Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) jadi sorotan netizen ketika memperkarakan Perkumpulan Bulu Tangkis Djarum. Pasalnya, audisi yang diselenggarakan oleh PB Djarum dinilai telah melakukan eksploitasi anak.
Pada audisi mencari bibit unggul di dunia bulu tangkis itu, para peserta yang masih imut-imut kompak mengenakan baju dengan logo merek rokok di dada, alih-alih lambang garuda. Inilah yang dimaksudkan dengan eksploitasi anak menurut kacamata KPAI. Secara tak langsung anak-anak yang bercita-cita jadi olahragawan di bidang bulu tangkis masa depan itu mempromosikan rokok sejak usia dini.
Efek perkara ini, audisi PB Djarum pun pamit. Perusahaan rokok itu tidak mau buang-buang duit untuk menjaga ekosistem bulu tangkis dalam negeri, tapi tidak diperbolehkan numpang promosi di kaus atlet sebagai imbalannya.
Namun, seperti halnya Ria Ricis yang pamit dari YouTube tapi cuma bertahan dua hari, audisi PB Djarum pun kembali. Sebelumnya, KPAI akhirnya mencabut surat permintaan penghentian audisi PB Djarum.
(Mungkin KPAI takut jadi pihak yang disalahkan ketika nantinya Indonesia paceklik juara badminton.)
Ketika kisruh PB Djarum vs KPAI ini, sempat muncul tagar kampanye di media sosial untuk membubarkan KPAI.
Woah, woah, woah.
Padahal kalau tidak ada KPAI, nasib anak-anak Indonesia nantinya bakalan jadi pertanyaan. Siapa yang akan melindungi mereka kelak? Kak Seto sendirian? Berat. Kak Seto tidak akan kuat. Negeri ini butuh KPAI.
Seharusnya kita mengerti mengapa KPAI sampai sejauh itu melindungi anak-anak dari eksploitasi industri rokok. Jika kita mengingatkan KPAI untuk fokus menangani anak jalanan yang jelas-jelas dieksploitasi oleh oknum, itu tugas yang sudah selesai.
Terkait isu anak jalanan, KPAI pastilah sudah berkomunikasi dengan KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) sebelumnya.
(Saya coba ilustrasikan dialog antara punggawa KPAI dan pentolan KPI perihal anak jalanan.)
KPAI bertanya kepada KPI, “Bagaimana kabar anak jalanan? Apakah ada yang bisa kami bantu?”
Lalu KPI jawab, “Kalau dilihat dari televisi sih Anak Jalanan sudah tidak ada. Sekarang jadi Anak Langit. Yang pasti kabar mereka baik-baik saja. Sekolahnya di SMA favorit, dandanannya keren-keren, kendaraannya bagus dan mahal. Syukurlah, mereka sudah tidak telantar lagi.”
KPAI pun percaya dengan laporan KPI dengan sampel sinetron yang menggambarkan kondisi geografis masyarakat.
Berangkat dari situ, KPAI mengecek YouTube. Ada kejanggalan berupa eksploitasi tubuh, mereka langsung panggil Duo Semangka untuk hapus videonya. Supaya tidak meresahkan para orang tua yang melindungi mata anak-anak mereka.
Tinggal tunggu waktunya KPAI mengecek bioskop. Di sana diputar sebuah film yang meneror anak-anak. Judul filmnya “IT” yang diangkat dari novel horor karangan Stephen King sang Raja Kisah Horor. Bercerita tentang badut jahat bernama Pennywise yang sukanya menculik dan menakuti anak kecil.
Film “IT” dibintangi oleh anak-anak, tapi ceritanya tidak cocok untuk anak-anak. Terlalu seram dan sadis. Sekuelnya, “IT: Chapter Two” lebih mirip cerita KKN di Desa Badut Penari. Kedua film tersebut masih memakai latar tempat gorong-gorong sebagai sarang sang badut dalam meneror para jagoan.
Jika Pennywise muncul di Indonesia, jelaslah negeri ini butuh KPAI untuk melindungi anak-anak. Anak-anak yang diteror Pennywise bisa lapor ke orang tua masing-masing. Para orang tua pun mengadu kepada KPAI.
Lalu KPAI beraksi. Melarang peredaran balon warna merah di kalangan masyarakat. Lantaran balon merah sudah lekat dengan imaji Pennywise sang badut teroris. Kalau sampai ada orang dewasa yang memberikan balon warna merah kepada anak di bawah umur, langsung ditangkap dan diamankan oleh pihak berwajib. Terlepas niatnya adalah menghibur dan berbagi keceriaan.
Selanjutnya, KPAI melakukan sosialisasi ke sekolah-sekolah supaya anak-anak menjauhi gorong-gorong. Ketika musim penghujan, jangan main perahu kertas di jalanan dekat selokan. Apalagi sekadar mengecek got untuk pencitraan di depan kamera awak media.
Otomatis politikus pun tidak boleh mempolitisasi gorong-gorong dan selokan untuk bahan kampanye menjelang Pemilu. Sebab sudah terbukti saluran pembuangan air itu memakan banyak korban.
KPAI juga memperingatkan kepada para badut profesional, entah itu badut sirkus, badut ultah, atau badut maskot restoran cepat saji, untuk menghapus bedak mereka supaya tidak menyerupai Pennywise. Takut menimbulkan trauma pada psikis anak.
Akhirnya para badut tampil no make up. Nantinya tidak bisa dibedakan badut betulan dan pesohor negeri yang bertingkah seperti badut.
Jika sudah begitu, Pennywise bakalan kalah karena takut dengan tindakan preventif KPAI. Tidak ada celah bagi Pennywise menjangkau anak-anak yang jadi targetnya. Kehabisan mangsa, sang badut pun musnah dari bumi pertiwi.
Jauh sesudah Pennywise punah pun anak-anak dan masyarakat bakalan alergi dengan balon warna merah, gorong-gorong, dan sosok ber-make up tebal.
Seperti biasa, pada akhirnya negeri ini fobia terhadap simbol.