Apa Betul Bumi Bulat Seperti Telur Kuda?

: untuk S & K, dua penggali sumur di kampungku

PADA Minggu yang dingin, Kasmali bangun tidur dengan pertanyaan yang sungguh menggelikan: “Apa betul, bumi bulat seperti telur kuda?”

Samsuni, istrinya, tak berkata apa pun. Ia bukan tak mendengar ucapan suaminya, tapi ia menduga si suami belum sepenuhnya lepas dari tidur. Samsuni telah hidup bersama Kasmali hampir lima belas tahun, dan selama itu, kendati sang suami adalah pengeduk sumur termasyhur, ia tak pernah mendapati Kasmali tertarik pada ilmu bumi, geologi, atau hal-hal semacam ini. Samsuni mengira, Kasmali mungkin mulai gemblung, sebab di tanggal tua begini, stok tembakaunya pasti menipis.

“Kopi?”

“Ya, kopi.”

Itu mungkin percakapan paling minimalis di muka bumi. Dan di rumah itu, percakapan ini selalu berulang nyaris setiap pagi, seperti rutinitas mereka yang juga selalu sama: Menjelang jam tujuh pagi, saat matahari belum terlalu tinggi, Samsuni akan berangkat ke ladang menggarap ini itu di sepetak tanah yang gersang. Sementara itu, Kasmali akan pergi dengan menggotong karung goni berisi betel, perkul, ganco, dan palu. Karung goni itu ia gotong dengan linggis sebagai pikulan dan tangan yang lain menyekal cangkul. Menggotong beban berat itu, dengan tubuh legam, jangkung, namun berotot, Kasmali sering menjadi bahan lelucon saat berpapasan dengan satu dua pemuda di sana.

“Tabik untuk Sultan Sumur Al-Makmur!” kata Tarman.

“Tabik,” kata Mashadan menirukan.

Setelah Kasmali berlalu, Tarman dan Mashadan pun tertawa cekikikan. Kendati demikian, Kasmali tak pernah terganggu dengan ejekan macam itu.

Sejak kecil, tatkala ia mulai menjadi santri kalong di langgar Kiai Nurhadi, ia telah mantab berpegang pada nasihat Nabi: “Hidup ini sekadar permainan dan senda gurau …” Nasihat itu sungguh cocok dengan Kasmali. Oleh sebab itu, semua yang terjadi dalam hidupnya sering ia anggap enteng saja. Ia tak pernah senang atau sedih berlebihan. Bahkan, saat telunjuknya patah terkena palu, ia masih sempat tertawa dan melempar telunjuknya seperti membuang puntung rokok.  

“Akan kubuatkan sumur di pojok sana,” kata Kasmali kepada Samsuni tatkala ia sampai di ladang dan mendapati istrinya tengah besik, membabat sulur-sulur semak yang merambat dari pohon nangka.

“Terserah sampean saja,” jawab Samsuni tanpa memalingkan muka.

Tak lama kemudian, Kasmali pun memejamkan mata, menghadap ke utara, sambil komat-kamit, entah membaca apa. Ketahuilah, itu ritual yang selalu ia amalkan jika hendak menggali sumur, sebab ia tak mau meniru-niru kebiasaan penggali lain, yakni menggelundungkan tampi dan menggali sumur di tempat tampi itu berhenti.

Bagi Kasmali, mencari sumber air dengan menggelundungkan tampi adalah semprul. Memang, ia pernah mendengar dari Kiai Nur, saat tiba di Yastrib, Nabi melepas untanya dan memerintah para sahabat menggali sumur di tempat sang unta berhenti. Namun, itu sungguh beralasan, sebab unta memiliki insting ajaib, tahu di mana sumber air berada. Dan ini tentu tak bisa didapat dari menggelundungkan tampi, yang seperti menggantungkan nasib pada judi.

Setelah ritual singkat itu selesai, Kasmali pun mulai mengayunkan cangkulnya. Sementara itu, tanpa melirik suaminya sedikit pun, Samsuni terus membabat semak-semak gadung yang bergelantungan, seperti jerangkong siang bolong. Samsuni tetap tak menoleh dan terus membabat semak itu, bahkan sampai terdengar bunyi besi beradu besi. Artinya, Kasmali telah mengeduk lapisan batu terluar yang kira-kira sedalam dengkul.

“Apa betul bumi bulat seperti telur kuda?” kembali Kasmali bergumam.

Siang itu, Kasmali sempat mengingat Kiai Nur. Sebagai santri yang taat, ia selalu mematuhi anjuran si kiai yang mendorongnya menekuni tarekat penggali sumur. Dengan restu dan suwuk Kiai Nur, tak butuh waktu lama bagi Kasmali menjadi penggali sumur termasyhur. Ia sungguh kondang sebagai penggali jitu dan jeli. Instingnya tajam, tahu mana tanah yang mengandung sumber air melimpah dan mana yang tidak. Sumur buatan Kasmali juga tampak rata dan rapi, seolah lingkar sumur itu tidak dikeduk begitu saja, namun diukir dengan ketelatenan yang tinggi. Tak heran jika orang-orang sana tak mau membikin sumur jika bukan Kasmali yang menggalinya.

Tapi itu dulu, sebelum Kasmali diganggu pertanyaan dan obsesi untuk membuktikan bahwa bumi itu bulat seperti telur kuda. Sebagai penggali sumur, tentu saja Kasmali tak pernah melihat telur kuda. Tapi, ia pernah mendengar kisah karamah Mullah Nasruddin Hojja yang sanggup membuat seekor kuda bertelur dan memaksa raja percaya bahwa si Mullah memang wali yang menyaru sebagai gemblung. Ingatan tentang sang Mullah inilah yang mungkin membuat ia menyebut bumi bulat seperti telur kuda, bukan telur angsa atau telur buaya. Bahkan ia ingin mendekatkan obsesinya yang kentir itu dengan cerita-cerita konyol sang Mullah yang akan terus dikenang sepanjang masa.

Kasmali telah menggali sedalam lehernya waktu hari telah senja dan Samsuni meninggalkan ia sendirian di sana. Samsuni sempat melihat ke arah Kasmali sebelum meninggalkan ladangnya, tapi setelah ia mendapati suaminya bekerja dengan tekun seperti biasanya, ia memutuskan meninggalkan Kasmali tanpa sepatah kata. Kasmali yang tahu istrinya akan pulang di petang yang sama saban harinya, terus menggali dan menggali. Kedalaman sumur itu kini sudah sejajar dengan tubuhnya. Kasmali meneruskan mengeduknya sambil jongkok, meletakkan linggis kecil di sisi bongkahan batu dan memukulnya berkali-kali.

Batu-batu besar pun berdikit-dikit pecah dan setiap sebongkah batu pecah, Kasmali tersenyum lega seolah rontok pula beban yang menyumbat hidupnya. Angin yang sesekali bertiup dari utara berputar di atas kepalanya, membuat rambutnya bergerak-gerak lembut dan keringat di tengkuknya terasa sejuk.

Hari merambat menjadi gelap. Cahaya merah keemasan sang senja berangsur sirna. Tapi hati Kasmali menjadi lebih terang. Ia terus menggali dan menggali, memukulkan palunya tanpa letih. Tatkala ia mendapati batu yang hendak ia pecahkan adalah jenis batuan yang keras, ia mengganti linggis panjang dengan linggis yang pendek dan menukar palu dengan betel.

Berulang kali Kasmali berganti posisi, memukul batu itu dari kanan dan kiri, dari samping sana dan samping sini. Batu yang keras itu ia taklukkan dengan kesabaran, ketelatenan, dan kelembutan. Ya, Kasmali tahu, menaklukkan sesuatu yang keras memerlukan kelembutan tersendiri. Sebagai mantan santri, kendati hanya santri kalong yang tidak menetap di pesantren, ia tentu pernah mendengar cerita perihal Ibnu Hajar Al-Asqalani, ulama ahli hadis dari Asqalan, Palestina. Suatu hari, Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Kinani Al-Asqalani—nama asli Ibnu Hajar—tengah berteduh di sebuah goa dan terpesona menyaksikan tetesan air melubangi batu. Ahmad muda, yang setengah putus asa, lari meninggalkan madrasah lantaran oleh guru dan teman-temannya dianggap lemah dalam hafalan, mendapat hidayah: Batu itu berlubang karena tetes-tetes air yang lembut dan terus menimpanya.

Kesabaran, ketelatenan, kelembutan, inilah yang selalu diamalkan Kasmali dalam menggali sumur. Baginya, mengeduk sumur tidak sekadar urusan menggali dan menemukan sumber air. Menggali sumur adalah sebentuk jalan, semacam tarekat, yang sungguh ampuh melatih kesabaran. Mengamalkan ini, Kasmali tak pernah terburu-buru dan grusah-grusuh. Ia selalu memukulkan palunya dengan pukulan yang teratur, terukur.

Malam bertambah larut. Cahaya bulan yang menerobos ke lubang sumur membuat linggis dan palu di tangan Kasmali sesekali tampak berkilat.

“Betulkah bumi bulat seperti telur kuda?” kembali pertanyaan itu digumamkannya.

Malam itu, Kasmali bertekad menggali sampai ke dalam sana. Menurut perkiraannya, jika ia menggali terus ke bawah, maka ia akan menemukan jawabannya. Bagaimana jawaban itu persisnya, Kasmali tidak tahu. Ia hanya yakin saja. Dan keyakinan memang bukan sesuatu yang harus diketahui sepenuhnya. Dan Kasmali terus menggali dan menggali. Dan pecahlah satu per satu batu yang merintanginya.

Sementara itu, di rumah, Samsuni telah tertidur setelah makan tiga potong pohong dan dua butir telur. Sejak remaja, Samsuni memang tak pernah menyantap nasi untuk makan malam sebab ia takut itu akan membuat gendut. Ia tahu, Kasmali tak akan pulang hari itu dan Samsuni pun tidur setelah berdoa agar tak ada marabahaya menimpa suaminya. Malam itu, tidur Samsuni sungguh tenteram, tanpa terganggu dengkur Kasmali. Dalam ketenangan tidurnya itu, Samsuni bermimpi, Kasmali menjelma menjadi burung perkutut putih yang hendak terbang dari bubungan. Samsuni ingin menangkap perkutut itu, tapi ia tak bisa bergerak. Ia seperti dicekal tangan gaib yang tak tampak.

Tatkala istrinya memimpikan sang suami menjelma perkutut putih, Kasmali masih saja menggali. Tapi apa yang ia gali saat ini sungguh ajaib. Hal yang selama ini dialaminya adalah, apabila ia telah mencapai lapisan bumi yang berupa batu, maka ia akan terus bertemu batu. Tapi kali ini, setelah batu yang keras diruntuhkan, ia mendapati lapisan batu kapur, tak terlalu keras dan mudah digempur. Setelah lapisan batu kapur itu habis dikeduk, ia mendapati lapisan tanah yang gembur, demikian gembur, seolah itu hanya tumpukan bubur.

“Apa cetek begini sumber air di ladangku?”

Karena tanah itu cukup gembur, Kasmali naik ke atas dan mengambil cangkul. Tanah yang gembur itu ia cangkul dengan mudah, namun lapisan ini seperti tak ada habisnya. Kasmali terus mencangkul tanah gembur itu dan di kedalaman tertentu, tanah itu menjadi sedikit licin. Semula, Kasmali mengira, tanah yang licin ini adalah lumrah belaka, sebab tanah yang basah memang licin. Tapi saat tanah yang licin itu pelan-pelan mengeluarkan bau amis, ia mulai takjub. Dalam ketakjuban ini, Kasmali terus menggali. Dan tanah yang gembur itu pun mulai mengeluarkan cairan licin serupa lendir. Lendir itu terus merembes dengan derasnya hingga menggenangi mata kaki Kasmali.

Mencium bau amis yang semakin tajam, Kasmali pun menangkupkan jemarinya untuk nyawuk cairan licin itu.

“Oh, sumur ini mengeluarkan putih telur. Sumur ini mengeluarkan putih telur .…” katanya setelah menjilat lendir tersebut.

Penasaran dengan lendir itu, Kasmali kembali mengayunkan cangkulnya. Di luar dugaan, cangkul itu menancap amat dalam sehingga Kasmali kesulitan mencabutnya. Kasmali lalu mengambil napas, memusatkan tenaga dan mencabut cangkul itu dengan segenap kekuatan yang ada. Cangkul itu pun terlepas bersama segumpal tanah yang memuncratkan lendir kental kemerahan.

Bersama muncratnya lendir itu, seekor anak kuda menyeruak kepalanya dan Kasmali pun membetot dan merangkul si kuda dalam dekapannya, seperti mendekap seorang bayi yang telah lama diimpi-impikan.

“Gusti Yang Pengasih …. Akhirnya Kau paringi jawaban!” seru Kasmali, penuh kemenangan.

Kini ia yakin, bumi memang bulat seperti telur kuda.

Kasmali tersenyum, menyulut rokok terakhirnya dan menggendong kuda yang dilahirkan oleh sumur itu seraya berjalan pulang dengan gagah. Tatkala kuda dalam dekapannya itu meringkik kecil, ia teringat bahwa pada zaman Nabi Saleh dulu, bumi juga pernah melahirkan seekor unta.

“Tak masalah. Bulat seperti telur kuda atau telur unta, apalah bedanya .…”

Perajurit Kulon, 2022

A. Muttaqin
Latest posts by A. Muttaqin (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!