
Beliau adalah Yahya bin Mu’adz ar-Razi. Termasuk generasi awal di kalangan para sufi. Kun-yahnya Abu Zakariya. Julukannya Sang Penceramah. Beliau lahir di Ray Iran pada tahun 830 M dan wafat di Nisapur Iran 871 M.
Tentang kepiawaian dan kecerdasan beliau di dalam menjelaskan berbagai macam pemahaman keagamaan, seorang sufi bernama Syaikh Yusuf bin Husain ar-Razi memberikan suatu kesaksian yang cukup menarik. “Aku telah mengunjungi seratus dua puluh kota,” ungkapnya, “untuk menemui para syaikh, para alim, dan ahli hikmah. Aku tidak menemukan di antara mereka yang lebih fasih dibandingkan dengan Syaikh Yahya ar-Razi.”
Di dalam salah satu ungkapannya, Syaikh Yahya ar-Razi menyatakan bahwa beliau lebih mencintai dan lebih menghargai rasa hancurnya para pendosa dibandingkan dengan kegagahan mereka yang patuh.
Sebuah pandangan spiritual yang sangat brilian. Bagaimana mungkin tidak, bukankah dengan merasa hancur berkeping-keping seorang pendosa tidak saja telah memasuki gerbang keinsafan, tapi juga berarti telah melakukan penafian habis-habisan terhadap segala “kelebihan” dan pernak-pernik egoisme dirinya sendiri?
Hal itu jauh lebih menggembirakan dibandingkan dengan kegagahan dan perasaan jemawa yang dimiliki oleh seseorang yang begitu getol dan tekun di dalam melakukan sejumlah “ibadah” atau “kepatuhan”. Baik secara langsung kepada Allah Ta’ala maupun dalam konteks relasi sosial.
Idiom ibadah dan kepatuhan di atas itu sengaja saya letakkan di antara dua tanda kutip. Sama sekali bukanlah tanpa alasan. Tapi jelas bahwa ketika ibadah atau kepatuhan itu masih dibarengi dengan adanya perasaan gagah dan jemawa di dalam diri pelakunya, hal itu mengindikasikan bahwa ada sesuatu yang rusak pada substansi ibadah atau kepatuhan tersebut.
Penyakit seperti itu bisa berimplikasi pada “pengultusan” diri sendiri di satu sisi, sementara pada sisi yang lain sang pelaku “ibadah” itu akan memandang remeh dan rendah orang atau kelompok lain yang tidak sejalan dengan persepsi dan pikirannya sendiri tentang agama dan kesalehan.
Kondisi rohani yang suram seperti itu akan menjadikan seseorang yang mengalaminya dibelenggu oleh perasaan salah sangka. Yaitu, dia mengira dirinya sebagai orang terdepan di dalam kepatuhan kepada Allah Ta’ala, padahal tanpa disadari dia sebenarnya sedang terlempar dan terpelanting jauh dari hadapan hadiratNya. Terkungkung oleh ego dan prasangka buruknya sendiri.
Sedangkan orang yang luluh-lantak dan jiwanya merasa hancur berkeping-keping oleh angkara murka dan dosa-dosanya sendiri, pastilah dia merasakan bahwa semua kelebihan yang semula dimiliki telah sepenuhnya terpreteli, digantikan oleh perasaan hina.
Kini, setelah dia merasakan bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa, bahkan merasakan dirinya tak lain hanyalah rongsokan belaka, sepenuhnya lalu meluapkan pengharapannya yang paling puncak kepada Tuhan Yang Maha Pemurah dan Maha Pengampun. Di saat itu dia mulai berbenah. Lalu berlari menuju cinta dan kasih-sayang hadiratNya. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Hamzah al-‘Uqaily - 7 February 2025
- Syaikh Amirjah Bayya’ al-Fikhar - 31 January 2025
- Syaikh Abu al-Muzhaffar at-Tirmidzi - 24 January 2025