Ia sebagai penonton karapan sapi yang masih bocah tentu cukup hanya berdiri di balik pagar sak-sak yang disesaki penonton lain. Tubuhnya yang masih mungil jauh tak sepadan dengan tinggi pagar sak-sak yang ada di depannya. Ia harus menjinjitkan sepasang kakinya supaya lebih tinggi lagi, tidak lain agar nanti ia bisa melihat aksi lari sapi-sapi jantan pilihan saat membelah tanah lapangan demi mencapai garis finis paling awal.
Tak peduli matahari sedang terik mengulur jemarinya dan mencakar-cakar bumi dengan panas yang amat. Jam 13.00 debu beterbangan dihalau angin dari tengah lapangan, debu-debu itu berasal dari ricuh tapak kaki para musisi saronen[1] yang baru saja mengiringi sepasang sapi diarak dari garis finis ke garis start. Sapi yang akan dipacu memang harus diringi saronen agar naluri kelelakiannya tumbuh dan tentu agar nanti semangatnya terpompa setelah pecut dilecut satu kali sebagai tanda pacuan dimulai.
Persis ketika sepasang matanya tiga senti melebihi pagar sak-sak, ia sungguh mendapati kesenian pulau Madura yang luar biasa. Tiga pasang kaki berpacu, berlari kencang memecah gayut angin, diiringi tepuk tangan penonton, riuh menggema mengetuk-ngetuk langit, penyiar pertandingan terdengar berapi-api melalui pengeras suara, bendera kecil merah putih yang dipacak di pangkal kaleles[2] berkibar karena kecepatan lari sapi yang dahsyat, ada bunyi kaleng bekas bergemerincing, kaleng-kaleng itu digantung di bawah kaleles bagian belakang, bunyi kaleng itu dimaksudkan untuk mengelabui sapi agar larinya semakin kencang.
“Culll,” teriak para tokang tongko’ yang badannya terombang-ambing di atas kaleles.
Lirikan matanya yang tajam terus mengikuti arah lari sapi hingga rinci ia lihat sepasang kaki sapi yang berjuluk Calaret Toa berhasil sebagai penapak garis finis paling awal. Debu-debu beterbangan. Pawang sapi kompak meringkus sapi-sapi yang sudah sampai di garis finis dengan cara dan keberaniannya yang luar biasa. Sapi-sapi yang masih seperti kesurupan itu akhirnya digiring ke pinggir lapangan dan giliran sapi berikutnya dihalau di garis start. Begitu selanjutnya. Tepuk tangan menggema, sorak ria membumbung ke datar langit Madura.
Tak lama kemudian, ia, penonton yang masih bocah, kini terlihat hanya memaku pandangannya ke garis finis. Sepasang matanya redup, dilambai helai-helai rambutnya yang teruntai ke depan. Ada tetesan membulir bening di sudut matanya. Ketika melihat keadaan garis finis, ia teringat peristiwa dua tahun silam. Dari gendongan sang ibu, ia melihat sang ayah jatuh terlempar dari kaleles lalu terbanting ke tanah, kemudian sapi yang ditungganginya menginjak-injak tubuh ayahnya hingga nyawanya meregang dan meninggal di lapangan karapan sapi.
“Risto! Ini sudah ashar, ayo kita pulang, kamu masih harus masuk ke diniah,” ajak sang ibu lembut membuat ia terkejut dan sadar dari lamunan dukanya.
***
Bagi Risto, karapan sapi punya catatan tersendiri dalam hatinya. Ia sebagai atraksi kesenian yang memukau. Ia sebagai ajang memasarkan sapi-sapi jantan pilih tanding. Ia sebagai arena membuktikan keberanian seorang lelaki untuk memacu sapi di atas kaleles, sekaligus ia sebagai ruang gelap karena di arena itulah ayahnya meregang nyawa setelah terjatuh dari kaleles.
Risto sudah berumur tiga belas tahun. Selain belajar dan membantu ibunya mengangkut kayu bakar untuk memasak lahang, hari-harinya ia habiskan di ladang, semata untuk mengamati sapi-sapi jantan yang sedang digembala. Biasanya ia ke ladang saat sore hari, di depan sapi-sapi jantan itu kerap ia berpikir masalah karapan, tentu dengan tragedi meninggalnya sang ayah di arena karapan itu.
Kilau matahari mulai agak menguning, beranjak karam ke rimbun pohon siwalan. Sapi-sapi jantan masih memamah rumput sesekali berbunyi di antara gemulai ilalang yang sedang digetar angin. Pikiran Risto semakin dalam ketika ia amati otot kekar sapi-sapi itu. Ia berpikir, sapi karapan sejak masih pe’empe’[3] sudah dibiasakan menghadapi rintangan agar ia tangguh menghadapi persaingan. Pe’empe’ calon sapi karapan biasanya dilatih di pantai, ia dihalau untuk berlari memecah ombak yang berkecamuk agar kakinya kuat dan kecepatan larinya semakin akurat. Ia juga harus dicekok jamu yang tentu pahit.
Risto kini berpikir bahwa nasib dirinya yang getir barangkali adalah cara Tuhan melatih penuh kasih. Sebagaimana sapi karapan, ia sedang dilatih agar tumbuh menjadi orang yang tangguh, demikian pikirnya.
Seketika itu tumbuh keinginan dari dirinya untuk menjadi tokang tongko’ karena ia merasa ada gen dari sang ayah yang memungkinkan ia bisa menjadi pemacu sapi paling hebat. Lagi pula, ia berpikir bahwa karapan sapi adalah ajang menempa diri, menguji nyali, dan ia merasa karapan sapi juga tamsil dari kehidupan ini, yang di dalamnya penuh dengan persaingan, sorak sorai, waktu permainan yang tidak bisa dinego, ajang mencari nafkah, promo sapi, dan tentu juga tempat mantra doa diasah seampuh-ampuhnya.
Risto berpikir, dulu ayahnya berani menjadi tokang tongko’ sebenarnya bukan semata menjunjung nilai budaya. Lebih dari itu, ia juga tempat mencari nafkah demi menghidupi keluarganya. Uang lima ribu untuk satu kali pacuan waktu itu cukup menggembirakan bagi tokang tongko’ hingga mereka tak berpikir kemungkinan buruk yang akan terjadi.
Risto semakin mantap untuk mengikuti langkah ayahnya menjadi tokang tongko’. Ia mulai membujuk ibunya dan berlatih diam-diam di lapangan kecamatan setiap minggu pagi. Tujuan ia menjadi tokang tongko’ tidak lain demi membantu ibunya. Dengan karapan sapi, ia bisa mengambil nilai filosofis bahwa gejolak kehidupan yang penuh persaingan hanya bisa dilintasi oleh orang yang berani mengambil risiko dan berani memacu dirinya sendiri. Tetapi, ibunya tak langsung mengizinkan ketika Risto pamit dan mohon restu, ia masih trauma dengan karapan sapi setelah suaminya meninggal.
“Ibu jangan khawatir. Setiap orang hidup dalam genggam takdirnya masing-masing, kematian Ayah bukan karena karapan sapi, tapi memang takdirnya di situ. Ayah menjadi tokang tongko’ tak sekadar pamer diri sebagai lelaki pemberani, namun beliau menyimpan niat agung tersembunyi yaitu menafkahi keluarga. Hari ini saya ingin melanjutkan tugas Ayah, Bu.” Risto menundukkan kepala ke haribaan ibunya. Hanya saja ibunya terdiam membisu. Tatapannya terlempar ke langit, sedang tangan kanannya mengelus-elus rambut Risto.
“Apa tidak ada cara lain untuk mencari nafkah, Nak?” Ibunya menyahut berat.
“Sebenarnya banyak cara untuk mencari nafkah, tapi ini persoalan kebudayaan, Bu. Jika anak Madura semua enggan untuk memilih jalan ini, maka karapan sapi suatu saat akan lenyap. Jika itu terjadi, maka sama artinya dengan tidak menghargai almarhum ayah dan nenek moyang kita pada umumnya. Bu, ini sudah kali ketiga saya minta izin. Izinkan saya, Bu! Mohon, Bu!”
“Baiklah, Nak, jika niatmu memang baik. Semoga kamu bisa menghargai ayahmu dan nenek moyang kita,” ibu Risto mengizinkan putranya jadi tokang tongko’. Risto haru berurai air mata. Angin senja melesap sangat dingin.
***
Sejak ibunya mengizinkan, Risto mulai berlaga di pertandingan-pertandingan tingkat desa, kecamatan, dan kabupaten. Kelihaiannya memacu sapi memang membuat orang berdecak kagum dan percaya bahwa gen ayahnya benar-benar merasuk ke dirinya. Sapi-sapi yang ditunggangi selalu menapak garis finish paling awal. Ia mengerti bahwa kecepatan lari sapi tak semata ditentukan oleh otot sapi, tapi juga ditentukan oleh kecerdikan tokang tongko’ dalam mengatur arah sapi, mengendalikan dengan baik di medan tanah yang kasar dan memecut sapi tepat di bagian yang sekiranya tak membuat sapi stres sehingga tidak terkesan tersiksa agar sapi lebih semangat berlari. Yang paling unik dari Risto, ia mempunyai kata gertak khusus yang beda dari yang lain. Ketika mulutnya menggertak sapi biasanya sapi itu sangat kencang berlari. Sapi-sapi itu tidak merasa ketakutan, tapi merasa semangatnya terpompa.
Senja masih rabang[4] dalam siluet kuning yang mendatar. Para penonton bersorak-sorai sambil mengangkat-angkat tangannya ketika sapi Sokma Posang yang dipacu Risto menapak garis finish paling awal dan mengantarkan ia sebagai juara I. Setelah penyerahan hadiah kepada sapi juara, ada penghargaan kepada tokang tongko’ terbaik. Risto terpilih sebagai tokang tongko’ terbaik. Ia mengecup trofi, matanya nyalang menerobos ribuan penonton. Tertuju ke sosok perempuan tua yang sedang tersenyum dan melambaikan tangan di bawah umbul-umbul. “Ibu, ini anakmu,” gumam Risto di atas podium. Berkat kelihaian Risto, sudah banyak sapi-sapi yang jadi juara dan terjual dengan harga yang mahal.
Selain berlatih, Risto juga bersemadi ke makam-makam keramat, melakukan ritual puasa, serta mencari waktu dan arah yang tepat untuk keluar rumah setiap kali hendak berlaga. Ini kali pertama ia tampil di laga karapan tingkat Madura. Seperti biasa Risto selalu membawa ibunya ke medan laga. Ia mencium tangan ibunya ketika hendak memacu sapi, biasanya ibunya komat-kamit membaca sesuatu dan meniupkannya ke ubun-ubun Risto.
Penyiar pertandingan mulai memanggil sapi Sokma Posang. Risto mulai naik ke kaleles, betisnya dibuat agak berpilin dengan kaki kanan menggaet lubang kayu agar tubuhnya berdiri kokoh. Sepasang tangannya memegang ekor sapi, tentu dengan pecut dan pakkopak[5]. Pecut wasit dilecut. Tiga pasang sapi berlari kencang. Tepuk tangan penonton riuh. Tiga pasang sapi itu tegar membelah tanah berdebu, menerobos angin dengan derap yang sangat kencang.
Setiba di garis finish, seketika tubuh Risto terlempar dan tepat menyeruduk tiang pagar. Ia telentang tak berdaya di atas tanah. Sekujur tubuhnya penuh debu. Matanya terpejam. Orang-orang panik dan sigap berkerumun menggotongnya ke pinggir lapangan. Ibunya datang menjerit histeris dan memeluk tubuh Risto.
“Jangan menangis, Bu. Saya tidak apa-apa. Saya terpejam lama karena kebetulan dalam pejam itu saya melihat Ayah datang, menyalamiku dan tersenyum bahagia,” ucap Risto tiba-tiba.
Dik-kodik, 23.10.15
___________________
[1] Musik tradisional Madura.
[2] Alat karapan terbuat dari kayu yang terikat di tengah-tengah sepasang sapi tempat joki berdiri.
[3] Anak sapi.
[4] Menyala.
[5] Tanpa kekerasan.
- Puisi A. Warits Rovi - 2 July 2024
- Bibir dan Bibir - 5 August 2022
- Pulang ke Kampung Asing - 23 July 2021
WN Rahman
Ulasan Tokang Tongko: http://doubleyouandarecolumn.blogspot.co.id/2016/01/jejak-jejak-keklasikan-yang-hilang.html
Della
Kak ini tema cerpennya apa?