
Umurku belum genap 30 tahun tatkala aku melahirkan anakku yang ketujuh.
Sebetulnya itu anakku yang kesembilan. Aku mengalami keguguran dua kali. Tepatnya pada kehamilanku yang pertama dan kelima. Tentu saja saat hendak melahirkan anakku yang keenam, dokter telah menasihati kami: “Sebaiknya menggunakan kontrasepsi, Bu. Rahim Anda sudah lengket, sangat berisiko bila hamil dalam waktu dekat.”
Dengan gaya formal dan kaku, dokter lalu menerangkan, lengketnya rahim atau sindrom asherman merupakan jaringan parut yang terbentuk pada dinding rahim. Jaringan itu membuat dinding rahim menempel dan juga mengurangi luas rahim.
Suamiku tampak manggut-manggut saat dokter menjelaskan itu. Hatiku sempat lega juga dibuatnya. Dengan demikian, jika suamiku patuh, aku bisa lebih longgar dalam mengurus anak-anakku. Namun apa boleh buat. Suamiku betul-betul Babi. Dan yang ditanam Tuhan di kepalanya bukan otak, tapi bekatul. Ia terpengaruh Sultan Semprul yang berambisi melipatgandakan anak dan menebar keturunan sampai ke seluruh penjuru bumi.
Lantaran itulah, di sisi suamiku, aku merasa sebagai mesin petelur ketimbang seorang istri. Aku juga semakin tak tahu bedanya antara bersenggama atau diperkosa. Dan seperti yang gampang ditebak, pada suatu malam Jumat yang panas, saat ketujuh anakku telah tidur, suamiku dengan sembrono memelorot celana dalamku. Aku mengingatkan ia agar segera memasang kondom, tapi ia bersikeras menancapkan senjatanya tanpa pengaman.
“Hentikan!”
Suamiku terus menggenjotku seolah tak mendengar seruanku.
“Hentikan!” bentakku sambil mencengkeram bahunya agar ia segera turun dari tubuhku. Tak ada perubahan. Ia tetap menggenjotku tanpa ampun.
“Hentikan! Pakai pengaman!”
Sekejap kemudian, suamiku yang memang tak bisa berlama-lama dalam senggama, melenguh dan benihnya menyusup ke rahimku. Suamiku terkapar, ngos-ngosan, dan sekian detik kemudian aku mendengar ia telah sempurna menjadi babi hutan.
Aku tahu malam itu adalah tanggal kesuburanku. Perasaan benci dan takut menguasai tubuhku. Mataku terus terbuka. Rasa-rasanya aku belum tidur. Tapi anehnya, malam itu aku bermimpi. Dalam mimpiku itu, aku adalah perempuan berumur 40 tahun, berada di sebuah sungai yang jernih dan airnya mengalir deras di antara semak dan batu-batu. Saat itu, aku dan tujuh perempuan sebayaku tengah cekikikan sambil mencuci baju di atas batu.
Sementara itu, dari balik pohon trembesi agak jauh, beberapa kompeni mengintip kami. Kami tahu, bahwa kami diintai serdadu Belanda yang tengah dicekam kesepian dan tak peduli kami perempuan yang sudah tak muda lagi. Seorang dari kami bahkan sengaja menyingkap jarik dan memperlihatkan bagian atas pahanya.
“Sungguh aku ingin mereka memperkosaku, agar aku tahu mana yang lebih perkasa, bojoku atau Londo itu .…”
Kami tertawa cekikikan, sebab sama-sama tahu perempuan itu mewakili isi hati kami. Maka, tatkala para kompeni itu mendekat, kami diam saja dan menyerahkan diri untuk diperkosa. Saat satu dari Londo itu menyetubuhiku, aku sempat mengingat suamiku. Aku takut, namun ini sungguh ampuh membalas sakit hatiku. Saat kudengar si Kompeni melenguh dan kurasakan cairan hangat merasuki lubang sensitifku, tiba-tiba perutku membuncit.
“Gusti, secepat inikah hukuman-Mu …?”
Aku menjadi semakin takut. Dalam ketakutan, aku menoleh ke arah teman-temanku yang tengah dinaiki para kompeni itu. Astaga, rupanya sungai ini mendadak menjadi kebun binatang. Kulihat mereka, kompeni dan teman-temanku menjelma menjadi anjing, kerbau, kambing, babi, dan kuda nil. Mereka bahkan berganti-ganti pasangan seperti pesta begejil.
Aku menjerit sekuat tenaga karena saking takutnya. Dalam ketakutan itu, ketubanku pecah dan aku melahirkan seekor babi gendut yang wagu, wajahnya sungguh mirip suamiku.
Aku tersentak dan terbangun. Mataku terbuka. Kudengar suamiku masih teguh dalam dengkurnya. Kucoba memejamkan mata lagi. Dan sekejap kemudian aku kembali bermimpi.
Dalam mimpiku kali ini, aku adalah remaja sembilan tahun yang kebingungan lantaran menstruasi pertama. Setengah telanjang, aku pergi ke kamar mandi, menggenggam tisu dan melepas celana dalamku yang basah oleh darah. Aku mengelap darah menstruasiku dengan tisu, tapi kertas putih itu malah lengket di sekitar kemaluanku.
Aku menangis sambil terus mengguyur kemaluanku dengan air. Saat itulah, seorang lelaki gemuk dan hitam tiba-tiba memaksa masuk.
“Keluar,” kataku sembari terisak dan sebisa mungkin menutup tubuhku dengan handuk.
Tak peduli tangisanku, lelaki legam itu menekuk dan menggotong tubuhku. Seperti Shinta diculik Rahwana, lelaki legam itu membawa aku lari melintasi sawah-sawah becek, menyeberangi kebun sengon, menuju ke sebidang ladang tebu.
“Di sini pembantaian bengis itu terjadi.”
“Aku tak mengerti maksudmu.”
Aku berupaya mengencangkan handuk yang belepotan darah dan hampir terlepas dari tubuhku. Tapi lelaki itu mendekat, melucuti handukku, membuatku telanjang.
“Di sini kakekmu dibunuh. Ayahmu. Pamanmu. Dan ratusan orang dari kampungmu. Mereka dibunuh dan diceburkan ke sumur jahanam itu.”
“Aku tak mengerti maksudmu.”
Seperti kerasukan iblis, lelaki legam itu mendelik lalu mencengkeram tubuhku, mencengkeram payudara dan kemaluanku. Aku meronta, darah menstruasiku merembes deras, tapi si bangsat itu malah nekat memperkosaku.
Kurasakan godam gaib memukul kepalaku. Hari memang telah hampir gelap, tapi aku yakin tak ada mendung di langit. Dan, seperti dalam film kuno, sekelabat kilat datang. Disusul geluduk berulang. Tak lama kemudian, hujan lebat turun di ladang tebu itu. Hujan seolah sengaja ditumpahkan dari langit dan sebentar saja membuat ladang itu banjir, menghanyutkan kayu, batu, batang-batang tebu, dan iblis yang memperkosaku.
Sebatang kayu besar yang terbawa arus lalu menabrak perutku. Perutku seperti balon terjepit, ketubanku pecah, dan ikan-ikan berkepala babi keluar dari selangkanganku. Ikan-ikan itu berwajah kembar. Dan itu adalah wajah suamiku.
Aku terbangun. Tertegun. Aku mendengar kokok ayam bersaing dengan dengkur suamiku. Aku tahu waktu belum beranjak subuh. Aku mencoba tidur kembali. Sebelum itu, aku membaca doa-doa agar terhindar dari bermimpi buruk. Tapi ternyata aku tetap bermimpi.
Dalam mimpiku yang ini, aku adalah seorang janda yang menolak bermimpi. Sekuat tenaga aku berlari mengitari rumahku agar tidak tidur. Aku mengitari rumahku bersama Ki Ageng Peli, anjing kesayanganku. Aku berlari mendahului Ki Ageng dan kadang ia mendahuluiku. Aku berlari dan terus berlari, tanpa sadar bahwa aku tengah berlari sambil tertidur. Dalam tidurku itu, aku bermimpi—Duh Gusti, ini mimpi di atas mimpi—aku adalah Dayang Sumbi yang tengah mencari anakku.
“Mana Sangkuriang?” tanyaku kepada anjingku.
“Guk … guk … guk!” kata Ki Ageng sambil mengarahkan moncongnya ke pohon jambu dekat rumahku.
Di bawah pohon jambu itu, seekor anjing lain tengah berteduh. Aku menghampiri anjing itu. Tanpa babibu aku merebahkan tubuhku, menyandarkan kepala di batang pohon jambu, persis di sisi anjing itu.
“Sangkuriang, Anakku …. Aku tahu, yang jadi asu tak hanya bapakmu, tapi juga kau sebab kau telah meniduri aku.”
Tak peduli dengan kata-kataku, anjing itu malah mendekatkan moncongnya ke wajahku, menjilati bibirku, leherku, dadaku, dan seluruh tubuhku. Tubuhku bergetar. Tak kuat dengan itu, aku pun bersetubuh dengan anjing itu. Kami menikmati persetubuhan liar itu dengan saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, sebab dari arah yang tak terduga-duga, kami ditabrak seorang perempuan yang tengah berlari sambil tertidur. Dan kau tahu, perempuan itu adalah aku.
Aku terbangun. Terdengar azan subuh. Aku menguap dan tidur dan bermimpi lagi. Aku bermimpi suamiku menjadi kelelawar raksasa berkepala babi dengan sayap yang cuma sebelah.
“Di mana sayapmu yang satu?”
“Kujemur.”
“Sepagi ini?”
“Betul.”
Aku menguap. Merentangkan tangan, memutar kepala ke kiri dan ke kanan, menarik mundur pantat, dan membuncitkan perutku.
“Kenapa perutmu?” tanya suamiku.
Aku melihat perutku. Aneh. Perutku menjadi seperti gunung miring. Berbentuk segi tiga dengan pucuk tegang, menantang suamiku yang tepat di depanku.
“Mendekatlah kepadaku,” pinta suamiku.
Ia memegang perutku. Kuku tangannya seperti serigala. Ia mencakar-cakar perutku. Tapi perutku terlalu keras untuk kukunya. Ia mendekatkan moncongnya dan menggigit ujung perutku yang telah menjadi serupa tumpeng besi. Giginya pun tugel satu-satu.
“Perutmu jadi batu.”
“Tidak.”
“Kau seperti berhala bunting.”
“Mungkin.”
“Siapa yang menggenjotmu?”
“Malaikat.”
“Bangsat.”
Suamiku melepas sayapnya yang tinggal satu. Ia menjadi kelelawar tanpa sayap dan dengan kalap, menyerudukkan kepalanya tepat di vaginaku. Organ intimku pecah. Pecah pula ketubanku. Ketuban itu berwarna hijau. Hijau tua. Baunya harum dan sangat lengket.
Seperti permen karet yang diperintah kekuatan gaib, ketubanku melar, molor, menjadi serupa tangan Hulk dan melesat menjerat leher suamiku.
Si kelelawar berkepala babi itu tersekap, megap-megap, matanya mendelik menyaksikan, sepuluh, seratus, mungkin seribu kelelawar, terbang dari kemaluanku.
“Lihat, aku menetaskan malaikat,” kataku.
Tak ada suara.
Suamiku mendelik, menatap kelelawar berhamburan dari kemaluanku.
Ia terus menatap itu, tanpa tahu, tubuhku pelan-pelan hancur, menjadi butiran kecil seperti telur-telur gaib yang terus menetaskan kelelawar, jutaan kelelawar yang bubar menyerbu langit di mana lubang maha besar dan gelap gulita tengah menunggu.
Aku terbangun. Keringat dingin membasahi tubuhku.
Menahan takut dan benci, aku bergegas ke dapur dan mengambil sebilah pisau. Tanpa banyak omong, kukerat penis suamiku dan kumasukkan ke dalam freezer, bercampur sosis sapi yang telah membeku.
Surabaya, 2022
- Mengerjakan Cinta* - 8 March 2024
- Apa Betul Bumi Bulat Seperti Telur Kuda? - 9 December 2022
- Mesin Petelur - 19 August 2022
Miya
Horor banget
NUR HADIJAH
Menegangkan
Indah
Perasaannya mewakili keputusasaan orang tertindas, yang tak tahu bagaimana harus berbuat kepda siapa harus minta tolong.
Apakah itu menunjukkan penulis pernah mengalami keadaan itu. Bagus kalau hanya dari mengamati.
Rml
Hanya penceritaan di bagian awal serta paragraf terakhirnya yang menarik dan jelas. Itu cukup bisa dipahami dan dinikmati. Tapi soal mimpi-mimpi yang “aneh”, sama sekali tak bisa dinalari perihal korelasi “perumpamaannya” dengan pokok cerita, yaitu perihal birahi suami yang tak terkendali untuk istri yang “menolak”. Bagian tengah yang panjang itu terkesan hanya basa-basi khalayan yang mengawang-awang dan hanya bertujuan untuk memperpanjang tulisan.
Cukup mengecewakan. 60-lah…
wahyu
setuju.
ani
setuju. sebenarnya ceritanya bagus, tapi mimpi-mimpi anehnya agak kurang ‘nyambung’.
Alfian
👍
Fani
bagus!!!
Rahma Tazkia Az Zahra
Aaaa nangis banget baca cerita ini, emang anj*ng laki-laki yang isi kepalanya hanya sex dan sex, asli netes banget baca cerita ini, dapet bgt feelnya tegang, sedih, horor, campur aduk.
abu bassam
seru !!!
reviria
bagus!