Belajar pada Buddha dan Mengamini Cara Kerja Yin & Yang

ying-yang-buddha

Suatu kali ketika berada di suatu desa, Sang Buddha dan Ananda lewat di depan seorang penjual ikan. Buddha menyuruh murid kesayangan yang memiliki ingatan kuat itu untuk memegang tali penggantung ikan lalu setelah itu mencium tangannya sendiri. Dengan patuh, Ananda menuruti permintaan Buddha. Dikatakan Ananda kemudian, bahwa aroma tangannya sama tidak enaknya dengan aroma ikan. Berbau amis. Buddha mengatakan, ibarat tali, demikian pula pertemanan dengan orang jahat, di mana kelak kita pun akan menjadi jahat pula. Itu hal pertama yang akan diingat baik-baik oleh si murid dari Buddha.

Keduanya meneruskan perjalanan hingga sampai ke depan penjual minyak wangi. Buddha meminta Ananda memegang sehelai kertas wangi kemudian membaui tangannya. Berbeda dari sebelumnya, aroma tangan Ananda sangatlah harum. Hal kedua yang ingin Buddha sampaikan, demikian halnya pertemanan dengan orang-orang yang baik. Kita akan selalu mendapatkan cipratan kebaikan dari mereka.

Itu hanya satu dari sekian ribu ajaran kebajikan Buddha—meski saya bukan penganut Buddha Dhamma—yang jelas bukan hal baru, mengagetkan, menjadi trending topic, butuh tagar dan retweet biar ngangkat ke permukaan selama beberapa jam lalu hilang tanpa jejak.

Pelajaran bijak untuk memilih teman sepergaulan menjadi penekanan dalam ajaran agama sebab salah bergaul, buruk akibatnya kelak atau mungkin besok bagi diri kita. Agama saya membagi manusia menjadi dua poros, poros yang “hitam” dan “putih”. Agama yang baik selalu mendekatkan umatnya pada yang “putih”, yang bersih, dan bermuara pada ketaatan Sang Penguasa Alam Semesta. Sisanya adalah manusia yang menjauhkan dari hal-hal positif, bercampur dengan nafsu, ego, amarah, pemberontakan. Putih adalah warna yang disukai Tuhan. Hitam adalah simbolis keburukan. Tapi siapa saja yang pernah datang ke Makkah maupun Madinah, pasti tahu hitam bukanlah warna yang dilarang, bukan? Hitam juga sebagai warna andalan kaum hawa yang merasa dirinya kelebihan berat badan sehingga merasa lebih kurus jika memakai busana serbahitam dan mengabaikan pentingnya berolahraga yang lebih realistis mengurangi bobot tubuh dan menguatkan jantung. Akhirnya, pusat-pusat kebugaran lebih dominan diisi para pria pencari pria berotot karena perempuan memilih sibuk mengincar busana midnight sale.

Bagaimana dengan abu-abu? Abu-abu bukanlah pilihan, tapi ibarat fase kebingungan yang perlu terselesaikan. Masa-masa SMA—yang identik dengan celana/rok abu-abu—menjadi puncak pencarian identitas diri dan masa depan. Anak-anak SMA akan dibayang-bayangi oleh kebingungan dalam memilih jurusan, memilih jenis kelamin calon gebetan, hingga memilih tetap sekolah dengan seabrek pelajaran atau jadi anak nongkrong di perempatan jalan. Abu-abu adalah pencampuran antara warna hitam dan putih. Di satu sisi ingin melakukan kebaikan, tapi eh kok ya melakukan yang buruk-buruk juga enak. Jadilah keduanya dilakukan, dengan berpikir bahwa dengan berbuat satu kebaikan akan menutup keburukan yang ada. Sayang beribu sayang, apakah “tambalan” kebaikan yang dilakukan pasti lebih besar dari keburukan yang sudah dilakukan? Bagaimana sebenarnya hitung-hitungan Tuhan soal kebaikan dan keburukan? Mengapa tidak dijabarkan secara matematis saja biar jelas? Itu pertanyaan absurd, abaikan.

Buddha mengajarkan Ananda mengenai pergaulan dengan orang baik akan membawa kebaikan dan dengan orang yang buruk akan membawa keburukan, tentunya bukan agar kita membuat batasan yang terlalu ketat dalam bersosialisasi dengan sekitar. Seandainya bisa dan mudah, alangkah bahagianya jika saya bisa dengan mudah memilih teman hanya yang rajin nraktir nonton di bioskop yang kursinya bisa buat bobo-bobo cantik diibaratkan sebagai penjual minyak wangi yang membawa kebaikan. Alangkah indahnya hidup jika saya bisa hang out bareng Channing Tatum, Madonna, Jimmy Fallon, dan Jamie Cullum bukan karena menang kuis yang sudah di-setting sedemikian rupa. Mereka itu orang-orang baik, bukan? Tentu saja setiap orang akan punya ukuran “baik” sendiri-sendiri. Sudahlah, nggak usah protes.

Di sisi lain, karena harus memilih yang baik-baik saja, maka seharusnya saya berkata “no” sambil ngasih alasan sibuk ini itu, jika suatu kali sahabat saya ngajakin ke rooftop Skybar Jum’at malam di mana dia biasa mesen long island, atau tequila jika ingin sedikit mabuk. Padahal kami ke sana ya karena ada live music yang asyik. Siapa bilang saya pengin mabuk? Wong beli sodaranya amer aja di Circle K ditenggak sendirian ya udah bisa disebut mabuk sampe muntah-muntah. Kalau mau jadi keparat itu ada seribu jalannya, Bro. Dan nggak perlu nunggu diajak-ajak.

Terkadang kita terlalu takut bahkan paranoid untuk berhadapan dengan sesuatu yang berbeda dengan diri kita. Takut tanpa sebuah alasan yang pasti jelas. Sehingga melulu berkurung dalam zona aman dan akhirnya mengabaikan kewaspadaan bahwa keburukan pun bisa berasal dari pihak yang “putih”, yang selama ini kita yakini akan selalu benar. Kebenaran jika sudah sampai di tangan manusia boleh jadi menjadi tidak mutlak lagi. Kita terus-terusan melek untuk melihat musuh yang datang dari depan, sementara punggung kita lengah.

Kita bisa saja menyanjung satu tokoh besar sampai KPK berhasil membongkar aib besar korupsinya di depan publik lalu terkulai lemas di balik terali, membayar jasa pengacara pun tak mampu lagi setelah hartanya disita. Terus membangga-banggakan anggota partai yang katanya mengedepankan kepentingan umat tapi begitu bersentuhan dengan politik praktis akhirnya tidak kuat dengan godaan dahsyat sekoper uang dan dedek-dedek mulus menggiurkan. Atau pemuka agama yang menjadi idola baru karena seringnya disorot kamera TV hingga hilang sudah sikap low profile-nya, berganti menjadi narsistik kelas kakap. Akhirnya, lupalah dia dengan tugas mulia yang bisa membuatnya mendapat jalan sedikit lebih mulus masuk surga ketimbang orang yang shalat Subuh saja ketika langit sudah terang.

Dalam hidup, kita perlu mengumpulkan banyak referensi. Membuka mata lebar-lebar. Mendengar suara yang tidak hanya suara kita sendiri. Menghirup aroma yang bukan hanya tubuh kita sendiri. Berjalan jauh dari rumah kita sendiri. Untuk melihat ada banyak kebaikan lain di luar sana. Di dalam diri orang-orang yang kita pandang tersesat karena berseberangan dengan keyakinan kita. Yang meyakini Tuhan yang lain, dewa, patung, atau api sekalipun. Ada kekurangan dalam diri kita yang tidak akan pernah disadari jika tidak pernah bersinggungan dengan orang lain. Atau setidaknya memaklumi saudara seiman yang memiliki cara ibadah berbeda. Bacaan yang terdengar asing di telinga kita. Batu yang menempel di kepala ketika bersujud. Kita tidak akan baik di mata Tuhan dengan rajin menebarkan sarkasme di media sosial meskipun maksud kita adalah menunjukkan satu hal yang menyimpang. Tidak ada satu pun para nabi yang pernah mengajarkan sarkasme, bukan? Lalu jejak siapa yang kita tiru? Bumerang adalah senjata yang akan kembali kepada pelemparnya.

Dunia ada sampai sekarang ini adalah hasil dari sebuah keseimbangan konstan. Dalam Taoisme disebut Yin & Yang, disimbolkan dengan taiji, lingkaran setengah hitam dan putih. Di dalam area hitam ada lingkaran putih kecil, demikian pula dengan lingkaran putih ada lingkaran kecil berwarna hitam. Jika dikaji lebih lanjut, Yin & Yang dapat diaplikasikan ke dalam analisis kesehatan manusia sampai fengshui. Yin & Yang menjadi satu bagian yang saling melengkapi. Yin tidak akan mendominasi Yang, begitu pun sebaliknya. Jika aturan itu dilanggar, akan ada konsekuensinya. Biarkan “hitam” tetap ada, sebab “putih” membutuhkannya. Demikian skenarionya, silakan ikuti aturan mainnya.

Satu lagi, memberikan toleransi jauh berbeda dengan menjadi abu-abu.

Sumber gambar: artwalldecals.com

Comments

  1. N. Firmansyah Reply

    Sial, kenapa artikel di sini keren-keren semua ya?!

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!