
Saya adalah orang yang tidak tahu tentang lahir dan wafat Syaikh Abubakar al-Jauzaqi di mana. Umur beliau berapa. Berguru kepada siapa. Juga saya tidak tahu beliau sezaman dengan siapa. Tapi jelas bahwa kuburan beliau ada di Nisapur. Tidak di tempat yang lain di dunia ini.
Beliau pernah menuturkan salah satu pengalamannya di dalam dunia rohani sebagaimana berikut ini: “Pada suatu hari, saya pernah memasuki hamparan padang pasir. Begitu jauh. Begitu tidak terhingga. Lantaran dahaga yang sangat mendera, mulutku jadi kering. Kekuatanku makin hilang.
Di sana, di padang pasir yang menghampar itu, saya melihat seorang pemuda yang sedang berjalan ke arah saya. Saya mengucap salam kepadanya. Beliau menjawab dengan baik. ‘Wahai syaikh, ada apa dengan dirimu?’ tanya si pemuda itu dengan nada yang penuh dengan kepastian.
‘Saya sangat dahaga. Saya butuh mentimun untuk membasahi mulutku,’ jawabku dengan lesu. ‘Majulah sedikit,’ ungkapnya. Di dalam hatiku, saya sangat yakin terhadap kebenaran dan kejujuran kata-katanya. Saya maju sesuai perintahnya kepadaku. Dan aneh, saya langsung melihat kebun yang di dalamnya ada buah mentimun dan semangka. Saya memasuki kebun itu dan saya mengambil buah mentimun sesuai keperluanku.”
Apa arti dari pengalaman spiritual itu? Ketika seseorang dikehendaki untuk menjadi orang terpilih di hadapan Allah Ta’ala, dia bisa dipertemukan dengan salah seorang “gurunya” yang belum dia kenal sebelumnya. Mungkin juga tidak pernah disangka bahwa dia akan menjadi gurunya.
Umur gurunya itu bisa lebih tua dibandingkan dengan dirinya sendiri. Bisa sepantaran. Bisa juga jauh lebih muda. Semua itu tidak bergantung kepada apa atau siapa pun selain kehendak hadiratNya. Dalam konteks ini, yang lebih tua dan lebih muda berkaitan dengan siapa yang lebih dulu muncul di kehidupan ini dan siapa yang munculnya belakangan.
Apa yang telah ditunjukkan oleh sang guru yang lebih muda itu adalah kenyataan yang tidak tersentuh oleh kemampuan sang sufi. Sang sufi melihat semuanya adalah padang pasir yang luasnya tidak terkira-kira. Sementara sang guru menyaksikan bahwa di situ sangat dimungkinkan ada sebuah kebun yang di dalamnya tersimpan sesuatu yang dibutuhkan oleh si sufi.
Dalam konteks pemahaman ini, sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh si sufi itu tidak secara otomatis identik dengan ketiadaan, sama sekali tidak demikian. Di dalam “pemahaman” Allah Ta’ala, sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh si guru di atas, mutlak menunjuk kepada adanya sebuah kebun yang telah siaga untuk dinikmati buah-buahnya.
Dengan demikian, ketika seseorang mutlak bersandar kepada hadiratNya, di mana saja dia berada sesungguhnya tidak perlu risau berhadapan dengan apa pun. Karena dapat dipastikan bahwa Allah Ta’ala itu sangat kuasa untuk menjaganya, juga menyediakan segala sesuatu kepadanya.
Dalam konteks ini, yang betul-betul diperlukan itu adalah keyakinan yang kukuh dan kuat kepada hadiratNya. Keyakinan yang melampaui potensi rasional. Keyakinan yang sama sekali tidak menampung kekurangan sedikit pun. Keyakinan yang menjadikan diri kita hanya akrab dengan Allah Ta’ala, tidak dengan apa pun yang lain. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Hamzah al-‘Uqaily - 7 February 2025
- Syaikh Amirjah Bayya’ al-Fikhar - 31 January 2025
- Syaikh Abu al-Muzhaffar at-Tirmidzi - 24 January 2025