Baturraden dan Mitos Putus Cinta yang Mulai Terlupakan

Baturraden dan Mitos Putus Cinta yang Mulai Terlupakan
Dok. Pribadi

Salah satu wilayah di kaki Slamet yang diberkahi keindahan alam adalah Baturraden. Terletak di Kabupaten Banyumas, sebelah utara Kota Purwokerto, dan di sisi barat berbatasan dengan Kecamatan Kedungbanteng. Selain wisata alam yang menawarkan keramahan khas pegunungan yang “terpinggirkan” dari ingar-bingar perkotaan, Baturraden memiliki berbagai wahana hiburan, kuliner, hingga tanaman hias.

Ada aturan main yang perlu Anda ketahui sebelum datang ke tempat ini. Masyarakat setempat meyakini sepasang kekasih yang datang ke Baturraden, sepulangnya akan “putus”. Mereka yang sengaja datang bersama pasangan ke Baturraden dan telah mengetahui mitos itu, dapat dipastikan sedang menghadapi hubungan percintaan yang pelik. Kedatangan mereka tidak lain untuk menguji apakah hubungan percintaan mereka layak dipertahankan atau tidak.

 

Menapak Tilas Sejarah Baturraden

Dalam teks ajar bahasa daerah pada sekolah tingkat menengah di Banyumas, dikenalkan cerita rakyat tentang asal-usul daerah Baturraden. Dalam teks tersebut disebutkan, Banyumas ketika itu dipimpin seorang adipati. Dia memiliki hewan peliharaan berupa gajah. Tempat tinggal gajah itu bernama Kutaliman, berasal dari dua kata, kuta yang berarti ‘kota/tempat’ dan liman yang berarti ‘gajah’. Sekarang, Kutaliman adalah nama desa di Kecamatan Kedungbanteng.

Untuk mengurus gajah-gajah itu, sang adipati mempekerjakan seorang pemuda yang kemudian diam-diam yang menjalin hubungan cinta dengan putri sang adipati. Di kemudian hari, hubungan keduanya diketahui ketika sang putri hamil.

Hubungan cinta mereka tidak mendapat restu dari sang adipati. Mereka diperintahkan pergi ke arah timur dan bermukim di Baturraden. Sebelum sampai di sana, mereka menempuh perjalanan yang sangat berat, termasuk menyeberangi sebuah sungai besar.

Tak berapa lama setelah anak mereka lahir, pada tengah malam, sang putri memilih pergi tanpa sepengetahuan anak dan kekasihnya, karena merasa tidak sanggup menjalani kehidupan yang serbaterbatas di lereng Gunung Slamet.

 

Lain Dulu Lain sekarang

Cerita rakyat Baturraden yang sejak awal telah terdistorsi menjadi semata mitos tentang tempat yang tepat untuk “putus”, adalah bentuk simplifikasi atas muatan nilai-nilai moral yang diejawantahkan. Bukan suatu kebetulan, cerita (baca: mitos) Baturraden meluas tersebar berkelindan dengan upaya komersialisasi Banyumas sebagai destinasi wisata.

Putri sang adipati gagal memahami realitas kosmik semesta yang lebih utuh namun rumit. Ia mengalami culture shock ketika memasuki latar baru dalam perpindahan alur hidup dari sebelumnya melakoni peran sebagai anak adipati menjadi seorang jelata yang tinggal di belantara. Ia dikuasai rasa cinta terhadap seorang abdi dari ayahnya tanpa pertimbangan sosiologis apa pun. Sikap moralnya bahkan mengalahkan cinta dan menafikan insting seorang ibu untuk merawat anaknya.

Ia tak pernah tahu berkasih perlu memahami bahwa manusia merupakan kesatuan material fisik, pikiran, dan perasaan yang selalu bertarung dengan hukum-hukum realitas di luar dirinya yang senantiasa mengekang. Bahwa manusia tidak akan mampu membebaskan dirinya dari urusan materi, tak dapat dipungkiri. Hal ini niscaya karena hubungan pria dan wanita diatur dalam norma adat dan hukum, bukan sekadar urusan biologis.

Hari ini, mitos Baturraden hampir terlupakan. Hari ini akan lebih mudah mengamati berkembangnya Baturraden dengan berbagai kompleksitas persoalan ekonomi dan sosial. Kita bisa melihat bukti-bukti kemajuan Baturraden yang sudah semestinya diikuti semakin rasional masyarakatnya. Tanah-tanah di sepanjang jalan dari Purwokerto ke arah Baturraden memiliki nilai jual yang begitu tinggi. Seiring perpindahan kepemilikan, tanah-tanah itu beralih fungsi. Puluhan bahkan ratusan bangunan vila, hotel, kafe, hingga warung remang-remang menjadi wajah kekinian Baturraden.

Untuk apakah kemajuan yang meninggalkan masyarakatnya sehingga mengancam eksistensinya? Mereka membiarkan tanah kelahiran dibangun oleh orang-orang asing. Sedangkan pembangunan itu mengancam anak-anak mereka yang lahir tanpa identitas sejarah. Mereka mengira dilahirkan dari kebisingan musik disko sepanjang malam, keremangan gang sempit tempat orang jajan esek-esek, atau kesegaran udara yang membuat vila-vila tak pernah sepi dari penyewa muda-mudi yang baru saling kenal lewat chatting.

Orang Banyumas dan sekitarnya, hari ini, justru menggunakan kata Baturraden sebagai metafora dari tempat-tempat seperti lokalisasi atau diskotek tempat orang mabuk dan isu-isu miring lain. Ah, bisa jadi maksud mereka baik, mencari bentuk eufemisme daripada menyebut nama komersial.

Adalah tugas masyarakat dan para pemangku kepentingan setempat melakukan counter attack dengan kampanye moral untuk memutihkan nama Baturraden. Ini penting untuk mengimbangi citra dan image Kota Purwokerto yang makin berkembang sebagai pusat pemerintahan, ekonomi, dan pendidikan.

Bunga Pustaka, 2017

Mufti Wibowo

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!