Wabah

ilustrasi-cerpen-wabah-EDIT“Dengarkan, dengarkan saya!”

Tak ada yang memperhatikan, semua ramai.

Sujud mengerjap, kumis tebal mirip kumis Freddie Mercury tampak nyengir kepanasan. Suara beratnya kalah oleh suara cempreng khas ibu-ibu yang bergosip perihal tetangga yang sudah tak perawan lagi namun sampai sekarang masih belum menikah.

Sujud dianggap gila, beberapa hari ini dia berteriak “Dengarkan!” namun tak kunjung menjelaskan apa yang ingin disampaikan.

Dia sekarang duduk di samping makam perawan yang baru mati beberapa jam lalu, bukan putrinya, bukan pula saudaranya ataupun pacarnya. Namun, seorang perawan dengan hidung besar yang dibilang mancung telah tewas sebelum diperawani oleh suaminya. Dia tewas bukan karena takut oleh itunya suami, tetapi karena mendengarkan apa yang dikatakan Sujud.

Itulah yang membuat Sujud ketakutan ketika ingin mengatakan apa yang ingin disampaikan olehnya, sebab siapa pun yang mendengarnya bisa saja mati. Dia hanya bisa teriak “Dengarkan!” namun tak bisa mengatakan apa yang ingin dikatakannya.

Sujud berjalan meninggalkan kampungnya, jauh nun ke negeri antah dia menuju. Dia hanya membawa bekal seadanya; sandal, sepasang pakaian, dan kalimat yang ingin disampaikannya. Sesekali ketika menemui kafilah-kafilah dagang, dia berteriak “Dengarkan!” dan beberapa yang mau mendengarkan informasinya tiba-tiba kejang-kejang seperti terkena penyakit ayan massal.

Penyakit terbaru di era Sujud. Ayan massal dan mampu menyebabkan penyakit jantung, langsung mati di tempat. Lebih berbahaya dari rokok atau koreknya, karena mampu membunuh dalam waktu sekejap saja.

Penyakit itu mampu berevolusi apabila orang yang mendengarkannya itu masih bisa selamat, walaupun kecil kemungkinannya. Evolusinya lebih mengerikan, dan sabun apa pun tak mempan karena itu bukanlah sekadar bakteri yang mampu berevolusi seperti di iklan-iklan. Hasil evolusi itu bukan sekadar e-coli, e-boong, ataupun e-curut yang mampu menular melalui satu media saja, karena wabah penyakit itu mampu menularkan penyakitnya melalui banyak media; televisi, radio, maupun lewat telinga secara langsung.

Hal itu dibuktikan oleh Prof. Suhadi yang melakukan uji coba dengan korban para anjing yang mampu mendengar suara yang sangat pelan, dengan cara menyiarkan radio dengan volume yang superpelan hingga manusia-manusia biasa tidak dapat mendengarnya. Dan hasilnya, ratusan anjing itu mati kejang-kejang di pelataran rumah, di kasur majikan, di WC, hingga akhirnya mati. Bahkan anjing para tuan polisi pun tak mampu bertahan hidup.

Asal mula wabah penyakit itu tidak bisa ditangkap ataupun dijinakkan. Karena penyebab wabah penyakit itu sudah sangat jinak, melebihi anjingnya Mbok Jinah yang mati beberapa waktu lalu akibat ulah konyol Sujud yang mengajak bicara anjing itu.

Di sebuah perkampungan yang sepi,   Sujud berhenti menapakkan kakinya. Dia menatap takzim orang-orang yang tiba-tiba menutup rapat-rapat pintu dan jendela rumahnya. Mungkin isu tentang Sujud sudah sangat luas beredar di muka bumi yang orang bilang selebar daun kelor ini.

“Dengarkan, tolong dengarkan saya!” teriaknya sedikit putus asa, melihat seorang lelaki tua yang tampak masih di luar.

Sujud menghampiri lelaki tua itu dan memohon agar lelaki tua itu mendengarkan apa yang ingin dia sampaikan, selain itu dia berharap agar lelaki tua itu dapat membantu masalahnya itu. Namun risiko yang paling berbahaya menjadi kendalanya. Lelaki tua itu bisa mati.

“Simbah, bantu saya, Mbah!” seru Sujud bersimpuh di kaki berdaki lelaki tua itu.

Lelaki tua yang mengenakan gamis cokelat dengan serban putih itu mengangguk-angguk, tampak menyetujui.

Lelaki tua itu menatap takzim ketika bibir tebal milik Sujud bergerak-gerak mengatakan sesuatu. Dia tampak mengerti masalah yang menimpa Sujud, dibuktikan dengan anggukannya yang berulang-ulang dan elusan tangannya pada kepala Sujud.

Sujud terkesima menatap lelaki tua itu, dia takjub ketika lelaki tua itu tidak kejang-kejang seperti orang yang mendengarkan dirinya bercerita. Dia juga tidak mati.

“Bagaimana, Mbah?” tanya Sujud berharap mendapat jawaban dari masalahnya itu.

“Hemm…,” gumam lelaki tua itu.

Sujud kembali terkesima melihat lelaki tua itu yang tampak sedang memikirkan sesuatu.

Nak, aku iki budek. Aku ora iso ngrungokke omonganmu,”[1] ujar lelaki tua itu pelan sembari mendekatkan mulutnya pada telinga Sujud seakan-akan Sujud sendirilah yang tuli.

Beberapa hari kemudian, di televisi dan radio tersiar kabar bahwa menulikan telinga adalah cara paling ampuh menanggulangi penyakit yang berbahaya itu. Beberapa orang cerdik mengakalinya dengan menulikan salah satu telinga saja, tidak perlu keduanya, jadi apabila Sujud tidak hadir di tengah-tengah mereka, mereka tetap bisa bergosip seperti biasanya.

Sujud merasa didiskriminasi. Dia sangat putus asa, hingga dibilang stres oleh beberapa tetangganya.

Di rumah, Sujud hanya berdiam diri untuk mencari akal agar dia bisa mengatakan apa yang ingin dia katakan, namun tidak sampai membunuh yang mendengarkannya. Bagaimana caranya?

Beberapa hari kemudian, hari itu masih pagi sekali, bahkan matahari pun belum berani menunjukkan dadanya yang terbakar. Sujud tampak keluar rumah dengan menenteng ratusan lembaran kertas dengan penuh coretan, lembaran itu dia tempelkan di tiang listrik, tembok, pagar beton, dokar, pintu pasar, pintu WC, dan beberapa tempat lainnya. Dia berharap dengan cara ini dia mampu memberi tahu orang-orang, tanpa harus membunuh orang-orang itu.

Beberapa saat kemudian, orang-orang terdengar riuh mulai berangkat ke pasar. Matahari pun masih belum terbit.

Sujud kala itu tampak duduk termangu di pinggir jalan, tepat di samping lampu jalan yang bertahun-tahun tidak terpasang lampunya. Sesekali dia menatap ke arah timur, mencoba menjemput matahari. Dalam kepenatan, Sujud pun tertidur.

Riuh terdengar memekakkan telinga Sujud, dia mengerjap menatap sekitar dengan penuh pengharapan. Tampak matahari mulai terang, huruf-huruf yang ditulis Sujud pun perlahan-lahan kelihatan.

Dia mengarahkan pandangannya pada perempuan, tampak takzim menatap tulisan yang ditulis Sujud di sebuah pintu pasar. Beberapa saat kemudian, perempuan itu jatuh terkulai lemas di depan pintu pasar, diawali dengan ayan.

Semua berduyun-duyun mengitari perempuan tadi, satu dua orang memeriksanya. Dia masih hidup.

Seorang yang masih muda dan kekar, bertanya-tanya apa yang membuat perempuan itu tiba-tiba terkulai lemas?

Riuh kembali terdengar ketika beberapa orang lain mulai terkulai pingsan. Pemuda itu berlari ke arah beberapa orang tadi, dia tampak menyadari apa penyebabnya.

“Saudara-saudara sekalian, tutup mata kalian!”

“Ada apa? Ada apa?”

“Jangan baca tulisan yang ada, itulah yang menyebabkan mereka pingsan seperti ini. Mungkin ini ulah si penyebar wabah setan itu, ini ulah si Sujud,” teriak pemuda itu.

“Apa kamu sudah membacanya?”

“Tidak! Aku tidak mau membacanya, tapi aku melihat Sujudlah yang menempelkan kertas-kertas ini tadi subuh.”

“Tangkap Sujud, dia berbahaya!” salah seorang ibu kurus berseloroh.

“Tangkap! Tangkap!”

“Di sana, dia berdiri di sana, Sujud ada di sana!” teriak salah seorang pemuda.

Mereka semua berlari ke arah Sujud, kemudian menutupi kepala Sujud dengan karung goni lecek penuh tambalan bekas wadah bulu ayam tukang jagal sebelah. Mereka membawanya ke polsek setempat dan mengamankannya.

Sehari kemudian, Sujud langsung menjadi tersangka sebagai penyebar gosip maut yang telah banyak membuat orang pingsan tak sadarkan diri dan mati.

Sujud memang sudah menjadi incaran polisi akibat kalimat-kalimat serupa wabah yang didesuskannya itu. Namun ketika mau menangkap Sujud, tidak ada bukti, bahkan tidak ada saksi karena kebanyakan mereka yang mendengar celotehannya langsung mati atau pingsan dan kemudian berakhir di RSJ.

Polisi cepat bergerak, hari itu juga berkas dan bukti lembaran kertas yang mengakibatkan orang-orang pasar pingsan dan ayan dibawa ke pengadilan tanpa disidik lebih lanjut. Keesokan harinya, Sujud mendapatkan kabar bahwa besok dia akan disidangkan, otomatis kini dia menjadi terdakwa.

Dia menatap sekilas wajahnya pada genangan air hasil rembesan hujan di dalam terali. Sudah lama aku tak berkaca, wajahku sangat buruk, seperti cecak saja.

Paginya, Sujud digiring menggunakan iring-iringan mobil yang sangat panjang, dia juga menjadi tontonan warga sekitar. Dia miris melihat dirinya saat ini. Seperti teroris atau tukang jual pil koplo saja aku ini.

Sujud didudukkan di sebuah kursi yang dibilang panas. Sebenarnya kursi itu tidak panas, bahkan dingin, karena AC yang berembus di ruang kejaksaan sangatlah rendah.

“Saudara Sujud, kita mulai persidangannya!” teriak Hakim Ketua yang sudah cukup tua itu.

Sujud mengangguk pasrah, dia duduk sendiri tanpa didampingi pengacara ataupun keluarganya, karena dia tidak punya keluarga.

“Silakan, Jaksa Penuntut Umum!”

Jaksa Penuntut Umum mengangguk seraya berdiri. “Saudara Sujud, pada hari ini, Anda didakwa sebagai penyebar isu negatif dengan pasal 28 ayat 2 UU ITE, karena dengan sengaja menyebarkan informasi yang menimbulkan rasa kebencian, permusuhan, dan lain-lain. Anda bisa divonis paling lama enam tahun penjara dan denda paling banyak satu miliar rupiah.”

Sujud meneguk ludah.

“Ada pembelaan?” tanya Hakim Ketua.

“Anu….” Sujud meneguk ludah kembali. “Tapi, saya tak menyebarkan kebencian. Saya hanya memberi tahu bahwa….”

“Cukup, jangan beri tahu kami!” potong Hakim Ketua.

“Tapi, benar saya tidak menyebarkan informasi yang menimbulkan rasa kebencian, permusuhan, dan lain-lain itu,” bela Sujud.

“Tolong tunjukkan bukti, Bapak Jaksa Penuntut Umum!”

Jaksa itu meneguk ludah. Dia tampak sangat berhati-hati mengambil barang bukti yang berada di samping kursinya. Dengan ragu, dia berusaha mengambilnya tanpa harus mengetahui isinya.

Dengan cepat, Jaksa Penuntut Umum itu menyerahkan barang bukti yang dibawanya pada Hakim Ketua. Tampak dia sangat jijik dengan barang bukti itu.

“Ini buktinya!” teriak Hakim Ketua.

“Tapi isinya adalah sesuatu informasi yang baik, Tuan Hakim. Anda bisa membacanya, kan?” Sujud kembali mencoba membela diri.

Hakim Ketua meneguk ludah. Dia merasa bahwa tanpa mengetahui isinya, dia tidak mungkin bisa memutuskan perkara itu. Dia merasa berkewajiban untuk menyelesaikan masalah itu di akhir masa jabatannya.

“Baiklah.” Hakim Ketua menghela napas panjang. “Kita tunda sidang ini selama tiga menit.”

Dengan cepat dia membuka ponselnya yang sudah sangat jadul, kemudian mencari nomor kontak anak istrinya.

“Mak, Bapak mungkin bisa mati hari ini,” katanya lugas.

“Kenapa, Pak?” tanya istrinya, kaget.

“Hari ini Bapak mendapat giliran memutuskan kasus si Sujud. Sebagai hakim yang baik, tentu Bapak harus tahu apa yang disampaikan si Sujud itu, kemungkinan Bapak bisa mati.”

Istrinya terdiam sebentar. “Emak pasrah, Bapak. Jika itu memang sudah takdir, Bapak harus menerimanya. Jadilah hakim yang baik, maka hasilnya pun baik.”

Sang hakim ketua tertegun beberapa saat. Dalam benaknya, dia ingin meninggalkan sesuatu yang baik di akhir pengabdiannya saat ini.

Dia meneguk ludah ketika salah seorang hakim pendamping menunjuk ke arah pergelangan tangan, memberi kode.

Hakim ketua itu tampak mengambil dua buah spidol berwarna merah dan biru serta dua lembar kertas yang cukup besar. Di lembaran pertama, Hakim menuliskan dengan spidol merah: Bersalah, penjara 6 tahun dan denda satu miliar. Kemudian, di lembaran kedua dengan spidol biru: Tidak bersalah, bebas.

“Sidang dilanjutkan, mohon semuanya tenang!” Hakim ketua itu kembali memulai. “Baiklah, Saudara-saudara, permasalahan ini benar-benar baru pertama kali selama berpuluh-puluh tahun saya menjadi hakim. Sebagai hakim yang baik, saya tetap harus membaca dan mengerti barang yang dijadikan bukti, walaupun dengan risiko saya bisa pingsan dan stres atau mungkin saja mati.”

Para hadirin terkesima, begitu juga dengan Sujud.

“Di sini, ada dua lembar kertas. Apabila saya telah membaca dan mengerti barang yang dijadikan bukti itu memang sebuah pelanggaran, maka saya akan mengangkat lembaran dengan tulisan berwarna merah di samping kiri saya ini.” Hakim Ketua menunjukkan lembaran yang ada di kirinya. “Dan apabila barang bukti itu tidak mampu membuktikan bahwa Saudara Sujud bersalah, maka saya akan mengangkat lembaran yang satunya.”

Hakim ketua itu tampak gemetar sembari mengangkat kedua tangannya untuk berdoa. Dalam benaknya hanya satu. Mati.

Beberapa detik kemudian, hakim ketua itu perlahan-lahan membuka salah satu barang bukti berupa lembaran yang ada di depannya. Tampak wajah para hadirin waswas dan ngeri melihat keberanian hakim sepuh itu.

Hakim itu tampak takzim membaca kata demi kata, dia tampak tercekat. Semua ikut tercekat takut. Tangannya gemetar sehingga lembaran bukti itu lepas dari genggamannya. Dengan cepat namun gemetar, dia menambahkan sebuah kata dalam salah satu lembaran.

Semua tampak takzim, beberapa orang tampak ketakutan setengah mati, bahkan ada yang terkencing-kencing di ruangan itu. Mereka semua menunggu keputusan terakhir hakim itu.

Hakim itu tampak menunjuk lembaran yang dia tulis tadi. Dia tidak mampu mengangkatnya lagi. Beberapa detik kemudian, dia terkulai lemas dengan palu dan spidol masih dalam genggaman.

Riuh terdengar, beberapa saat kemudian salah seorang hakim lain menyatakan bahwa hakim itu telah tewas.

“Hukum mati saja orang itu!” salah seseorang berteriak emosi.

“Dia membunuh hakim!” timpal yang lainnya. Beberapa detik kemudian, suara sumbang seperti itu berubah seperti lagu, beberapa dari mereka tampak berorasi.

Melihat hal itu, salah seorang hakim pendamping tampak berinisiatif membacakan hasil keputusan hakim ketua tadi.

“Tolong tenang, Saudara-saudara sekalian, kita lihat hasilnya ini.”

Semua tenang. Hakim pendamping itu mulai mengangkat lembaran itu dan terkejut. Semua diam dan waswas.

“Apa hasilnya?” celetuk salah seorang hadirin.

Dia menunjukkan lembaran hasil itu. Sebuah tulisan besar tertera di atasnya. Tidak bersalah, bebas. Dan di bawah tulisan itu ada sebuah tulisan kecil yang tampak acak-acakan. Tulisan itu adalah: Ketahuilah, itu hal yang baik.

Semua terdiam.

“Ini sesuatu yang baik?” tanya hakim pendamping itu.

“Iya, kalian semua sebenarnya harus tahu,” jawab Sujud yakin.

“Beri tahu kami,” pinta hakim pendamping itu.

“Tidak, kami tidak mau mati.” Salah seorang hadirin berseloroh.

Terjadi keributan di ruang sidang itu, semua saling bersahutan, pro dan kontra saling bertubrukan. Seperti mesin-mesin diesel karatan, suara sumbang mereka kembali bersahutan.

Suara palu yang diketokkan berbunyi keras. “Jika ada orang yang tidak mau mengetahui sesuatu yang baik ini, silakan keluar!” teriak hakim pendamping itu.

Tidak ada yang keluar, mungkin gengsi dikatakan takut akan kematian.

“Baiklah, jika semua ingin mengetahui kebenaran, walaupun kita berkorban nyawa, kebenaran harus diketahui dan ditegakkan.” Hakim itu berorasi. “Saudara Sujud, tolong katakan apa informasi yang baik itu?”

Sujud meneguk ludah. “Tuan Hakim yang terhormat, sesuatu itu bukanlah hal yang baik, tetapi orang yang mengetahuinya akan mati apabila dia tidak memiliki banyak dosa, dan apabila orang yang mengetahui itu memiliki banyak dosa, maka dia akan stres.”

Semua terdiam, beberapa dari mereka tampak mulai mengoreksi diri. Mereka saling meneguhkan, dan hanya beberapa orang saja yang merasa banyak dosa langsung beranjak keluar.

Insya Allah, Allah telah mengampuni, beri tahu kami!”

“Saudara sekalian, dengarkan! Dengarkan! Jum’at depan, semua pendosa akan mati dengan sangat tersiksa, dan beberapa waktu selanjutnya, waktu akan berhenti dan akhir zaman telah menghampiri. Orang-orang baik yang mendengar kalimat ini akan mati, dan pendosa akan menjadi gila, kecuali saya.”

Semua tercekat, para hakim tampak bergelimpangan tergolek tanpa nyawa di altar para hakim, begitu juga para hadirin yang berani mengambil risiko besar itu.

Tampak di antara mereka masih bernapas, dan bisa dipastikan bahwa mereka akan stres bahkan gila ketika bangun dari pingsannya.

Dalam benaknya, Sujud bertanya-tanya.

Apakah aku salah satu pendosa besar? Hingga aku tak bisa mati seperti mereka? Apakah aku ini gila? Bahkan aku tidak pingsan?

Penggik, 27 Januari 2015

[1] Bahasa Jawa: Nak, saya tuli. Saya tidak bisa mendengar ucapanmu.

Andrean Putra
Latest posts by Andrean Putra (see all)

Comments

  1. Nuniek KR Reply

    Keren!

  2. Vikoh Aristi Reply

    bagus banget kak

  3. senja rin Reply

    Cerpen berbobot 🙂

  4. Jihan Nur Pratiwi Reply

    Biasanya cerpen kayak gini kesannya berat, sulit ditelaah, tapi penulis nyatanya bisa membuat cerita mengalir ringan dan penuh. Sosok Sujud bikin penasaran, lucu, dan unik. TOP!

  5. Imelda Yope Reply

    Wuihh, orang2 mungkin akan memilih buat mati.
    Nice!!!

  6. yadi karyadipura Reply

    Idenya menarik. alurnya juga ringan. tapi siapakah Sujud? apakah dia Imam Mahdi pembawa berita kiamat ??

  7. ME Reply

    di luar kebiasaan.
    luar biasa 😀

  8. Guest Reply

    Sujud barangkali adalah iblis?

  9. turyono ari Reply

    Aku masih penasaran siapa sujud itu ? Keren. keren.KEREN!

  10. Bela Marezan Reply

    Wow, keren. Saat baca ini, aku merasakan hal yang sama saat aku baca novel Harimau! Harimau! karya Mochtar Lubis

  11. Ketut s Reply

    Keren, ditunggu karya selanjutnya

  12. Pa'i Reply

    Keren! Ditunggu kelanjutannya 🙂

  13. Awindha Reply

    wahh 4 jempol deh (y)

  14. Dyah Iffah Novitasari Reply

    aaaaa keren banget!

  15. Antika Atsna Rafalesia Reply

    keeeereeeen bangeet cerpennya

  16. Leah Reply

    OOfftt, kehadiran Sujud dan bagaimana dia tau informasi itu masih jadi misteri, banyak yang belum terkuak di cerpen ini cuman itu ninggalin kesan yang “wah” banget buat pembaca, KERENN lanjutin terus kak!

Leave a Reply to Nuniek KR Cancel Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!