Kalau kita dengar bahwa superhero adalah manusia setengah dewa, lho kok ketemu buto wungu macam Thanos malah letoy? Russo Brothers sebagai pembuat film sukses menghadirkan kemanusiaan dari para pahlawan dengan kekuatan luar biasa ini—bahwa sebesar apa pun kekuatan mereka, Avengers adalah bagian kecil dari Semesta. Jadi, tutup cocotmu, Tony Stark! Sebesar kamu punya kekuatan nuklir, seberapa keras kau bertingkah bak partikelir, ujung-ujungnya kena gaplok Thanos juga pecah pelir.
Cerita film ini terpusat pada usaha Thanos untuk menemukan seluruh Infinity Stones (baca: Batu Akik Pancen Sakti Sak Jagad) yang tersebar di seluruh Alam Semesta Raya. Batu-batu ini sudah pernah ditemukan dalam beberapa film Marvel Cinematic Universe sebelumnya—bagi yang mengikuti tentu tahu asal-asal batu tersebut. Wakanda disulap bak Kuruksetra, tiada lagi terlihat yang mana hitam atau putih. Perang dalam film ini betul-betul tak terbatas, serasa tak akan berakhir. Pada akhirnya, akhir sebuah perang bukan tentang siapa yang baik atau jahat, tetapi soal siapa yang menang atau kalah.
Film Avengers: Infinity War juga menggambarkan, mau punya kekuatan super apa pun, kalau orang sudah kepepet, semua orang akan bertindak tolol. Misalnya: diserang jutaan anjing alien, eh Black Panther malah buka pelindung Wakanda, ngapain coba? Terus Captain America, sudah tahu Thanos punya semua batu akiknya dan kekuatannya lebih besar dari dia gitu, eh dia malah nahan-nahan tangannya Thanos kayak anak kecil ngambek, edan.
Hal tolol macam ini yang semakin menunjukkan kontras tingkat kekuatan dan keimanan di Semesta Marvel. Thanos dianggap sebagai mutan yang hendak menghancurkan seluruh dunia, sementara Avengers bertindak sebagai “polisi” dunia yang ingin mengembalikan kedamaian Bumi seperti biasa. Sudah begitu, Thanos ini kok ya sepanjang film melibas banyak nyawa tenang-tenang saja, seakan ia yakin yang ia lakukan benar dan sudah direstui oleh seluruh jagat. Berbeda dengan Avengers yang bolak-balik menjadi merasa yang paling wajib menjaga Bumi. Menurut Avengers, Thanos yang merasa memiliki maksud mulia dianggap tukang porak poranda jagat raya paling mengganggu—padahal selama ini Avengers cuma mainnya di Bumi atau kadang-kadang main ke Asgard, tapi ya masa Semesta cuma seluas dua tempat itu?
Saya merasa, perdebatan ini mirip tingkatan dalam ilmu sufi. Orang yang sudah “menyatu” dengan Semesta ya akan susah nyambung dengan orang yang baru melek soal jagat raya. Sama seperti perkelahian antara Avengers dan Thanos ini. Avengers itu ibarat orang-orang yang dengan lurus menjalankan syariat, hukum dalam hidup mesti ditegakkan agar dunia aman sentosa; sementara Thanos bisa jadi sudah masuk dalam tingkat makrifat, selalu tenang karena ia selalu tahu keadaan diri dan orang lain serta telah merasa bagian tak terpisahkan dari Semesta.
Sebelumnya, Thanos telah menghancurkan setengah populasi dari planetnya, Titan, karena ia merasa bahwa Titan butuh semacam reset ulang agar dapat bertumbuh dengan baik dan jauh dari kerusakan. Genosida ini juga yang ia terapkan kepada banyak bangsa di Alam Semesta, Zen-Whoberi contohnya, planet di mana Gamora berasal. Thanos menyampaikan bahwa ia mendapatkan sebuah ilham kuat bahwa—jika disimpulkan—mengorbankan sesuatu demi kemaslahatan banyak umat itu penting adanya, maka ia nekat dan berkeyakinan kuat untuk memusnahkan demi menumbuhkan hal-hal yang lebih baik. Nah ini yang kemudian membuat saya bertanya, jadi Thanos ini sudah masuk makrifat atau dia musyrik karena telah bermain Tuhan?
Pertanyaan ini sungguh belum bisa dijawab, karena kita harus menunggu lanjutan filmnya—tentu membuat banyak fans Marvel misuh-misuh setelah keluar bioskop. Saya harus akui bahwa film ini mampu mengaduk-aduk perasaan dan jalan pikir setiap penonton. Banyak prediksi di sosial media, utamanya soal siapa yang akan mati, tapi tiada yang akan menyangka bahwa kejadiannya akan seperti ini. Rasanya seperti diputusin pacar pas lagi sayang-sayangnya. Serius. Kalau saya, setelah puas meluapkan amarah dan kebetean efek habis Avengers, malah jadi berkontemplasi. Sebenarnya, Thanos ini ada benarnya nggak sih? Bagaimana kalau apa yang Thanos lakukan memang karena dia memang jauh lebih berpengetahuan daripada kita yang dengan mudah akan menjadi debu kosmik? Sepertinya luasnya jagat raya ini akan selalu dipenuhi pertanyaan yang nggak akan selesai.
Mau Thanos ini mutan bermakrifat atau iblis alien, kita perlu mengakui ia membuat kita sadar bahwa, kadang ada saja hal yang nggak kita kira akan terjadi nyatanya akan terjadi juga. Seberapa besar pengetahuan dan pengalaman kita—seperti Thanos yang habis menggunakan kekuatan paripurnanya malah berhadapan dengan after effect yang sama sekali dia juga nggak duga—kita nggak akan pernah tahu masa depan sedekat satu jentikan jari akan membawa kita ke mana. Segencar apa pun Avengers mencoba menghentikan kiamat, kita yang cuma scavengers cuma bisa tawakkal menghadapi dunia. Jebul enek hikmah’e Avengers ini, seperti film religi. Haduh, haduh.
- Vice (2018): Berguru pada Orang Berengsek - 6 February 2019
- Kompleksitas Kasih dalam Ave Maryam (2018) - 12 December 2018
- Beristighfar Bersama Filmografi Azzam Fi Rullah - 7 November 2018
Faluthi Faturahman
Wakaka ngakak. Bukannya sok tau, Titan, planet Thanos itu hancur. Thanos menyarankan ke pemimpin di planetnya untuk genosida dari setengah penduduknya, tidak membedakan. Akhirnya Thanos diasingkan dianggap gila. Titan hancur, akhirnya Thanos gila, semesta diambang kiamat. Untuk menghindari nya dia mengaplikasikan saran untuk Titan menjadi seluruh. Semesta, dan dalam satu jentik, setengah makhluk hidup di seluruh semesta mati.