PERISTIWA BESAR
Kau bangun dengan mood yang genah sekali:
Pikiran seringan gerak burung di muka air kali.
Jiwamu dan daun-daun tersenyum
menenggak sinar lembut matahari.
Dan hasrat untuk mempertaruhkan hidup lagi dan lagi
paling tidak buat saat ini
jadi lebih terkendali.
Di seberang sana:
bocah-bocah bercengkerama riang dengan sesamanya.
Dua kuli sarapan sebelum memulai pekerjaan.
Seorang perempuan melenggang melintasi jembatan.
Dan seorang pengendara motor menyisih sebentar
demi pengendara lain yang berpapasan
di kelok sempit gang Cibantar.
Segalanya berjalan wajar seperti alir Cikapundung yang tercemar.
Selain keriangan dan atap-atap rumah berdempetan
(di belakangnya batang-batang apartemen berderetan)
suasana diselingi juga oleh samar suara pengajian
desis minyak panas di penggorengan
pipa bocor, biola bersayatan
kokok ayam serta semboyan kereta di kejauhan.
Kau menyimak segalanya dari teras yang terbuka
lantas seperti seorang rasul atau jubir istana
bergegas mengabarkannya kepada para pembaca.
Dihimpit hari-hari yang kacau dan berantakan
hidup dan puisi, senihil apa pun maknanya
kadang masih patut dirayakan.
2022
DI PANTAI TIMUR PANGANDARAN
Kau pandangi segala yang terbit di pantai itu:
Fajar, perahu nelayan, cericit burung, langkah pedagang.
Segalanya tampak ringan melintasi semesta anyar.
Guyuran cahaya keemasan melumuri batu-batu
dan jembatan. Jembatan kayu dibiarkan menjorok
ke lautan. Lautan hatimu demikian mudah
menaklukkan segala pelayaran.
Kau berpesan, pandangi segala yang terbit
agar mengerti belas kasih Tuhan
atas semua yang di langit dan di bumi
bahkan atas setiap huruf
yang kupinjam demi merampungkan puisi ini.
Kau pandangi segala yang terbit di pantai itu.
Kecemasan mereda. Orang-orang merangsak
ke ujung jembatan. Smartphone di tangan.
Udara bergaram. Rambutmu dimainkan angin.
Tepian alismu runcing dan berkilat, seperti rasa ingin
menautkan keindahan dan rasa sakit.
Tiga perahu nelayan tertambat dan bergoyang
dekat jembatan. Tatapanmu lekat
dan sinar matamu membebaskan.
Saat matahari meninggi, kemurnian
yang terus melumuri napas dan perasaan ini
terbit dari cinta yang entah bagaimana lagi kusyukuri.
2021
HUKUMAN PENYAIR ROMANTIK
Ia akan selalu hilang
sekaligus kau temukan
pada keremangan jalan Braga.
Di antara kebisingan bar
dan kesenyapan gang-gang kolonial;
di sela pelancong berjejalan
dan pengemis-pengemis kemalaman;
ia hadapkan telapak tangan dan wajahnya
ke udara—berlutut
umpama utusan atau pesakitan
menanti titah atau putusan
seorang tuan.
“Daku hanya sanggup
meresapi langit dan kata-kata
cinta dan kecemasan
sebutir embun
di pelupuk mata.”
“Jangan,” sambungnya
(disusul senyum manis yang ditebarkan
ke paras pengamen dan pedagang cinderamata)
“Jangan beri daku
kabar dan derita
orang-orang biasa.”
Tapi Braga bukan milik penyair semata
sementara malam
sedang tak ingin berpihak kepadanya.
(Ia menunduk merekatkan syal dan kerah jaket, yakin
punggungnya mulai didera masuk angin).
Di hadapan para biduan
dan abang-abang penjaga keamanan
botol dan gelas berdentingan
musik dan cahaya berdentaman
seakan-akan merayakan puisi
dan keagungan jiwanya.
Tapi Braga yang remang
Braga yang remang selamanya
hanya dan hanya
memandang getir
senyum dan laku
rekaannya.
2020
DI SEBERANG MASJID AGUNG SINGAPARNA
Jalan melingkar yang padat itu
yang kian menciut
seperti pengharapan kita
tambah licin dan mengilat
lantaran ketakjuban
akan segala yang sia-sia:
kenangan dan keriangan
sekolah rendah
hari depan yang tampak muram
namun sekaligus penuh gairah
nyatanya sanggup memendam
dan menumbuhkan
setangkup perasaan bersalah.
Speaker pengajian
ditingkahi ricik hujan
malam-malam
sirene ambulans
menyenggol irama dangdut
dari lamun lesu orang-orang pinggiran.
Tapi cinta kita matang dan bertahan, akhirnya
seperti kubah bundar dengan aksen kecokelatan
di tengah kegelapan
sayu dan kapiran
seperti jalanan melingkar yang kian menciut
akibat didera pahit-kecut
kenyataan.
Spanduk calon kepala daerah
dingin dan menyedihkan.
Plang-plang petunjuk arah
mendadak cuma menjangkau
setangkup perasaan bersalah.
2020
TERUS TERANG, VARIASI CIANJURAN
Rel kereta pagi hari
membelah sawah lengang dan ricik air kali.
Ilalang disibak angin sesekali
setapak jalan memanjang kena sentuh matahari.
Pangrango menggaris halimun dalam batinku.
Gunung Gede bangkit menatap takjub bola matamu.
Sebuah jembatan terentang antara nasibku dan nasibmu.
Dan di sana, o, mantanku, cinta yang perih mengalir lirih ke lubuk sajakku.
2018
- Puisi-Puisi Zulkifli Songyanan - 23 August 2022
- Puisi-Puisi Zulkifli Songyanan; Cukup Tiga Sloki - 25 February 2020
- Panggilan dari Praha - 11 December 2019
Galih
Luar biasa sekali, saya paling suka puisi Peristiwa Besar. Sepertinya saya sekarang mulai jatuh cinta dengan genre puisi yang terbit di basabasi.co ini wkw
May
Terima kasih atas puisi yang menawan.
Ade Kurniawan
Baru kali ini saya menikmati puisi dengan perasaan paling nikmat👍👍👍👍👍👍👍👍👍