Dalam sebuah surat imajinatif untuk Ida yang dibacakan Chairil Anwar di sebuah radio di tahun 1940-an, penyair legendaris itu menyampaikan gagasannya tentang sastra baru Indonesia. …Ida! Ida! Ida!… Kupikirkan bentuk dan garis baru untuk kesusasteraan kita…. Chairil juga membacakan pidatonya berjudul “Hopla” yang berisi kritikannya pada angkatan Balai Pustaka dan Pujangga Baru:
“… Jika kita memaling ke belakang, kita dapati ‘Pujangga Baru’ terlahir dalam 1933 bersama dengan terebutnya oleh Hitler kekuasaan di Jerman, tetapi majalah ini selama hidupnya hanya memuat satu artikel dangkal tentang fascisme! Di samping itu melengganglah ‘Pujangga Baru’ dengan nomor-nomor pertamanya berisi esai yang tidak berdasarkan pengetahuan (dalam arti seluasnya!) kesusasteraan, meneriakkan ‘pembaharuan’.”
Tetapi Chairil juga sedikit memuji karya Amir Hamzah sebagai padat dan modern. Meskipun tetap mengkritik puisi Amir Hamzah sebagai puisi gelap (duistere poezie). Gelap karena menurut Chairil Anwar puisi itu merujuk pada agama yang tak dipahami olehnya. Kritikan Chairil Anwar tentu saja didorong oleh referensinya yang berbeda dengan Amir Hamzah dan angkatannya. Untuk menegaskan dan membuktikan kritikannya, Chairil membuat puisi-puisi dengan semangat silopsisme yang bertema individualisme seperti terbaca pada karyanya misalnya “Aku” dan “Pemberian Tahu”.
Dalam puisi “Aku” seperti sudah terbaca pada judulnya, Chairil menjelaskan posisinya sebagai orang asing yang terbuang. Sebuah kesadaran semacam faktisitas Heidegger dan Sartre tentang eksistensi manusia yang terbuang sendiri ke dunia seperti halnya Adam dan Hawa. Chairil menulis: “Aku ini binatang jalang/ Dari kumpulannya terbuang”. Selanjutnya penyair itu menegaskan individulismenya dalam puisinya “Pemberian Tahu” (1946) dengan menulis pada baris satu dan dua bait pertama: “Bukan maksudku mau berbagi nasib,/nasib adalah kesunyian masing-masing.”Dua baris ini menyatakan bahwa nasib manusia adalah bersifat individual. Persis seperti nada dan substansi yang dituliskan Jean-Paul Sartre dalam Being and Nothingness (1943): “Oleh karena itu, tidak masuk akal untuk mengeluh karena tidak ada orang asing yang memutuskan apa yang kita rasakan, apa yang kita jalani, atau siapa diri kita.”
Gagasan Chairil tentang puisi yang bermutu tentu saja adalah subjektif dan oleh sebab itu membawa sifat silopsisme. Setidaknya, apa yang disampaikannya juga menjadi bersifat gelap oleh sebagian orang yang tak memahami filsafat Barat khususnya tentang faktisitas dan eksistensialisme. Gagasan referensialnya pada individualisme (Barat) tentu saja bertentangan dengan standar dan semangat kolektivisme sebuah bangsa yang tengah merdeka dari penjajahan. Namun, toh Chairil memenangkan pertarungannya dalam perjuangannya yang dia sebut sebagai ‘bentuk dan garis baru untuk kesusasteraan’.
Chairil Anwar mungkin membawa sesuatu yang baru dalam puisi Indonesia. Sebuah jalan modern dan melenggang dengan modernisme. Modern dalam konteks sastra Indonesia, tetapi bukan pada lanskap sastra atau puisi dunia. Modernisme dalam sastra atau puisi berkembang sebagai gerakan dari tahun 1890 dan berakhir di tahun 1930-an. Setidak demikian yang dicatat Malcom Bradbury dalam A Dictionary of Modern Critical Terms. Motor utamanya, seperti kita tahu adalah Ezra Pound dan TS Eliot.
Dari kumpulan esai Ezra Pound kaum modernisme menemukan doktrin penyemangat kaum modernisme, yaitu Make It New! (1934). Doktrin itu membawa ciri karya sastra modern yang cenderung eksperimental dan avant-garde sejauh ini. Dalam puisi, misalnya, Pound menawarkan puisi imagisme, selain vortisme, dan diikuti TS Eliot, Wallace Stevens, dll. Dan Chairil memang membaca para penyair modern awal seperti Stéphane Mallarmé dari Prancis dan juga WH Auden yang menulis puisi, misalnya, September, 1,1939. Chairil bahkan menerjemahkan dua karya Auden.
Tradisi baru modernisme seperti tersurat dalam Make It New! itu setidaknya juga mengalir dalam semangat Chairil Anwar. Meskipun dalam puisi-puisinya secara bentuk lebih banyak menggunakan skema sajak (rima) yang berarti bentuk lama dalam sastra Barat. Seperti pula Amir Hamzah menggunakan skema sajak teratur ‘ab-ab’ atau ‘aa-aa’. Kita memang menemukan bentuk puisi bebas dalam puisi Chairil, tapi tidak terlalu banyak. Para penyair modernisme Barat membebaskan diri mereka dari pola sajak dan meteran. Tradisi baru ini (terutama) dimulai dari pembebasan yang dilakukan oleh Walt Whitman yang dikenal sebagai Bapak Puisi Bebas. Dalam esainya, misalnya, Whitman menulis:
“Selama negara-negara terus menyerap dan didominasi oleh puisi-puisi Dunia Lama, dan tetap tidak disuplai dengan lagu-lagu asli … begitu lama mereka akan berhenti dari Kebangsaan kelas satu dan tetap rusak.” (Walt Whitman, A Backward Glance O’er Travel’d Roads, 1888).
Kemudian Ezra Pound juga menulis:
“Menciptakan ritme baru—sebagai ekspresi suasana hati baru—dan bukan meniru ritme lama, yang sekadar menggemakan suasana lama. Kami tidak memaksakan “syair bebas” sebagai satu-satunya metode penulisan puisi. Kami berjuang untuk itu, sebagai sebuah prinsip kebebasan. Kami percaya bahwa individualitas seorang penyair sering kali lebih baik diekspresikan dalam syair bebas daripada dalam bentuk konvensional. Dalam puisi, irama baru berarti gagasan baru. (Pengantar Some Imagist Poets, Hal. VII, Ezra Pound, 1915)
Dari semua itu, kita (mungkin) menemukan sumbernya, bagaimana Chairil Anwar berpikir dan membuat gerakan sastra baru Indonesia dan mendapatkan privilese dalam masyarakat sastra Indonesia. Sejauh ini, dalam catatan retrospektif ini, kita mungkin menemukan sesuatu yang bisa kita ambil. Pertama, semangat kreativitas Chairil dan totalitasnya membawa pada capaian sastra baru yang ingin dia (kita) capai. Kedua, bahwa tradisi kritik seperti dilakukan Chairil Anwar pada angkatan sebelumnya akan membawa kita pada benua baru dalam sastra.
Ketiga, bahwa pilihan bentuk dan isi dalam puisi adalah perkara subjektif yang senantiasa membawa silopsisme. Karena kebenaran adalah selalu bersifat subjektif. Tetapi, tentu saja sebuah bangsa sebaiknya harus memiliki standarnya sendiri yang harus menjadi identitasnya secara mandiri, seperti Walt Whitman katakan:
“Selama negara-negara terus menyerap dan didominasi oleh puisi-puisi Dunia Lama, dan tetap tidak disuplai dengan lagu-lagu asli … begitu lama mereka akan berhenti dari Kebangsaan kelas satu dan tetap rusak.”
- FIKSI MORAL - 7 December 2022
- Chairil Anwar dan Retrospeksi - 29 June 2022
- Jeany dan Kisah-Kisah Cinta - 1 October 2021
Nita
Ini pemahaman baru tentang Chairil anwar dan banyak informasi yang jarang ada di media. Terimakasih.