
Awal mula kedekatanku dengan iblis ketika dia bilang kepadaku bahwa jiwanya ada pada semua orang, sebagaimana kelahiran dan kematian. Pasti. Perbedaannya bukan pada bagaimana orang-orang lahir dan mati, namun yang berkaitan dengan bagaimana orang-orang itu dibesarkan. Namun, tentu saja aku tidak akan mengatakan bagaimana rupa perjalanan hidupku, karena aku tidak ingin hal itu menjadi penyebab orang-orang tahu tentang apa yang menjadi kegemaranku.
Usai aku memikirkan hal itu, aku tersenyum. Artinya, aku akan aman, bahkan dari situ aku telah menemukan bahan khotbahku untuk tiga hari mendatang. Hal itu tentu saja akan semakin melenggangkan apa yang menjadi kesukaanku. Terlebih dengan adanya pernyataan bahwa semua orang tidak ada yang sempurna, pastilah akan menjadi dasar pendukung atas apa yang akan kulakukan. Karenanya, aku percaya apa yang dikatakan iblis benar adanya.
Pintu ruang kerjaku diketuk dari luar, dan aku menyuruhnya masuk. Pintu terbuka, datanglah asistenku. Setelah kupersilakan duduk, dia menyampaikan perihal agenda khotbahku yang terdekat, dan itu sesuai dengan apa yang sebelumnya telah kupikirkan.
“Sudah aku siapkan,” sahutku. Lantas aku bertanya kepadanya untuk meyakinkan perihal siapa yang akan menjadi pendengar khotbahku nanti.
“Putri-putri milenial, Tuan,” jawabnya.
Aku tersenyum.
“Ada yang salah, Tuan?”
Aku menggeleng. “Kupikir bahan khotbahku nanti sudah sesuai,” jelasku kemudian.
“Bagus, Tuan,” sahut asistenku. Setelah itu dia mengingatkan hal yang lain, hari ini aku ada agenda menemui seorang calon murid yang baru bisa datang sekarang. Kabarnya murid itu akan datang ditemani keluarganya.
“Oh, hampir lupa. Jam berapa itu?” tanyaku.
“Sebelum tengah hari, Tuan.”
“Berarti sebentar lagi. Ya sudah, segera dikondisikan.”
Waktunya untuk menemui murid itu telah tiba, yang kabarnya saat ini sudah berada di ruang pertemuan. Kata asistenku, mereka berdua, perempuan semua. Ketika mendengar itu, kuterka mereka pasti ibu dan putrinya. Begitu aku dan asistenku muncul di ruang itu, seorang dari mereka, yang kusangka adalah sang ibu beranjak dari duduk lantas menghampiriku, sembari tangannya meminta bersalaman. Aku memberi isyarat menangkupkan kedua tangan di depan dadaku, lalu kupersilakan dia duduk kembali.
“Tuan Mulia Juhiri, saya sudah lama ingin berjumpa dengan Tuan. Syukurlah sekarang bisa kesampaian,” kata perempuan itu setelah duduk.
Aku hanya mengangguk, dan tersenyum.
“Oya Tuan, ini putri saya, yang akan jadi murid, dan tinggal di asrama.”
Kembali aku hanya mengangguk sambil melihat ke arah putrinya. Perempuan muda itu lantas tersenyum manis sembari mengangguk.
“Saya selalu mendengar khotbah Tuan Juhiri lho. Saya sangat mengidolakan Tuan,” ujar sang ibu dengan penuh antusias, bahkan perempuan setengah baya itu seperti tidak rikuh mengatakan hal itu di hadapan putrinya. Dengan penuh kekaguman, perempuan itu juga terus memuji dengan mengatakan bahwa khotbah-khotbahku sangat cocok dengan kondisi sekarang. “Sangat jelas, Tuan sangat menghargai perempuan,” sambungnya.
Lagi-lagi aku hanya mengangguk, dan tersenyum yang kali ini sembari mengelus daguku. Setelah kurasa cukup ramah-tamahnya, aku meminta asistenku untuk menjelaskan kepada mereka perihal ketentuan dan aturan yang berlaku di lembaga pendidikan dan asrama ini. Mereka mendengarkan dengan saksama. Ketika penjelasan asisten selesai, mereka memberi tanggapan bahwa mereka memahami dan memakluminya. Mungkin karena dirasa cukup, tak lama kemudian sang ibu mohon pamit, dan sejenak setelah itu aku terdengar tangis perpisahan mereka.
“Kamar asrama untuk dia sudah kau urus juga?” tanyaku pada asisten.
“Sudah, Tuan. Saya sudah melakukan koordinasi dengan petugas asrama putri.”
“Sekarang antarkan beliau ke depan,” pintaku pada asisten usai ibu dan putrinya selesai berpamitan.
Setelah sang ibu dan asistenku berlalu, aku memperhatikan putrinya yang duduk tepat di depanku. Dia masih belia dan sangat ranum. Tubuhnya padat berisi dengan porsi tonjolan yang sangat serasi. Pakaian yang dia kenakan bisa menggambarkan itu semua, dan aku sudah punya rencana untuk membenahinya. Dari sorot matanya, aku bisa melihat dia sangat berharap untuk dibantu. Dia salah satu yang akan mendengarkan khotbahku tiga hari mendatang. Aku yakin, tanggapan dia selanjutnya akan sama dengan yang lain, Seperti yang sudah-sudah, dia akan merasa terselamatkan olehku.
Setelah itu, keleluasaanku untuk melakukan apa pun sangat memungkinkan, termasuk setiap kali aku ingin menemuinya untuk menikmati segala keindahan yang ada pada dirinya. Tubuhnya masih begitu segar, dan mulus, bahkan tampaknya belum tersentuh oleh siapa pun sebelumnya. Semoga dia penurut. Rasanya aku sudah tak sabar ingin menikmati tubuhnya. Karena itulah aku senang berada di sini, berlindung di dalam kesucian, dan aku selalu rindu momen-momen tersebut. Itulah kegemaranku. Apa yang iblis katakan benar. Iblis tidak pernah meninggalkanku.***
- Setelah Tegar Mati - 16 December 2022
- Cara Kerja Iblis - 11 February 2022
- Sajak-Sajak Yuditeha; Hari Tua - 13 July 2021
Faira
Suka cerita yang begini. Yeesss!!
Afin
Lagi viral kasusnya nih. Berkedok ke-alim-an.
Danang Tergalek
Cerprit Cerita sauprit. Kekeke. Enak dibaca.
dinda
awesome!
adhinda
ajiiiib
Anonimmm
Suka bgt, kaget di akhir cerita. 😱
anonim
Keren sesuai dengan yang terjadi di masa kini.