Langit pagi ini cerah. Semburat cahaya matahari telah terasa meskipun secara fisik bola bundar yang senantiasa memancari dunia ini belum terlihat. Tepat jam 05.00 WIB pintu perbatasan telah dibuka. Dari tempat pemeriksaan keberangkatan terlihat lanskap Pegunungan Kekurak yang anggun dan hijau. Burung-burung walet tanah (begitu masyarakat menyebutnya untuk membedakan dengan jenis burung walet lain yang menghasilkan sarang burung) telah ramai bercericit menandakan daerah perbatasan ini masih menyediakan tempat hidup yang layak bagi berbagai jenis flora dan fauna.
*
Wajar saja jika cuaca sepagi ini terlihat cerah. Pos Lintas Batas Negara Terpadu (PLBNT) Nanga Badau memang berada di Kawasan Provinsi Kalimantan Barat bagian ujung utara sekaligus paling timur. Begitu kita melewati batas negara memasuki Pos Batas Negara Lubok Antu di Negara Bagian Sarawak, Malaysia, jarum jam secara otomatis berganti lebih cepat satu jam. Yup, pukul 5 pagi di Badau adalah pukul 6 pagi di Lubok Antu. Mungkin perbandingan yang hampir sama adalah ketika kita berada di Banyuwangi tengah menatap Pulau Dewata yang terlihat begitu dekat meski terhalang Selat Bali. Jarum jam di daerah ini juga sering kali berganti antara WIB dan WITA.
Nanga Badau (masuk wilayah administratif Kabupaten Kapuas Hulu) merupakan satu dari tiga PLBNT di Kalimantan Barat yang berbatasan dengan Negara Bagian Sarawak. Dua yang lain berada di Aruk (Kabupaten Sambas) yang berbatasan dengan Biawak dan di Entikong (Kabupaten Sanggau) yang memiliki batas darat dengan Tebedu. Kondisi perlintasan di Nanga Badau tidak seramai dua pos lintas lainnya. Hal ini dapat dimaklumi karena jauhnya keterjangkauan daerah ini dengan pusat keramaian di Pontianak maupun di Kuching, Malaysia sehingga hampir dapat dipastikan bahwa pelintas utama PLBNT ini adalah masyarakat sekitar di antara dua wilayah di dua negara tersebut.
Perasaan Satu Rumpun
Apabila Anda memasuki wilayah Lubok Antu dan iseng-iseng mencicipi makanan luar negeri di Rumah Makan Teratai atau di sekitar minimarket Jit-Siang, bisa saya pastikan Anda akan kesulitan menentukan yang mana orang Indonesia dan yang mana orang Malaysia. Dalam satu meja, misalnya, ada beberapa orang yang duduk bercengkerama. Beberapa menenggak minuman botol, beberapa yang lain menyeruput kopi, sisanya menggenggam telepon seluler masing-masing.
Anda berusaha mengidentifikasi berdasarkan penampilan. Dua orang menggunakan celana pendek, berkaus oblong, dan bertato di bagian kaki serta lengannya yang terbakar kecokelat-cokelatan. Mereka mengisap rokok merek Era bercukai Malaysia. Tiga lainnya tengah minum kopi hitam, memegang sumpit untuk menyantap mi goreng, dan di depannya tergolek rokok LA yang diproduksi Djarum Kudus. Pakaiannya rapi, memakai kemeja. Sedangkan sisanya yang lain hanya sibuk memandang layar dengan merek hape berspesifikasi lumayan meskipun berpenampilan habis selesai berladang.
Jangan lantas Anda menyimpulkan bahwa golongan pertama orang Malaysia, kedua Indonesia, dan ketiga Malaysia. Tunggu dulu. Ada banyak kemungkinan. Meskipun telah berbeda negara, antara penduduk Badau dan Lubok Antu banyak yang terhubung melalui ikatan darah. Mereka satu nenek moyang dan masih umum terjadinya perkawinan campur. Masyarakat Badau mengonsumsi produk-produk Malaysia karena ketersediaan barang-barang hanya bisa tercukupi dengan berbelanja di Malaysia.
So, jangan melihat orang di daerah perbatasan dari penampilannya. Satu-satunya yang bisa memastikan bahwa mereka berkewarganegaraan Indonesia atau Malaysia adalah dokumen perjalanannya yang berupa paspor atau pas lintas batas (biasa warga lokal menyebutnya pas merah).
Pagi ini, saya memasuki wilayah Lubok Antu bersama seorang lelaki pengendara mobil yang biasa kami panggil dengan nama Bang S dan beberapa kawan yang menjadi petugas TPI (Tempat Pemeriksaan Imigrasi) Nanga Badau. Mobil yang dikendarainya adalah mobil berplat Malaysia. Mobil Indonesia tidak bisa masuk ke wilayah seberang melalui Lubok Antu. Hampir semua penduduk Badau memiliki mobil berplat nomor Malaysia karena perlu berbelanja atau sekadar mengunjungi keluarga di negeri seberang.
Kami makan dan minum kopi di Café Teratai. Di deretan pertokoan ini, alat tukar yang digunakan adalah ringgit. Kami menukarkan uang terlebih dahulu di minimarket depan rumah makan. Bang S langsung asyik memainkan smartphone. Beberapa orang (entah orang Indonesia, entah Malaysia) menyapanya. Ia menekan tombol berkali-kali, bergumam sendiri, tersenyum sendiri, dan terkadang bersorak sendiri. Ia tengah bermain judi online.
Saya kadang berkelakar dengan para petugas TPI Badau agar membuat video singkat mengenai aktivitas warga perbatasan. Jika di Entikong ada Nursaka (yang sempat viral dan diundang di beberapa stasiun televisi swasta karena video singkatnya yang bersekolah di Indonesia meskipun telah tinggal di Malaysia), bagaimana kalau modelnya adalah Bang S yang tiap hari melintas untuk bermain judi online? Pasti akan lebih viral daripada video Nursaka sang duta perbatasan dari Entikong.
Ini hanyalah pikiran konyol dan tentu saja tidak untuk direalisasikan (semoga Bang S tidak menemukan dan membaca tulisan ini, hehehe…).
Mengapa saya menyajikan deskripsi semacam ini? Ini hanyalah sebagai medium untuk bercerita dengan mengajak Anda memasuki dimensi suasana di Lubok Antu-Nanga Badau. Masyarakat di perbatasan kedua negara ini membaur satu sama lain, lebih banyak menggunakan bahasa lokal (Melayu dan Dayak Iban), serta memiliki kedekatan emosional yang tak terpisahkan dalam batas teritorial maupun fanatik kebangsaan (nasionalisme) sehingga ketika telah menyeberang ke negeri berbeda ini, saya tidak menemukan karakter dan suasana berbeda; kecuali sedikit perbedaan suasana penataan kawasan yang tentu saja wilayah Malaysia lebih tertata dan teratur.
Faktor lain yang menjadikan wilayah perbatasan kedua negara begitu kental interaksinya di antaranya adalah adanya hubungan darah di antara warga daerah perbatasan. Banyak warga negara Indonesia yang memiliki keluarga yang tinggal di Malaysia, atau karena kawin campur. Catatan Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Kuching, Sarawak, Malaysia menyatakan bahwa komposisi etnis terbesar Sarawak adalah Suku Dayak Iban (30%), Chinese (28%), dan Melayu (25%).
Suku Iban dan Melayu adalah suku etnis terbesar di Kalimantan Barat, tak terkecuali di Kapuas Hulu. Untuk itulah, sering kali alasan pergi ke Malaysia adalah untuk mengunjungi keluarga. Banyak di antaranya yang kemudian menetap lama dan bekerja pada sektor informal di tempat keluarga tersebut.
Negeri Seberang yang Lebih Berkilau
Badau dan Lubok Antu, dua sisi mata uang yang meskipun menyatu namun tetap saja berbeda. Lubok Antu berjarak empat jam dari pusat pemerintahan dan perekonomian Negara Bagian Sarawak di Kota Kuching, memiliki keterkaitan dan hubungan yang kuat dengan kekuatan politik pusat; yang dengan itu tetap menjadi perhatian tak dikecualikan dari pemerintahan Malaysia. Meskipun jauh dari pusat (secara bentang alam tidak jauh berbeda dengan Badau, diselimuti hutan di sekitar wilayahnya), Lubok Antu mendapat pasokan barang-barang yang lengkap, jaminan pendidikan gratis, kebutuhan air dan listrik yang tercukupi, dan bahan bakar minyak. Singkat kata, meskipun merupakan wilayah yang jauh dari pusat kota, tetapi bukan termasuk wilayah yang terpencil.
Sedangkan Badau, bagian sisi lain itu, berada jauh dari pusat kota di Pontianak, berjarak 18 jam perjalanan darat. Bandara Pangsuma yang ada di Putussibau pun belum lama berdiri. Namun, yang jelas, pasokan kebutuhan pokok Kabupaten Kapuas Hulu tetap melalui jalan darat. Untuk itulah, interaksi dengan negara tetangga merupakan sebuah keniscayaan. Negeri seberang yang lebih berkilau tentu mengundang minat masyarakat untuk mendatanginya; bahkan banyak pula yang menginginkan menjadi bagian daripadanya. Barang-barang kebutuhan hidup di Badau 70–80 persen berasal dari Malaysia.
Dengan luasnya wilayah dan potensi alam yang besar, Kapuas Hulu justru mengalami masalah serius di bidang ketenagakerjaan. Masyarakat yang mayoritas berpenghasilan sebagai petani ladang, penoreh getah, nelayan perairan tawar, dan sebagian bekerja di sektor pertambangan emas manual belum mampu untuk mengangkat kesejahteraan hidup keluarga. Menilik dari data jumlah masyarakat per 31 Oktober 2017, penduduk yang belum tamat sekolah dasar mendominasi (41,22%), disusul tamatan SD (28,26%), tamatan SMP (13,17%), tamatan SMA (13,38), dan hanya 3,97% yang menamatkan pendidikan di tingkat perguruan tinggi.
Negeri Sarawak merupakan tujuan favorit tenaga kerja dari seluruh belahan Indonesia, tak terkecuali yang berasal dari Kapuas Hulu. Menurut catatan KJRI (data tahun 2016), diperkirakan terdapat ±400.000 WNI yang berada di seluruh Sarawak. Dari jumlah tersebut, diperkirakan 250.000 adalah pekerja ilegal, atau dalam bahasa setempat disebut Pendatang Asing Tanpa Izin (PATI). Tercatat pada tahun 2016, total korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) adalah 24 orang yang terdiri dari 9 kasus, antara lain 8 kasus ketenagakerjaan dan 1 kasus eksploitasi seksual. Sebanyak 464 pengaduan kasus juga ditangani KJRI yang meliputi tidak dibayar gaji, tidak tahan kerja, korban kekerasan, melarikan diri dari majikan, ditipu sponsor, sakit, dan lain-lain. Sedangkan kasus deportasi mencapai angka yang mencengangkan: 2.203 WNI dideportasi dan 173 orang yang direpratiasi. KJRI juga mencatat terdapat 57 orang WNI yang mengalami kecelakaan kerja dan 357 orang melarikan diri dari perusahaan.
Di kawasan Badau, perekonomian mulai tumbuh. Selain kebun-kebun karet yang telah puluhan tahun ada, kini telah hadir satu perusahaan multinasional terbesar di negeri ini yang mengelola puluhan ribu hektar kebun kelapa sawit. Dengan perjanjian sewa lahan selama 25 tahun dengan warga pemilik tanah, perusahaan ini setiap hari mengirim ratusan ton minyak sawit mentah ke Malaysia. Sedangkan di beberapa tempat lain berdiri perusahaan-perusahaan dari berbagai sektor: perusahaan mineral baik logam maupun non logam.
Memang ada keuntungan yang sering kali menjadi patokan: naiknya daya beli masyarakat yang menjadikan perputaran uang di daerah menjadi hidup; yang dengan itu pembangunan bisa dilaksanakan, pajak bisa ditarik, dan pendidikan serta kesehatan bisa disubsidi.
Namun, kembali lagi kepada persoalan klasik. Sepadankah keuntungan yang demikian dengan rusaknya bentangan hijau hutan Kalimantan, munculnya persoalan sosial, dan hancurnya kekayaan budaya yang selama ini menjadi daya hidup masyarakatnya? Persoalan inilah yang mesti dipecahkan semua pihak, bagaimana peningkatan kualitas hidup masyarakat juga perlu memikirkan masa depan kehidupan hayati Kapuas Hulu yang masih sangat panjang ini.
Pukul 16.30 saya meninggalkan wilayah Lubok Antu, memasuki kembali wilayah Indonesia yang pintu perbatasannya akan ditutup setengah jam lagi. Dalam hati saya bergumam, wilayah seindah ini, masyarakat serukun dan sebaik ini, semoga mendapatkan perlakuan sebaik-baiknya melalui berbagai kebijakan publik yang disusun untuk kebaikan bagian terluar Indonesia ini sehingga era menjadikan daerah-daerah yang jauh dari ibu kota negara sebagai sapi perah untuk gemerlap kota-kota besar semata akan segera berakhir. Indonesia sangat indah dan setiap jengkal belahan buminya layak dijaga untuk mengutuhkan keindahan itu. []
Badau, 17 Desember 2018
- Eksotisme sang Ikan Naga - 8 June 2022
- Cerita dari Batas Negeri - 9 January 2019
- Danau Sentarum, Denyut Alam Kapuas Hulu - 4 April 2018
sugiyanta
Saya pernah wira-wiri Seluas Jagoi babang srikin Malaysia