Vice (2018): Berguru pada Orang Berengsek

Dick Cheney mungkin bukan nama yang sangat terkenal di kalangan dunia populer pada tahun 2000-an, tetapi tentu banyak dari kita tahu George W. Bush adalah Presiden Amerika Serikat 2000–2008. Cheney adalah Wakil Presiden Amerika Serikat di masa pemerintahan Bush, tapi perannya jauh lebih strategis dan berpengaruh dari yang banyak orang kira—bahkan digadang sebagai wakil presiden Amerika Serikat paling berkuasa dan berbahaya sepanjang sejarah Amerika Serikat.

Vice mengangkat kisah hidup Dick Cheney dengan porsi drama komedi politik yang sangat cukup dan sangat bisa dinikmati. Kita diajak untuk mempelajari sejarah Amerika Serikat kontemporer, sedikit menganalisis, sambil mentertawakannya secara ironis. Satu kesimpulan setelah menonton film ini: terkadang kita harus berguru dari orang yang bikin kita mengelus dada saking pintarnya berkelit.

Film Vice tidak dituturkan secara linear, tapi penonton akan mendapat sebuah cerita utuh tentang biografi Dick Cheney. Mulai dari bagaimana hancur-hancurannya masa remaja Cheney, hingga kekalemannya setelah menjadi tenaga magang di kongres, ia menghadapi segala serba-serbi politik tapi mampu melibas segala permasalahan dengan hanya beberapa kali bicara. Gimana bisa seorang politisi bisa membuat sesuatu yang mengubah negara dan bahkan dunia? Selama ini kita sering berpikir, sebenarnya kerja wakil presiden itu apa, ya? Film Vice memberikan unboxing atas pertanyaan itu. Cerita tentang kiprah pelayanan penjilat kepemimpinan Cheney tidak akan lepas dari penggambaran kehidupan politik seseorang ketika masuk ke U.S. Capitol dan White House, film ini lengkap dengan serangkaian tips komikal bagi kamu yang ingin menjadi oportunis sejati a la Dick Cheney. Film ini memberi tahu kita bahwa untuk menjadi seorang politisi yang baik, tak perlu punya cum laude atau berprestasi apa-apa waktu kuliah atau saat bekerja, yang penting pintar bicara, membolak-balikkan kata alias bokis, dan keahlian untuk melindungi kepentingan.

Vice tidak melulu bicara politik, tapi cukup menggambarkan bagaimana Cheney menyayangi keluarganya tanpa syarat. Cheney digambarkan sebagai ayah yang sangat sayang anak-anaknya, juga seorang suami penyayang yang kadang memang harus diomeli istrinya dulu jikalau salah mengambil langkah atau menimbang keputusan. Vice memberikan drama keluarga dengan porsi yang pas tanpa menghilangkan esensi kedalaman cerita mengenai politik Cheney. Bagaimana Cheney membentuk beberapa kebijakan serta aksi politiknya berdasarkan kasihnya pada keluarga menggambarkan sejatinya kaum konservatif yang sangat melindungi tradisi turun-temurun dan harkat martabat keluarga. Keberadaan keluarga dalam cerita juga bukan hanya sebagai penambah karakter tanpa arti, Vice memperlihatkan bagaimana keluarga memberi penyeimbangan citra Cheney dalam kariernya yang seolah selalu dipandang sebagai sosok keras dan kerap dianggap durjana.

Berbicara soal durjana, kata vice sendiri dalam bahasa Inggris ternyata tidak hanya berarti pengganti, wakil, tetapi ada dua pengertian lain—salah satunya adalah perilaku jahat. Penonton akan digiring untuk memaknai bagaimana cara menempatkan Cheney secara filosofis; apakah ia seorang wakil presiden, seorang yang memiliki pemikiran jahat dan pandai berkelit, atau seorang wakil presiden yang memiliki pemikiran jahat dan pandai berkelit. Lagi-lagi, opini penonton akan diulang-alikkan melalui pembawaan yang komedik sehingga kita akan lupa bahwa Cheney adalah benar-benar orang berkuasa yang menggunakan kekuatannya semaksimal mungkin.

Banyak metafora terselip dalam film yang menggambarkan kepandaian berkelit dan semakin menambah kebusukan yang mesti ditutupi. Perang terhadap terorisme, pelanggaran hak asasi manusia, perang proxy, dan islamofobia. Bersamaan itu diberikan gambaran efek brutal dari seluruh kebijakan yang ia gunakan, tak hanya mengubah wajah Amerika, tapi juga wajah Timur Tengah. Jadi, tidak heran ketika di tengah film kita disajikan adegan cuplikan dari video lain, misalnya saat singa menerkam mangsanya, Cheney sedang memancing, pelayan yang tiba-tiba mengerti kebijakan politik luar negeri, atau cuplikan berita rekaan. Semua selipan video kiasan ditempatkan dengan sangat cerdas.

Kecerdasan film ini juga tentunya diperkuat oleh ansambel pemeran yang benar-benar memperkuat satu sama lain. Karakter Dick Cheney dan Lynne Cheney diperankan oleh Christian Bale. Sukses menghadirkan sosok menyebalkan yang menggunakan kepandaiannya untuk kepentingan sendiri, penonton akan dibuat berada di ambang bersimpati ketika melihat sisi baik Cheney saat bersama keluarganya atau ketika melihatnya di dunia politik membatin “Gendeng, muka dua dasar!”, sangat aneh, membuat kita bisa berempati pada karakter utama yang senang menghancurkan hidup banyak orang.  Lewat pemeranannya, Christian Bale diganjar piala Golden Globe 2019 sebagai Aktor Terbaik dalam film komedi atau musikal. Pemeranan Amy Adams menjadi Lynne Cheney agaknya menjadi alasan mengapa Bale bisa bermain dengan baik—menurut hemat saya, semestinya Amy Adams yang lebih cocok mendapatkan pialanya. Menciptakan power couple dalam film sebenarnya tidak begitu mudah, Adams bisa mengisi penuh kekuatan Bale sebagai Dick Cheney, menceritakan bahwa Dick Cheney tidak akan bisa apa-apa tanpa Lynne Cheney—aih, mengingatkan saya pada duo Pak Harto dan Bu Tien. Lynne sendiri sejak muda lebih berambisi dan memiliki visi masa depan lebih baik daripada Dick—Adams menyeimbangkan kekuatan karakternya dan memberi motivasi, tanpa memakan sorotan utama untuk Christian Bale. Hal yang sama juga berlaku untuk Sam Rockwell yang memerankan Presiden George W. Bush. Rockwell menyajikan sisi lain yang tak banyak media lihat dari Bush, bahwa ia tidak ada apa-apanya jika tidak memimpin bersama Cheney. Dengan kata lain, film ini menyadarkan kita bahwa 10 tahun kepemimpinan Bush, ia hanyalah presiden simbolis, sementara pemeran utamanya adalah Cheney.

Di segi penyutradaraan, saya cukup kagum dengan bagaimana Adam McKay bisa menjadi agak serius dalam penceritaan. Film-film sebelumnya yang ia sutradarai adalah komedi murni yang akan membuat kita geleng-geleng dengan aksi Will Ferrel dan geng aktor spesialis komedi lain seperti Paul Rudd, Steve Carell, atau Melissa McCarthy. Vice menjadi bukti bahwa McKay tidak mau membuat film sebagai lucu-lucuan saja. Ia bisa menyulap komedi cuplikan sejarah Amerika dengan sangat ironis. Ia bahkan bisa membuat penonton yang terbiasa melihat Steve Carell sebagai aktor yang lucu karena menyebalkan menjadi bisa dikasihani. McKay sebenarnya pernah memproduseri The Big Short, sebuah drama komedi politik-ekonomi yang juga dibintangi oleh Christian Bale dan Steve Carell. Tidak heran, Vice memiliki cita rasa menonton The Big Short dicampur sedikit komedi Anchorman.

Pada akhirnya, jangan kaget jika kita melihat judul Vice di deretan nominasi film terbaik Academy Awards dan Golden Globes 2019. Anomali bagi film komedi, apalagi yang disutradarai oleh McKay, untuk mendapatkannya, menjadi nominasi rasanya juga sudah sebuah pencapaian besar. Kapan lagi kita bisa menikmati belajar sejarah Amerika kontemporer, berguru pada orang brengsek, dan belajar bersabar dalam satu paket? Vice adalah paket ajaib itu.

Gladhys Elliona
Latest posts by Gladhys Elliona (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!