Puisi-Puisi Zulkifli Songyanan

 

PERISTIWA BESAR

 

Kau bangun dengan mood yang genah sekali:

Pikiran seringan gerak burung di muka air kali.

Jiwamu dan daun-daun tersenyum

menenggak sinar lembut matahari.

Dan hasrat untuk mempertaruhkan hidup lagi dan lagi

paling tidak buat saat ini

jadi lebih terkendali.

 

Di seberang sana:

bocah-bocah bercengkerama riang dengan sesamanya.

Dua kuli sarapan sebelum memulai pekerjaan.

Seorang perempuan melenggang melintasi jembatan.

Dan seorang pengendara motor menyisih sebentar

demi pengendara lain yang berpapasan

di kelok sempit gang Cibantar.

 

Segalanya berjalan wajar seperti alir Cikapundung yang tercemar.

Selain keriangan dan atap-atap rumah berdempetan
(di belakangnya batang-batang apartemen berderetan)

suasana diselingi juga oleh samar suara pengajian

desis minyak panas di penggorengan

pipa bocor, biola bersayatan

kokok ayam serta semboyan kereta di kejauhan.

 

Kau menyimak segalanya dari teras yang terbuka

lantas seperti seorang rasul atau jubir istana

bergegas mengabarkannya kepada para pembaca.

Dihimpit hari-hari yang kacau dan berantakan

hidup dan puisi, senihil apa pun maknanya

kadang masih patut dirayakan.

2022

 

 

DI PANTAI TIMUR PANGANDARAN

 

Kau pandangi segala yang terbit di pantai itu:

Fajar, perahu nelayan, cericit burung, langkah pedagang.

Segalanya tampak ringan melintasi semesta anyar.

 

Guyuran cahaya keemasan melumuri batu-batu

dan jembatan. Jembatan kayu dibiarkan menjorok

ke lautan. Lautan hatimu demikian mudah

menaklukkan segala pelayaran.

 

Kau berpesan, pandangi segala yang terbit

agar mengerti belas kasih Tuhan

atas semua yang di langit dan di bumi

bahkan atas setiap huruf

yang kupinjam demi merampungkan puisi ini.

 

Kau pandangi segala yang terbit di pantai itu.

Kecemasan mereda. Orang-orang merangsak

ke ujung jembatan. Smartphone di tangan.

Udara bergaram. Rambutmu dimainkan angin.

Tepian alismu runcing dan berkilat, seperti rasa ingin

menautkan keindahan dan rasa sakit.

 

Tiga perahu nelayan tertambat dan bergoyang

dekat jembatan. Tatapanmu lekat

dan sinar matamu membebaskan.

 

Saat matahari meninggi, kemurnian

yang terus melumuri napas dan perasaan ini

terbit dari cinta yang entah bagaimana lagi kusyukuri.

2021

 

 

HUKUMAN PENYAIR ROMANTIK

 

Ia akan selalu hilang

sekaligus kau temukan

pada keremangan jalan Braga.

 

Di antara kebisingan bar

dan kesenyapan gang-gang kolonial;

di sela pelancong berjejalan

dan pengemis-pengemis kemalaman;

ia hadapkan telapak tangan dan wajahnya

ke udara—berlutut

umpama utusan atau pesakitan

menanti titah atau putusan

seorang tuan.

 

“Daku hanya sanggup

meresapi langit dan kata-kata

cinta dan kecemasan

sebutir embun

di pelupuk mata.”

 

“Jangan,” sambungnya

(disusul senyum manis yang ditebarkan

ke paras pengamen dan pedagang cinderamata)

“Jangan beri daku

kabar dan derita

orang-orang biasa.”

 

Tapi Braga bukan milik penyair semata

sementara malam

sedang tak ingin berpihak kepadanya.

 

(Ia menunduk merekatkan syal dan kerah jaket, yakin

punggungnya mulai didera masuk angin).

 

Di hadapan para biduan

dan abang-abang penjaga keamanan

botol dan gelas berdentingan

musik dan cahaya berdentaman

seakan-akan merayakan puisi

dan keagungan jiwanya.

Tapi Braga yang remang

Braga yang remang selamanya

hanya dan hanya

memandang getir

senyum dan laku

rekaannya.

2020

 

 

DI SEBERANG MASJID AGUNG SINGAPARNA 

 

Jalan melingkar yang padat itu

yang kian menciut

seperti pengharapan kita

tambah licin dan mengilat

lantaran ketakjuban

akan segala yang sia-sia:

 

kenangan dan keriangan

sekolah rendah

hari depan yang tampak muram

namun sekaligus penuh gairah

nyatanya sanggup memendam 

dan menumbuhkan

setangkup perasaan bersalah.

 

Speaker pengajian

ditingkahi ricik hujan

malam-malam

sirene ambulans

menyenggol irama dangdut 

dari lamun lesu orang-orang pinggiran.

 

Tapi cinta kita matang dan bertahan, akhirnya

seperti kubah bundar dengan aksen kecokelatan

di tengah kegelapan

            sayu dan kapiran

seperti jalanan melingkar yang kian menciut

akibat didera pahit-kecut

kenyataan.

 

Spanduk calon kepala daerah

dingin dan menyedihkan.

Plang-plang petunjuk arah

mendadak cuma menjangkau

setangkup perasaan bersalah.

2020

 

TERUS TERANG, VARIASI CIANJURAN

 

Rel kereta pagi hari

membelah sawah lengang dan ricik air kali.

 

Ilalang disibak angin sesekali

setapak jalan memanjang kena sentuh matahari.

 

Pangrango menggaris halimun dalam batinku.

Gunung Gede bangkit menatap takjub bola matamu.

 

Sebuah jembatan terentang antara nasibku dan nasibmu.

Dan di sana, o, mantanku, cinta yang perih mengalir lirih ke lubuk sajakku.

2018

Zulkifli Songyanan
Latest posts by Zulkifli Songyanan (see all)

Comments

  1. Galih Reply

    Luar biasa sekali, saya paling suka puisi Peristiwa Besar. Sepertinya saya sekarang mulai jatuh cinta dengan genre puisi yang terbit di basabasi.co ini wkw

  2. May Reply

    Terima kasih atas puisi yang menawan.

  3. Ade Kurniawan Reply

    Baru kali ini saya menikmati puisi dengan perasaan paling nikmat👍👍👍👍👍👍👍👍👍

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!