
KAMI BERTEMU DI BENGKEL KETOK MAGIC LA VEYOT di daerah Kota Baru. Dia menanyakan kabar dan pekerjaanku. Kukatakan kepadanya bahwa aku masih bekerja seperti sebelumnya: mengetuk pintu rumah-rumah orang yang tidak kukenal, dan sejauh ini, itu jenis pekerjaan yang ringan, menyenangkan. “Ada saja kejutannya,” jawabku seakrab mungkin, “selain membantu melampaui sepuluh ribu langkah perhari. Agar sehat. Tak lama lagi, kita akan sama-sama berusia dua lima.”
Dia mengangguk-angguk seperti burung perkutut lelah yang berusaha memahami nyanyian burung lain. Matanya melihat tumpukan velg racing yang silau di sebelah potongan bumper. Dia menarik napas dengan cara yang tak biasa, seakan dihirup melalui telinga, diembuskan lewat ubun-ubun yang hangat. Dari caranya memperhatikan suasana, aku merasakan ada semacam beban berat. Dia menatap ke luar, tapi seolah mata hatinya memandang ke dalam diri sendiri.
Kami berada di bawah pohon kersen yang miring ke selatan. Kami duduk-duduk di atas kursi dari ban bekas yang meleot-leot saat menahan beban. Udara menjelang siang sedang sejuk. Keadaan tampak santai pada pertengahan bulan Mei. Para pekerja bengkel belum memulai keributan. Kupu-kupu kuning kecil bermain di dekat bougenvil. Namun, lawan bicaraku sepertinya tidak menikmati suasana.
“Aku, sebenarnya,” katanya kemudian, yang membuatku terkejut karena suaranya terdengar tenang dan dalam, sebuah tanda bahwa dia telah mendapatkan kendali atas masalah dalam dirinya, “ingin bekerja sepertimu, seperti manusia pada umumnya. Berkeringat karena membanting tulang.”
Dia melanjutkan dengan berkata bahwa bukan berarti dia belum pernah mencoba melakukannya. Dia pernah. Dia berusaha keras menunjukkan kepadaku bahwa dia pernah bekerja “seperti manusia pada umumnya” di beberapa tempat setelah lulus kuliah. Aku dan dia satu angkatan. Berbeda jurusan. Dia mengambil sastra murni.
Dia merasakan penderitaan setiap kali melakukannya—pekerjaan manusia pada umumnya. Jiwanya gelisah. Pikirannya memberontak. Kesehatannya menurun. Asam lambung naik. Suara hatinya menjeritkan kepedihan yang berulang-ulang seperti ini, “Hei, kamu ini manusia kelas pemikir, bukan manusia kelas pekerja. Tugasmu hidup di dunia ini berpikir dan berpikir, bukan bekerja dan bekerja! Otakmu memberi arah pada mereka yang hanya menggunakan otot,” katanya kemudian dengan retorika seperti Plato. Selama beberapa menit, dia mengungkapkan sejumlah teori, menjelaskan tentang pembagian peran umat manusia, menyebutkan istilah-istilah yang belum pernah aku dengar sebelumnya; hanya demi membuat aku paham tentang kondisi yang sedang dia alami.
Dia bahkan berbicara hal-hal aneh yang sebenarnya aku sendiri masih perlu pembuktian untuk meyakininya. Dia berkata bahwa di tahun-tahun terakhir ini kebahagiaan hidupnya adalah menjadi seorang pemikir, bukan pekerja, dan itu semua berdampak pada rumah tangganya. Serta ada persoalan seksual dengan istrinya—sesuatu yang biasanya dirahasiakan oleh seseorang.
“Dalam tahun-tahun terakhir ini, aku hanya bisa orgasme,” katanya dengan kalimat yang melambat, seolah ada potongan ban karet berat yang melepas lumpur dan melayang ke permukaan, “hanya dan hanya ketika sedang berdebat, baik di dalam rapat atau seminar atau dalam balas-balasan komentar di media sosial. Makin panas perdebatan, makin merangsang dan nikmat rasanya.”
Aku tidak tahu harus berkomentar apa, selain, “O, sampai sejauh itu, ya, dampaknya?”
Kemudian aku katakan kepadanya bahwa beberapa orang memang punya fetish aneh-aneh. Aku pernah membaca sesuatu yang lebih tak terduga berdasarkan survei lembaga kesehatan profesional; ternyata terbukti ada orang yang orgasmenya tidak masuk akal, misalnya hanya terjadi bila sambil menepuk nyamuk, mengaduk semen, merampas harta anak yatim, menciptakan kebakaran hutan, meluncurkan rudal, menghancurkan kemah pengungsi, atau bahkan saat menampar wajah polisi lalu lintas.
Dia tertawa. Mungkin perasaannya menjadi lebih baik setelah mengetahui ada kenyataan yang lebih buruk. Atau mungkin karena alasan lain. Situasi yang mereda itu mendorong aku untuk bertanya bagaimana kondisi istrinya sekarang dan apa tujuannya menemui aku?
“Pinjami aku uang,” katanya kemudian dalam suasana hati yang berubah tiba-tiba dari tawa menjadi tertekan.
Setelah mendapatkan apa yang dia inginkan, dia menghilang secara misterius selama tiga bulan sejak kami bertemu di Bengkel Ketok Magic La Veyot di daerah Kota Baru. Mau tidak mau, pada hari Selasa, tanggal sembilan bulan Agustus aku terpaksa mencarinya. Aku perlu membayar sewa rumah. Cuaca sedang gerah. Aku libur bekerja di perusahaan jasa mengetuk-ngetuk pintu rumah orang. Aku menagih. Sesuai janjinya. Selain itu, sebenarnya, aku penasaran, bagaimana keadaan istrinya? Bagaimana nasib seorang perempuan yang harus tinggal dan menghadapi lelaki yang selalu yakin dirinya ditakdirkan hanya untuk berpikir, berdebat, dan menyelamatkan peradaban, bukan untuk bekerja kasar seperti yang aku lakukan? Kebetulan, istrinya satu jurusan denganku waktu kuliah. Berbeda kelas. Aku pikir, inilah saat yang tepat untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
_____
Aku tiba menjelang sore, memarkir motor, dan debu-debu hangat sesekali beterbangan. Rumah ini tanpa pagar. Di beranda ada tampilan kontras dari dua kursi rotan yang ikatannya kendur, meja kaca dengan asbak, sepasang barbel dua kilogram di bawahnya, dan tak jauh dari situ ada gerinda, pisau-pisau dapur, golok, dan katana pendek. Panjangnya sekitar satu lengan orang dewasa.
Setelah aku mengetuk pintu, beberapa lama kemudian keluar perempuan yang mengenakan celana kulot scuba, jilbab hitam model instan, dan cardigan cokelat yang sepertinya dipakai dengan terburu-buru untuk menutupi kaus Uniqlo putih polos yang menampilkan sedikit bentuk tubuhnya. Dia mempersilakanku duduk di kursi rotan yang mengendur dan berkriet-kriet. Ketika pada gilirannya aku bertanya untuk apa benda-benda aneh itu, dia menjawab, “Tidak untuk apa-apa,” katanya sambil menarik sisi kanan cardigan ke dada, lalu melihat ke arah pisau-pisau yang berantakan, “aku hanya suka sesuatu yang tetap pada takdirnya. Pisau harus tajam untuk mampu menjalankan takdirnya sebagai pisau. Dan aku membantunya. Sesederhana itu.”
Terus terang aku kesulitan memahami isi kepala perempuan ini. Mungkin dia sudah tertular oleh suaminya yang pemikir kelas berat.
Aku mengenalnya karena beberapa kali pernah mengambil mata kuliah yang sama. Kami kuliah di jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Kami pertama bertemu pada kelas mata kuliah bahasa Arab. Mata kuliah ini dipelajari karena banyak kata dalam bahasa Indonesia serapan dari bahasa Arab. Aku bergabung ke kelasnya. Dia sedang maju mengerjakan soal fi’il amr di papan tulis.
Aku datang terlambat. Aku kena damprat dosen lelaki tua. Dosen ini dikenal dengan sebutan “empat mata dewa”. Itu karena dia memakai dua kacamata. Sepasang di matanya, dengan bingkai tebal. Sepasang lagi di dahinya dengan bingkai keemasan. Dia selalu membawa pengawal yang selain membawakan tas, kertas, atau berkas, juga selalu berdiri di samping meja sepanjang kelas berlangsung seolah kelas kami adalah sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat dan seorang presiden “empat mata dewa” sedang berpidato tentang rencana pembangunan lima tahun ke depan.
Sampai hari ini, aku masih mengingatnya. Pengawal itu kurus. Tanpa pangkat di bajunya. Dia memakai pakaian dinas harian sewarna telur asin. Ukurannya terlalu besar. Dia selalu mengambil sikap sempurna seperti pasukan elit. Kupikir-pikir kalau membawa senjata, dia pasti akan menembak siapa pun di antara kami yang gaduh dan tidak bisa menjawab di kelas seperti pasukan khusus yang menembak pemberontak dengan alasan keamanan dan ketentraman. Jika itu terjadi, akulah orang pertama yang akan dia tembak kepalanya karena selalu lupa membawa buku panduan Durusul Lughah al-Arabiyah. Suatu hari, saat aku membaca karya Nikolai Gogol, The Overcoat, gambaran pengawal dosen itulah yang selalu muncul dalam bayanganku.
Ketika aku sudah mengambil kursi di belakang—yang terlambat harus duduk di pojok terpencil kelas, seolah pengidap wabah atau kelompok radikal—perempuan ini ternyata memilih pindah duduk tak jauh dari tempatku.
Setelah kelas selesai, dia bertanya kepadaku, “Kamu kuliah sambil bekerja?”
Aku katakan, ya, begitulah, sejak ayah aku meninggal terjatuh dari pohon kelapa, aku harus mulai mandiri. Apa mau dikata. Bisa apa? “Dari mana kamu bisa tahu kalau aku bekerja?” Aku penasaran.
“Bau keringatmu.”
Aku membaui diri. Bau kuman yang membusuk. Tapi, bisa saja sisa bau keringat ini karena lari mengejar kelas, kan?
“Perempuan sepertiku bisa membedakan bau keringat lelaki yang baru bekerja, olahraga, dari gym, atau yang baru kena asam lambung.”
“O ya? Bagaimana caranya?”
“Kapan-kapan kujelaskan. Sampai jumpa!”
_____
Ketika itu tahun 2010, nilai tukar rupiah terhadap satu dollar AS masih sembilan ribu rupiah, dan aku mulai kesulitan masuk kelas bahasa Arab, juga kelas-kelas lain. Aku merasa lelah, bosan. Dunia perkuliahan, bagi aku waktu itu, dan mungkin sekarang pun masih, adalah dunia yang penuh teori. Sedikit-sedikit definisi menurut para ahli. Jangan lupa tahun dan halaman kutipan. Terus terang, aku bukan tipe orang yang menjalani hidup dengan dibimbing oleh teori semacam itu dalam melangkah. Mungkin aku ini sejenis manusia coba-coba. Atau aku bagian dari sekte manusia yang memuja kata hati. Pencari keberuntungan dan nasib baik.
Kedengarannya aneh. Setelah kupikir-kupikir lagi juga begitu. Tapi apa boleh buat, inilah kenyataannya.
Harus kuakui, bagi beberapa orang, hidup dalam arus kata hati berarti hanyut dalam ketidakpastian. Barangkali itu pula sebabnya, aku tidak tumbuh menjadi orang yang menonjol dalam akademis. Sulit bagiku untuk menyimpulkan sesuatu, apalagi menilai atau memberi kritik.
Aku lebih suka melihat dan mempertanyakan bagaimana sesuatu bekerja dan ingin tahu bagaimana akhir dari sesuatu itu. Saat anak-anak lain menghafal perkalian dan pembagian, aku lebih suka membuat gambar tentang perjalanan sedih nasib pembagi (:). Ia harus bekerja keras memecah segala sesuatu menjadi lebih kecil dan lebih kecil lagi. Sesuatu yang melelahkan dan biasanya berakhir menyedihkan pula. Porsi yang semakin mengecil, bagaimanapun juga, bukanlah impian manusia pada umumnya. Ibarat keluarga miskin yang membagi sebutir telur rebus menjadi potongan-potongan kecil untuk makan pagi, siang, dan malam. Begitu juga dalam melihat manusia. Aku tidak bisa dengan mudah menarik kesimpulan bahwa si A adalah pemarah, si B tukang tipu, si C punya aura gelap, si D tidak perawan, atau si E orang yang baik dan sebagainya.
Hal buruknya, karakterku yang seperti ini membuatku tidak bisa menolak saat ayah memintaku masuk ke kampus keguruan.
Dalam pandangannya waktu itu, akan ada pensiun besar-besaran, dan dibutuhkan banyak guru, sehingga aku akan mudah mendapat pekerjaan. Aku seharusnya menolak. Aku tidak suka sekolah. Lalu, bagaimana mungkin aku bercita-cita kembali ke sekolah? Anehnya, setelan pikiranku yang penasaran malah bergumam, “Apa salahnya dicoba? Bagaimana akhirnya, ya?” Sehingga, aku pun menurut. Aku pindah ke kota. Karena sejak sekolah aku lebih banyak membaca buku fiksi daripada menghafal rumus pasti, kupikir jurusan pendidikan bahasa tidak masalah. Ini akan menyenangkan semua pihak. Ayahku mendapatkan apa yang dia inginkan: anaknya akan jadi guru. Aku pun mendapat bagianku: membaca novel sebanyak-banyaknya di kampus. Pada dasarnya, aku memang tidak suka perdebatan selain tidak suka memiliki hubungan yang terlalu dalam dengan orang lain. Sampai tibalah pada suatu hari saat ayahku meninggal terjatuh dari pohon kelapa dengan seekor ular melilit di lehernya.
“Cara mati yang menyakitkan,” pikirku saat mendapatkan kabar dan penjelasan soal kematiannya melalui telepon.
Ketika keluargaku yang lain memperdebatkan adanya ular siluman, sihir orang pembenci, pohon licin, dan tubuh yang remuk, aku lebih tertarik mempertanyakan apa selanjutnya? Tubuh ayahku akan membusuk di dalam tanah. Ke mana ruhnya? Bagaimana caranya dia terhapus dari hubungan sosial, dari memori orang-orang, memori administrasi, atau mungkin dari memori sebutir kelapa muda yang sering dia tepuk-tepuk seperti menepuk kepala sahabat lama. Di rumah, dia punya depot kelapa muda. Ibuku? Aku tidak suka berbicara tentangnya. Mungkin lain waktu. Yang jelas, sekarang aku harus lulus, pikirku. Aku harus selamat dari dua hal. Pertama, dari bayar tagihan kuliah. Kedua, dari dunia teori dan kutipan yang tidak cocok buatku.
Di saat-saat seperti itulah aku bertemu secara istimewa, tidak seperti biasanya di kelas, dengan perempuan yang mampu membedakan lelaki berdasarkan bau keringatnya ini. Kalau tidak salah pada bulan Januari, saat musim libur mahasiswa. Kampus sepi. Aku sedang mencari referensi untuk skripsi di perpustakaan.
Aku melihat wajahnya muncul dari sela rak buku. Terlihat seperti perempuan pemetik jamur di kaki bukit pedalaman yang mencari-cari jamur (tentunya) di sela-sela pecahan pohon lapuk dan rerumputan. Itulah yang kuingat selama bertahun-tahun. Aku tidak tahu mengapa aku melihatnya seperti itu. Kalau dipikir-pikir kembali, aku pun tidak mengerti dengan keadaanku. Mungkin aku pernah melihat film yang menampilkan adegan seorang perempuan cantik sedang memetik jamur di kaki bukit, disertai latar pegunungan hijau, langit cerah.
Sebenarnya aku ingin menyapanya. Seolah tidak ingin merusak sebuah maha karya adegan yang indah, aku diam dan memilih sedikit bergeser. Sekarang sudut pandangnya dari samping. Aku tidak ingat apa saja judul buku-buku yang berjajar dengan tidak rata, bau kertas, dan aneka warna pada rak di depanku. Akan tetapi, aku masih ingat yang dia lakukan. Dia menarik salah satu buku tebal putih dari rak kayu. Terlihat persis seperti perempuan di kaki perbukitan yang berhasil menemukan jamur di antara kayu lapuk dan rerumputan.
Aku jenis orang yang mudah merasa cukup dan mengerjakan sesuatu sedikit demi sedikit. Kurasa banyak orang yang sepertiku di dunia ini. Aku merasa cukup dengan melihat seorang perempuan yang seperti sedang memetik jamur, jadi aku tidak ingin merusak ingatan itu. Aku juga tidak perlu buru-buru dalam mengerjakan skripsi. Sedikit demi sedikit saja, yang penting setiap hari ada perkembangan yang berarti. Aku pun keluar, duduk di taman sambil memikirkan betapa banyak hal telah hilang dalam hidupku, dan seperti tidak ada lagi ambisi yang menggebu.
“Hei, kamu pengetuk pintu-pintu itu, ‘kan?” Terdengar suara dari belakangku. Perempuan itu. Dia menggendong tas ransel, yang bagiku terlihat seperti keranjang para pemetik jamur. Juga sebuah buku. Yang di mataku seperti jamur putih persegi.
“Mengganggu? Boleh duduk? Kamu tidak bekerja mengetuk-ngetuk pintu?”
“Boleh, silakan,” kataku, “kebetulan sedang libur. Kamu?”
“Dari perpus. Aku harus mengerjakan skripsi dan lulus secepatnya,” katanya kemudian. “Aku akan segera menikah.”
“Dengan siapa?”
“Dengan pacarku, lah.”
“Maksudku, mengapa buru-buru? Apa kamu tidak ingin bekerja dulu dan jadi guru?”
“Sebenarnya, aku suka menjadi guru,” suaranya terdengar tidak bersemangat, “aku suka mengajar. Kamu juga, ‘kan?”
“Aku tidak suka sekolah dan tidak suka kuliah juga sebenarnya. Jadi, ya, kamu tahu kesimpulannya.”
“Tapi kenapa kamu di sini?”
“Ceritanya panjang,” jawabku singkat. “Kamu sendiri mengapa buru-buru menikah? Tidak menunggu wisuda?”
“Mmm, bagaimana ya? Malam tahun baru lalu, pacarku tidur denganku. Jadi, kuputuskan untuk segera menikah dengannya. Dia mengikatku. Aku pun akan mengikatnya.”
“Hanya karena itu?”
“Bagi lelaki mungkin terdengar seperti ‘hanya itu’. Tapi bagi perempuan, ada sesuatu yang lebih dari itu. Ah, lupakanlah. Mungkin kamu kenal sama orangnya. Dia sering menjadi pembicara diskusi dan memimpin organisasi di fakultas kita,” katanya sebelum menyebutkan sebuah nama yang memang kukenal, dalam arti aku yang mengenalnya. Lelaki populer di kampus. Yang anehnya, dalam diriku, tiba-tiba meledak kebencian. Aku yang biasanya tidak memberi nilai pada seseorang, kini terbayang hal-hal buruk. Untung kutahan. Aku tidak tahu apa jadinya kalau kukatakan bahwa lelaki yang banyak bicara biasanya tidak becus bekerja. Apalagi yang bergaya tampil kritis. Kelak, orang-orang seperti mereka, apabila diberi kekuasaan, akan paling keras menindas kekritisan itu sendiri. Namun, aku tidak mengatakan apa-apa. Aku takut dia tersinggung lagi.
“Seperti apa sebenarnya pekerjaan mengetuk-ngetuk pintu? Apakah gajinya lumayan?” tanyanya.
Dengan pelan-pelan, kujelaskan kepadanya tentang pekerjaanku yang sebenarnya mirip seorang sales. Bedanya, perusahaan tempatku bekerja ini menerima pesanan apa saja yang membutuhkan seseorang untuk mengetuk pintu rumah, memencet bel, atau mendentang pagar rumah orang lain. Paling banyak pesanan saat musim pemilihan umum. Survei atau membagikan stiker omong kosong. Juga saat musim agenda kesehatan seperti membagi-bagikan bubuk abate. Aku tidak keberatan melakukannya. Itu membuatku bertemu dengan berbagai macam manusia, berbagai jenis rumah, dan berbagai keadaan. Pekerjaan seperti ini membuatku tidak merasa kesepian di dunia ini. Ternyata banyak manusia. Ramai dan meriah. Persoalan diterima baik atau diusir, itu bukan urusanku. Itu urusan mereka. Aku sudah terlatih untuk tidak peduli. Urusanku hanya mengetuk pintu, menyampaikan sesuatu, seperti tukang paket.
“Suatu saat, bisa saja yang kuketuk ternyata pintu rumahmu.”
“Menawarkan bubuk abate?”
“Atau stiker antinarkoba.”
“Atau survei kepuasan pengguna panci.”
Kami tertawa. Sensasi aneh terjadi dalam diriku seakan dadaku berubah menjadi pantai. Aku merasa gembira bisa tertawa bersama seorang perempuan pemetik jamur.
“Akan tinggal di mana setelah menikah?” tanyaku.
Dia menuliskan sebuah alamat pada sobekan kertas. Dalam pandanganku, dia seperti sedang menuliskan suatu resep di atas jamur persegi.
“Datanglah,” dia memberikannya kepadaku, “bawa bubuk abate, stiker antinarkoba, atau produk spatula terbaru. Tapi mohon maaf, aku ada janji.”
“Eh, sebentar. Kamu belum memberitahuku soal keringat laki-laki.”
“Oh, itu. Ya, aku ingat. Tapi kapan-kapan saja, ya. Pasti kujelaskan. Aku janji. Sekarang aku buru-buru. Sampai jumpa lagi!”
_____
Di kursi rotan yang mengendur dan kriet-kriet, kulihat beberapa kali matanya bergantian antara menatap pisau-pisau dan menatap ke rambut, mata, bibir, lalu ke arah leherku. Paling tidak, itulah yang kurasakan di beranda saat itu. Dengan kaus Uniqlo putih polos yang menampilkan sedikit bentuk tubuhnya, dia terlihat natural seperti yang kukenal sebagai pemetik jamur di kaki bukit bertahun-tahun yang lalu di seberang rak perpustakaan.
Dia masih bekerja mengajar bahasa Indonesia untuk anak-anak sekolah menengah pertama di sekolah swasta yang cukup populer. Sesuatu yang dulu diharapkan ayahku bakal terjadi kepadaku. Namun, apa daya, setelah lulus, aku merasa beban terlepas dan tidak ingin membuat beban baru. Itu tujuanku. Aku lulus bukan sebagai sarana meraih cita-cita, tapi untuk melepaskan beban-beban seperti seekor sapi yang terbebaskan dari kekang gerobak di lehernya. Yang tidak kupahami adalah mengapa dia belum memiliki anak. Bukan urusanku sebenarnya. Aku juga tidak tahu dan tidak mau tahu apakah itu keputusannya dengan suaminya atau entah bagaimana. Pernah sekali waktu dia bercerita kepadaku bahwa suaminya yang tidak mau mengeluarkan di dalam. Mencegah pembuahan, katanya
“Kamu, ‘kan, bisa menjapitnya seperti kepiting, agar dia tidak melepaskan. Kedua kakimu di punggungnya,” kataku suatu ketika.
“Tenaganya terlalu kuat. Dia memberontak seperti serigala jadi-jadian. Lagi pula, aku sering merasa mual dengan bau keringatnya yang tiba-tiba.”
_____
Hari ini aku datang lagi ke rumahnya. Sore mulai meredup. Suaminya belum ada tanda-tanda akan kembali. Sebenarnya tidak baik apabila aku mengatakan tujuanku kepada orang lain. Kupikir bukan urusan perempuan ini tentang kepada siapa suaminya meminjam uang. Itu soal harga diri. Harga diri suaminya sebagai lelaki. Namun, karena aku memerlukan uang itu untuk membayar sewa rumah, dengan berat hati aku membuang kriteria harga diri itu.
Kukatakan kepadanya bahwa pada pertengahan bulan Mei, suaminya menemuiku di Bengkel Ketok Magic La Veyot di daerah Kota Baru. Ketika itu aku sedang memperbaiki mobil Timor Dohc Injeksi 1997. Dia meminjam uang. Terbilang banyak. Hari ini, aku memerlukan uang itu.
Aku menyampaikannya dengan hati-hati. Di luar dugaan, perempuan ini tampak tenang. Tidak ada perubahan emosi yang berarti pada wajahnya, entah rasa malu, tertekan, atau marah karena kehilangan harga diri.
“Apa dia berkata kepadamu bahwa dia manusia kelas pemikir?”
“Iya,” jawabku.
“Bukan kelas pekerja?”
“Iya.”
“Tugas hidupnya berpikir untuk menjaga arah peradaban umat manusia?”
“Iya”.
“Bukan untuk bekerja dengan otot, tetapi dengan otak?”
Aku mengangguk. Kulihat perubahan ekspresi yang sangat jelas sekarang. Perempuan yang kukenal sebagai pemetik jamur paling cantik dan seksi di kaki bukit itu terlihat jelas memendam kemarahan seolah mendapati jamur-jamurnya dicuri oleh orang lain. Aku terdiam. Dalam hati, aku menyesal menyampaikan soal sensitif ini kepadanya. Untung aku tidak mengatakan bahwa suaminya bercerita tentang orgasmenya yang aneh, yang hanya bisa terjadi saat sedang berdebat, baik di dalam rapat atau seminar atau dalam balas-balasan komentar. Aku belum menikah. Aku tidak tahu bagaimana jalannya konflik antara dua orang yang sering menghabiskan hari-hari bersama di dalam rumah yang sama. Aku pernah mendengar banyak pengakuan. Namun, terkadang ada kenyataan lain yang sering disembunyikan oleh seseorang.
“Apakah dia melakukannya juga kepada orang lain?” tanyaku pelan-pelan.
“Kalau berdebat, memaki, iya,” jawabnya, “tetapi kalau meminjam uang sepertinya hanya ke kamu. Selama ini, gajiku sebagai guru sekolah favorit dan guru di lembaga bimbingan belajar terbilang mencukupi kebutuhan. Dia hanya perlu rokok, kopi, buku, dan membuat tulisan perlawanan. Lagi pula, kami hanya berdua. Memiliki warisan rumah dan usaha binatu. Tidak ada alasan untuk meminjam uang sebegitu banyaknya ke orang lain, apalagi tanpa jaminan.”
“Kupikir harusnya juga begitu, tetapi—”
“Dia pergi menemuimu setelah kami bertengkar,” potongnya setelah menarik napas dalam-dalam seolah mengenang sesuatu yang berat dan berusaha melepaskannya, “dia tahu beberapa kali kamu pernah datang ke rumah ini. Aku tidak tahu bagaimana caranya dia tahu. Tapi sepertinya dia menandai. Ada bau keringatmu yang kusukai itu di beranda, ruang tamu, dapur, dan di ruang kekuasaannya, di kamar tidur. Dia tahu hubungan kita.”
“Semuanya?”
“Semuanya.”
“Bisa tamat kita,” pikiranku mendadak panik.
“Ya, bisa tamat,” katanya lirih, tenang, sembari melirik pisau, “ya, bisa tamat.”
(2025)
- Bagaimana Cara Menjelaskan Hubungan Pisau dengan Dapur? - 14 February 2025
- Sastra di Antara Fiksi dan Fakta Virus Corona - 15 April 2020
- Pemburu - 21 February 2020
Storylover
Bagus keseluruhan ceritanya. Suka endingnya 👍
Lidya
Ceritanya begitu bagus
Indah
Aku ga paham maksudnya. Itu endingnya bagaimana ya? jd mrk selingkuh apa gmn?
Ridwan Setiadi
Bagus
Cerita halong
penjelasan tentang tempat, waktu dan suasana kejadian sangat menarik dan banyak part yang membuat tersenyum dengan ending yang keren
Lidya
Ceritanya menarik sekali
Dha Speciosa
plot twist banget yaa endingnya
Lidya
Ceritanya begitu panjang tapi menarik sekali
Lidya
Begitu baguss
sancoas
Ah sialan, ending yang membuatku menjadi pemikir
Fateema Cholis
Endingnya booom plot twist sekaliiii