Abbey Road adalah nama sebuah jalan di kawasan Westminster, pusat kota London, Inggris. Di jalan inilah, 8 Agustus 1969, sekitar pukul 11.30 waktu setempat, fotografer Ian MacMilan mengabadikan keempat personel The Beatles yang sedang melintasi zebra cross.
Foto hasil jepretan MacMilan kemudian menjadi sampul album ke-11 The Beatles bertajuk “Abbey Road”, dirilis pada 26 September 1969 di Inggris dan 1 Oktober 1969 di Amerika Serikat. Album yang berisi 17 lagu ini menjadi salah satu album terlaris milik the Beatles serta masuk ke dalam kategori 500 Greatest Albums of All Time versi majalah Rolling Stones. Salah satu lagu yang terdapat dalam “Abbey Road” yakni “You Never Give Me Your Money”, karya Lennon & McCartney, yang liriknya antara lain berbunyi sebagai berikut:
One sweet dream
Pick up the bags and get in the limousine
Soon we’ll be away from here
Step on the gas and wipe that tear away
One sweet dream came true… today
Came true… today
Came true… today… yes it did
One two three four five six seven
All good children go to heaven
Hierarki sosial
Terdapat sejumlah penafsiran terkait dengan sampul album “Abbey Road”. Salah satunya menyebutkan, lewat sampul album ini keempat personel The Beatles—secara simbolis—berupaya menunjukkan empat hierarki sosial yang terdapat dalam masyarakat.
Hierarki pertama adalah kelompok agamawan. Ini diperankan oleh John Winston Lennon yang berjalan paling depan, mengenakan sepatu putih, celana putih, kemeja putih, dan jas putih. Seperti diketahui, putih adalah lambang kebersihan dan kesucian—dua aspek yang kerap diidentikkan dengan kelompok agamawan. Tentu saja, kalangan agamawan mempunyai posisi penting dan peran sangat strategis dalam masyarakat.
Hierarki kedua adalah kelompok penguasa. Ini diperankan oleh Richard Bright Starkey alias Ringo Starr yang berjalan dan tampil necis di belakang John Winston Lennon. Ia mengenakan setelan jas lengkap. Seperti juga kalangan agamawan, penguasa memiliki posisi penting dan peran sangat strategis.
Hierarki ketiga, kelompok tuan tanah dan pemilik modal. Sir James Paul McCartney memerankan tuan tanah dan pemilik modal. Ia berjalan di belakang Richard Bright Starkey, mengenakan jas tapi tanpa alas kaki, sementara tangan kanannya menjepit cerutu. Posisi dan peran tuan tanah serta pemilik modal tidak bisa dipandang sebelah mata. Dengan alat produksi dan kapital yang mereka miliki, tidak jarang mereka bisa memengaruhi kelompok agamawan dan penguasa sehingga keduanya tanpa ragu memihak kepentingan mereka.
Hierarki keempat, kaum jelata. Kelompok ini diwakili oleh sosok George Harold Harrison, yang berjalan paling belakang. George tidak mengenakan setelan jas. Ia hanya memakai hem biru lusuh, celana jin dan sepatu kets—layaknya buruh pabrik. Berbeda dari kelompok agamawan, penguasa, tuan tanah serta pemilik modal, kelompok jelata nyaris tuna kuasa. Kelompok ini kerap terpinggirkan dan terlupakan. Tidak jarang, kelompok jelata menjadi objek mainan kelompok di atasnya. Meski demikian, dalam konsep demokrasi, diyakini bahwa suara jelata sesungguhnya adalah suara Ilahi (vox populi vox dei).
Prosesi kematian
Sementara itu, ada juga penafsiran lain yang menyimpulkan bahwa sampul album “Abbey Road” tidak lebih dari penggambaran tentang sebuah prosesi kematian.
John Winston Lennon yang berjalan paling depan dan berpakaian serbaputih merepresentasikan rohaniwan yang bertugas memberikan khotbah dan doa kubur. Richard Bright Starkey yang berpakaian hitam-hitam mewakili kelompok pembawa dan pengiring jenazah. Sir James Paul McCartney yang berjalan tanpa alas kaki mewakili jenazah yang hendak dikuburkan. Lantas, George Harold Harrison yang berjalan paling belakang merepresentasikan kelompok penggali kubur.
Singkatnya, berdasarkan penafsiran ini, lewat sampul album “Abbey Road”, para personel The Beatles dianggap hendak mengingatkan kepada kita ihwal kematian yang pada akhirnya, cepat atau lambat, harus kita jalani. Seberapa panjang dan keren jalan kehidupan yang kita lakoni di dunia ini, toh semuanya bakal berakhir di liang kubur.
Dalam al-Qur’an disebutkan: setiap yang bernyawa akan mati. Kata orang, dari tanah kembali ke tanah.
Meski demikian, bagi mereka yang meyakini adanya kehidupan setelah kematian, kematian bukanlah fase terakhir dari kehidupan. Ia justru merupakan titik awal bagi sebuah kehidupan lainnya.
Wallahu a’lam.***
- Beatles, al-Qur’an, dan Prosesi Kematian - 11 October 2017
- Gowes Blusukan ke Puncak Bukit Karang Para di Sukabumi - 13 September 2017