Akhir Hayat Novelis Bagus Sangsekerta

pinterest.com

 

Lelaki itu berjalan mondar-mandir mengelilingi kamar apartemennya. Ia berhenti melangkah saat menyadari dirinya melihat segala benda yang ada di kamarnya berubah menyerupai wajahnya. Bermacam-macam benda lainnya menjadi wajah dirinya yang sedang tersenyum seperti mengejek.

Karena lapar, ia keluar kamar menuju dapur, di atas meja makan, ia melihat sekeranjang buah-buahan. Ada buah apel, pisang, dan anggur. Namun semua buah-buahan itu menampakkan wajahnya yang sedang menyeringai. Lelaki itu terpaku untuk beberapa saat. Karena ia merasa perutnya perlu diisi, ia mengambil sebuah pisang, mengulitinya dan memakannya. Ia merasa sedikit lega. Meski di kulit pisang itu terpampang wajahnya, pisang itu masih berasa buah pisang di ujung lidahnya.

Lelaki itu kemudian beranjak menuju ruang utama di unit apartemennya. Lantas ia membuka pintu balkon, ia menatap ke arah jalanan di bawah unit apartemennya. Ah, semuanya yang ia lihat menampakkan wajahnya sendiri. Langit dan awan-awan hanya menampilkan wajahnya yang besar dan berjerawat, pohon-pohon dan dedaunan pun tampak wajahnya dengan ukuran beraneka rupa. Ia mengucek matanya. Tetap saja pandangannya penuh dengan pemadangan wajahnya.

Ia lantas mengambil masker, lalu keluar menuju lift. Di depan lobi apartemennya melintas sebuah taksi dengan kecepatan pelan. Taksi berlambang burung itu, kini logonya mejadi serupa dirinya, seperti logo ayam goreng KFC. Lelaki itu melambaikan tangannya untuk menyetop taksi. Taksi merapat dan berhenti. Ia memilih menggunakan taksi untuk pergi ke dokter mata atau ke dokter jiwa di rumah sakit terdekat.

Saat lelaki itu naik dan duduk di jok belakang taksi, sopir taksi masih menatap ke depan sambil mengucapkan salam, selamat pagi. Terkesan sangat sopan dan ramah.

“Pak, tolong antarkan saya ke rumah sakit terdekat,” pintanya pada sopir taksi.

Sopir taksi memalingkan wajah ke arah lelaki itu untuk sekadar menatap tamunya dan menawarkan hand sanitizer. Betapa terperanjat lelaki itu ketika melihat wajah sopir taksi yang juga bermasker itu adalah dirinya sendiri. Mimik wajah lelaki itu menyiratkan rasa terkejut sekaligus takjub.

“Astaga! Kenapa rupa Bapak, kulit Bapak, pakaian Bapak, rambut Bapak, dan mata Bapak, semuanya seperti rupa saya saat ini? Bapak betul-betul diri saya!” kata lelaki itu terperangah.

Sopir taksi berpikir sejenak meski ia menyimpan tanda tanya yang sangat besar. Apakah penumpangnya ini orang gila, sedang dalam kondisi mabuk, atau memakai narkoba? Mungkinkah penumpangnya ini sedang berhalusinasi? Sopir taksi bicara dalam hati.

Merasa dicurigai oleh sopir taksi, lelaki itu berkata, “Untuk itu, saya ingin memeriksa kondisi mata dan jiwa saya ke dokter di rumah sakit. By the way, Bapak mirip saya banget!”

“Saya mirip Anda? Masak, ah? Baju saya berwarna biru, rambut saya sudah menipis beruban pula, dan kulit saya agak hitam legam serta sedikit keriput. Saya sudah paruh baya, sudah tua! Beda dengan Anda masih muda, tampan, kulit putih bersih meski berjerawat, pakai masker bermerek, betul kan?” kata sopir taksi, sambil mengarahkan kaca spion dalam ke arah lelaki itu. Tentu dalam pantulan kaca spion lelaki itu hanya melihat wajahnya sendiri. Padahal itu wajah sopir taksi paruh baya.

Sopir taksi menginjak pedal gas, terdengar suara berderum. Lantas mobil meluncur membelah jalanan Ibu Kota yang lengang akibat pandemi virus corona jahanam.

Lelaki itu masih tak habis pikir. Tak ada bentuk dan pemandangan lain selain wajah dirinya yang dilihatnya atas benda dan orang-orang yang berseliweran di jalanan. Ia yakin, bahwa ada yang salah atas mata dan jiwanya hari ini.

***

Lelaki yang sedang kuceritakan ini adalah seorang penulis novel terkenal, dan tentu saja semua novelnya best seller di negeri ini. Sebut saja namanya Bagus. Ya, Bagus. Akan tetapi kelakuan lelaki itu tidak sebagus namanya. Ia tipikal penulis cerdas, akan tetapi sangat licik, ia menghalalkan segala cara untuk mencari sumber tulisan atas novel-novelnya. Tentu dengan hasil karya yang meledak di pasaran, ia mendapatkan royalti yang membuatnya berlimpah uang dan ketenaran.

Lelaki yang sedang kuceritakan ini, memiliki otak yang sangat encer. Ia sangat cerdas, memiliki IQ 140+ alias genius. Sejak duduk di bangku SD hingga SMA ia selalu menjadi juara pertama di kelasnya. Ketika SD, ia telah menguasai bahasa Inggris. Ketika SMP dan SMA, bahasa-bahasa lain di dunia, seperti Perancis, Spanyol, Meksiko, Tiongkok, Arab, Jepang, Korea, Ethiopia, Somalia, dan banyak lagi bahasa telah ia kuasai dengan fasih. Hobinya membaca apa saja, maka ia sangat suka perpustakaan. Selepas SMA, ia tidak melanjutkan kuliah. Apa daya, walaupun ia lulus dengan nilai tertinggi, orang tuanya tak mampu menyisihkan uang barang beberapa lembar rupiah untuk biaya kuliah di perguruan tinggi.

Semula ia ingin bekerja di kafe, menjadi barista agar terlihat keren. Tetapi ia malas menjadi pelayan, ia baru tahu ternyata seorang barista juga harus melayani pelanggan. Ia lebih suka menghabiskan waktunya di perpustakaan atau tempat-tempat yang menyediakan buku-buku bacaan, terutama buku-buku berbahasa asing.

Ia pun tahu nama-nama penulis dari berbagai belahan dunia, baik yang terkenal, maupun yang tidak terkenal di negerinya. Melalui komputer dan internet yang disediakan oleh perpustakaan, ia mencari tahu profil-profil penulis dunia, tulisan, atau buku mereka yang telah diterjemahkan ke bahasa negerinya. Akhirnya ia juga tahu, ada tulisan berbahasa asing yang diterjemahkan bukan langsung dari bahasa asli penulis atau penuturnya, tetapi dari bahasa Inggris lantas ke bahasa asing lain atau bahasa di negerinya. Sangat jarang penerjemah di negerinya menerjemahkan karya penulis asing dari bahasa aslinya, karena sedikit sekali penerjemah memiliki kemampuan itu di negeri ini.

Ia melihat persoalan ini sebagai sebuah peluang baginya. Bukankah ia menguasai puluhan bahkan belasan bahasa asing dari seluruh belahan dunia? Maka ia pun mulai mencari-cari tulisan atau cerpen asing dari penulis asing yang tidak terkenal tetapi memiliki alur cerita yang menarik dan sesuai dengan kondisi negerinya. Dengan kemampuannya berbahasa Afghanistan, ia mulai mencari cerpen berbahasa asli Afghanistan yang belum pernah diterjemahkan ke bahasa Inggris. Lalu ia mulai proyek pertamanya, menerjemahkan cerpen asing berbahasa Afghanistan langsung ke bahasa negerinya. Berikutnya ia cari penulis lain dari Afrika, Timur Tengah, Amerika Latin, India, Madagaskar, Rusia, bahkan Tibet. Setelah tulisan-tulisan dari berbagai penulis dunia ia terjemahkan, ia mulai mengedit dan menghaluskan bahasanya agar sesuai dengan pembacaan orang-orang di negerinya. Setelah itu, ia mulai mengirimkan cerpen-cerpen terjemahannya itu ke media, dengan menggunakan namanya sendiri, Bagus, ditambah bahasa yang sangat ia sukai, Sanskerta. Tapi agar mengena untuk memudahkan pembaca, ia menuliskan nama penanya menjadi Bagus Sangsekerta.

Naskah-naskah cerpen terjemahannya itu sama sekali ia tak mencantumkan nama penulis asli atau sumber cerita dari negara mana, semua diakui sebagai karyanya. Tentu saja tidak berapa lama beberapa cerpennya dimuat di media massa arus utama. Namanya sebagai cerpenis langsung mendapat perhatian khalayak pembaca sastra koran. Setiap hari Sabtu atau Minggu, cerpen-cerpennya selalu hadir dan dibaca oleh jutaan pembaca. Honor atas cerpen-cerpennya itu mengalir deras, dari honor menulis ia mampu membeli ponsel pintar, laptop, dan tentu kuota internet tanpa limit.

Bosan menerjemahkan cerpen, ia mulai menerjemahkan novel berbahasa asing yang belum pernah diterjemahkan dalam bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya dan bahasa negerinya.

Tak ada yang tahu (karena penulis cerpen ini yang mahatahu), ia mendapatkan sebuah novel berbahasa asli Somalia. Novel tersebut menceritakan konflik horizontal di negara itu hingga berkecamuk perang saudara yang berlarut-larut, novel itu ia temukan di sebuah pasar yang terkenal paling jorok di negerinya, tercecer begitu saja di sebuah sudut. Mungkin ada pedagang kain dari Somalia yang bertransaksi di pasar tekstil terbesar di negerinya ini, namun keburu kabur digerebek petugas dari Badan Narkotika Nasional yang merazia tempat itu, karena buru-buru angkat kaki takut terciduk sedang mengisap ganja, novel itu ditinggal begitu saja di sebuah sudut kumuh di pasar oleh pemiliknya.

Novel berbahasa Somalia yang tebalnya seperti bantal orang Jepang itu pun mulai ia terjemahkan secara utuh. Namun, pembaca yang budiman, tentu Anda sangat tahu, sesudah ia menerjemahkan novel berbahasa Somalia itu, ia melakukan modifikasi dan rekayasa tulisan. Tempat kejadian cerita ia mulai reka-reka tempatnya disesuaikan dengan sebuah wilayah konflik di negerinya, nama dan karakter tokoh-tokoh dalam novel itu diubahnya. Simsalabim, Abdakadabra! Jadilah sebuah novel yang memikat.

Namanya sebagai penulis cerpen di media massa, tentu punya daya pikat. Tak memerlukan waktu lama, naskah novel itu, ia kirim ke penerbit mayor di negeri ini. Sebulan dari tanggal pengiriman, ia mendapat konfirmasi bahwa novelnya akan diterbitkan, dan dicetak sebanyak 5.000 eksemplar. Seminggu diterbitkan dan didistribusikan ke seluruh toko buku, novel tersebut ludes. Penerbit memutuskan cetak ulang hingga 10.000 eksemplar, hanya dalam hitungan hari habis tak bersisa. Akhirnya novel tersebut dicetak ulang di angka fantastis, 500.000 eksemplar, sampai pada akhir kelakuan penulis Bagus Sangsekerta ini terkuak, novel debut itu sudah dicetak hingga 2 juta eksemplar. Ia menjadi kaya raya dari royalti novelnya itu, dan beberapa novel lainnya yang ia terjemahkan langsung dari bahasa asing lainnya.

Lelaki yang sedang kuceritakan ini menghambur-hamburkan uang hasil royalti yang ia peroleh dengan membeli mobil mewah keluaran terbaru. Membeli apartemen mewah. Ia juga pelesir ke luar negeri. Tentu saja, karena ia masih bujangan, ia pun bebas meniduri berbagai perempuan sesukanya.

Dalam urusan perempuan, ia termasuk lelaki yang memiliki selera berkelas. Seleranya tinggi. Ia menjalin hubungan asmara dengan lima perempuan sekaligus, semuanya cantik-cantik dan seksi-seksi. Tipe perempuan yang ia sukai bertubuh tinggi semampai, berambut panjang agak sedikit pirang, berbadan sintal, berpayudara besar, dan berpantat indah.

Pada suatu hari, ketika novel debutnya mencapai 2 juta eksemplar, ia bertemu perempuan cantik berkulit sedikit hitam manis, bermata besar bersinar, berambut agak sedikit gimbal namun memesona. Perempuan itu berdarah Somalia. Ia pun rela meninggalkan perempuan yang lain begitu saja.

Tentu saja lelaki yang sedang kuceritakan ini sangat senang mendapatkan perempuan cantik dari Somalia. Mereka bercinta tanpa henti, bertubi-tubi, tiap hari di tiap tempat. Hingga perempuan Somalia itu hamil. Ia menuding perempuan Somalia itu sengaja memelihara kandungannya untuk menguasai hartanya lewat calon anak yang akan dilahirkan kelak. Di luar dugaannya, perempuan Somalia itu berkata, “Aku berhak atas semua uang dan harta yang datang dari royalti novelmu, Sayang!”

Sesaat Bagus Sangsekerta terkesima dengan kata-kata perempuan Somalia itu. Perempuan itu melanjutkan, “Karena segala cerita dan kejadian dalam novelmu, adalah cerita tentang diriku dan keluargaku. Aku sengaja mencarimu, ketika aku membaca novelmu di sebuah pameran buku Internasional. Novelmu sangat identik dengan memoar yang dituliskan oleh ayahku dalam bentuk novel berbahasa Somalia.” Sungguh terkejut novelis Bagus atas apa yang didengarnya itu.

Menyadari posisinya tersudut, dan merasa memiliki segalanya, ia meminta perempuan Somalia itu menggugurkan kandungannya. Perempuan Somalia itu tidak mau menggugurkan kandungan yang telah bersemayam calon bayi di rahimnya. Tentu membuat Bagus berang dan gelap mata. Dengan sangat ringan, Bagus mengambil sepucuk pistol dari laci bufet dan menembakkan sebutir peluru tepat di jantung perempuan Somalia itu tanpa beban. Perempuan itu tewas seketika. Lelaki itu merasa sangat lega. Hatinya plong! Mayat perempuan Somalia itu dibuangnya ke laut.

Bagus bisa tidur nyenyak dan hidup tenang kembali. Sampai hikayat ini kukisahkan, lelaki yang sedang kuceritakan ini menjalani kehidupannya dengan keserakahan, kenistaan, dan gelimang uang sebagai seorang plagiator, dan tentu saja pembunuh!

***

Taksi yang ditumpangi oleh lelaki itu kini terjebak kemacetan di sebuah jalan protokol akibat petugas medis dan aparat keamanan dengan APD lengkap sedang mengevakuasi satu keluarga yang diduga terinfeksi virus corona.

Lelaki itu memandang hampa dari balik kaca pintu taksi. Ia melihat segalanya menjadi dirinya sendiri. Semuanya menjadi wajah dirinya, tanpa kecuali.

“Apakah semua ini balasan atas segala perbuatanku?” gumamnya.

“Memangnya, apa yang Anda perbuat?” tanya sopir taksi.

“Ah, tidak. Bukan apa-apa, ini bukan urusan Anda, Pak!”

“Tapi saya sudah telanjur mendengar keluhan Anda.”

“Saya melakukan hal yang sangat dibenci oleh pegiat literasi di negeri ini, sesuatu yang sangat dibenci oleh para penulis, sastrawan, dan masyarakat awam sebagai pembaca sekalipun. Saya melakukan perbuatan keji dan tercela.”

“O, saya tidak melihat Anda sebagai orang yang keji. Meski Anda seperti orang bingung sekaligus linglung, Anda terlihat sebagai lelaki yang cakep dan cukup santun.”

“Sudahlah, Pak. Saya itu melihat Bapak, seperti melihat diri saya berbicara dan menasihati diri saya sendiri.”

“Tidak apa-apa, anggaplah hati nurani Anda yang menasihatimu. Bertobatlah. Mumpung belum terlambat. O iya, siapa nama Anda?”

“Nama saya Bagus. Bagus Sangsekerta!”

Sopir taksi itu terenyak. Seketika ia memalingkan wajahnya ke belakang, menoleh ke arah tamunya yang duduk di jok belakang taksinya. Seorang lelaki sedang tertunduk lesu. Lantas tatapannya tertuju pada halaman depan koran pagi yang baru saja ia baca tergolek di jok depan taksinya. Pada halaman depan koran tersebut, terpampang foto lelaki bernama Bagus, dengan judul berita: “Novelis Terkenal Membunuh Perempuan Somalia”. Di bagian lain tertulis: “Diduga perempuan Somalia ini mengetahui tindakan plagiarisme yang dilakukan pelaku”.

Sopir taksi kembali memalingkan wajahnya ke belakang, ia melihat lelaki bernama Bagus itu tampak tak bergerak. Lelaki itu geming memandang lurus ke depan dengan tatapan nanar dan tak bernapas. Bagus telah mati, mungkin karena sangat tertekan ia kena serangan jantung begitu saja. Sopir taksi terperanjat, ketika ia melihat kaca spion, ia melihat wajah Bagus di pantulan kaca spion itu. Sopir taksi memegang wajahnya untuk memastikan, memerosotkan maskernya hingga ke dagu, sopir taksi itu benar-benar telah menjelma menjadi sosok Bagus Sangsekerta, lelaki plagiator dan pembunuh itu. Kini sopir taksi itu panik, tiada hal paling panik di dunia ini kecuali sepanik-paniknya sopir taksi yang nahas itu.***

Jakarta,  17 Agustus 2020

Bamby Cahyadi

Comments

  1. Harfin Reply

    Hhh..Keren pak, sampe saya bingung, mana bagus sansekerta yg sebenarnya…

    • Mursyida Lubis Reply

      Karma menjadi plagiat, plagiat itu dosa besar. Kereenn pak

  2. Mursyida Lubis Reply

    Karma menjadi plagiat, plagiat itu dosa besar. Kereenn pak

  3. Sisi Reply

    Gila keren bgt si

  4. Fathan Reply

    Menarik bgt ceritanya. Pesan moralnya juga dapet, keren

  5. Vivi Reply

    Kalo saja seandainya betul karya Bagus Sansekerta itu ada dan novel dari somalia itu ada, barangkali akan saya jadikan kajian sastra bandingan

Leave a Reply to Sisi Cancel Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!