apa? Ngomong yang keras, aku tidak dengar!”
Menyangka bahwa sang pemilik warung itu ternyata tuli, si perempuan merasa lega, tidak jadi untuk terus diganduli rasa malu. Wajahnya menjadi cerah lagi. Seperti tidak pernah terjadi sama sekali adanya sebuah “insiden” yang memalukan.
Sejak saat itu, Syaikh Hatim secara terus-menerus berpura-pura tuli demi menutupi rasa malu perempuan tua itu. Tidak saja kepada yang bersangkutan, tapi kepada siapa pun yang berkomunikasi dengan beliau. Sebab, kalau hanya “tuli” kepada yang bersangkutan, sementara kepada orang lain tidak, betapa akan tetap merasa malu ia. Karena “tuli” beliau itu cuma pura-pura. Terus saja beliau berpura-pura tuli sampai akhirnya si perempuan itu meninggal dunia.
Betapa sangat bijaksana tindakan beliau terhadap sesama. Dan sikap bestari beliau itu tidaklah tumbuh dan menjulang kecuali dari genangan telaga spiritual yang sangat jernih sekaligus tangguh. Kedekatan dengan Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang telah menjadikan beliau sebagai wakil yang hebat dari kedua nama agung hadiratNya itu untuk senantiasa disebarkan di tengah kehidupan sosial.
Beliau pernah menyatakan bahwa setiap hari dirinya ditanya oleh Iblis tentang tiga hal: apa yang beliau makan, apa yang beliau kenakan, dan di mana beliau tidur. Dengan tegas Syaikh Hatim memberikan jawaban: “Aku makan kematian, aku mengenakan kain kafan, dan aku tidur di kuburan.”
Jawaban beliau sedemikian padat, lugas dan mendalam. Menjadikan Iblis senantiasa tidak memiliki peluang untuk menghunjamkan bujuk-rayu dan segala godaan. Ibarat rumah dengan pekarangannya yang pagarnya begitu rapat dan kuat sehingga tidak ada celah sedikit pun bagi maling-maling untuk menggarong apa pun yang ada di dalam pekarangan tersebut.
Bayangkan saja, makanan beliau adalah kematian, pakaiannya kain kafan, dan tempat tidurnya kuburan. Ungkapan yang menggunakan bahasa simbolis itu menunjukkan bahwa beliau telah mengalami mati dari segala damba kepada apa pun selain Allah Ta’ala. Hasratnya kepada selain hadiratNya itu tidak saja tumpul, tapi sepenuhnya musnah.
Di saat itulah hidup beliau sepenuhnya dipandu dan disetir oleh Allah Ta’ala, menjelma sebagai alunan musik spiritual yang sangat indah, muncul sebagai derai-derai keindahan sekaligus keagunganNya. Sebuah orkestra hidup yang memiliki nilai-nilai keabadian meski beliau masih bermukim di tengah hiruk-pikuk kefanaan. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Abu al-Husin al-Harawi - 17 January 2025
- Syaikh Ahmad Nassaj al-Khaisy - 10 January 2025
- Syaikh Muhammad as-Sakhiri - 3 January 2025