Cinta Perkara Lokal, Kematian Interlokal

Judul : RUMAH ILALANG
Penulis : Stebby Julionatan
Penerbit : Basabasi
Edisi : Pertama, September 2019
Tebal : 135 hal
ISBN : 9786237290230

Novela ini mungkin sama tipisnya dengan Padang Ilalang di Belakang Rumah (1987) milik Nh. Dini. Juga sama-sama menggunakan kata ilalang yang sangat sastrawi sebagai simbol. Beberapa kali kata ilalang muncul dalam karya sastra kita. Penyair Dorothea Rosa Herliany menulis buku puisi Nikah Ilanang (1995), D Zawawi Imron menulis buku Bulan Tertusuk Lalang (1982) juga menggunakan lema tersebut dalam salah satu penggalan baitnya, Angin pun tiba dari tenggara. Daun-daun dan bunga ilalang/memperdengarkan gamelan doa (dalam puisi ‘Dialog Bukit Kemboja’). Dan tentu kita pernah mendengar lagu mendayu berjudul Ilalang yang pernah dinyanyikan Machica Mochtar.

Meski sama-sama tipis dan sama menggunakan ilalang, dalam novel Nh. Dini akan bergulat tentang kenangan perihal ladang ilalang di belakang rumahnya yang memisahkan kaum jaba (luar) dan kaum ndalem (dalam)—kaum priyayi keluarga Sri dan keluarga nonpriyayi, yakni pembantu dan batur yang di rumah. Padang ilalang itu pula yang kemudian menyatukan priyayi dan non-priyayi itu ketika agresi Belanda merangsek dan membuat batas itu lebur di tengah padang ilalang.

Sedangkan, Rumah Ilalang (2019) milik Stebby Julionatan tidak berkisah secara seratus persen soal rumah ilalang. Melainkan menggunakan terma ilalang sebagai metafora kerapuhan sekaligus kegentingan persoalan tokoh dalam novela pendek ini. Ilalang milik Stebby Julionatan memotret seorang waria bernama Tabita dengan nama asli Alang (apakah ini anagram Ilalang, tidak begitu dijelaskan) yang mengalami persoalan selepas Tabita meninggal dalam kecelakaan. Tubuh terkoyak tak bernyawa Tabita ditolak oleh keluarga, ditolak oleh kelompok muslim, kelompok agama kristiani. Susah menguburkan tubuh kaku Tabita.

Susahnya hidup sebagai kelompok marginal (wong jaba) seperti Tabita nyatanya tidak hanya ketika masih hidup. Saat mati dan mencari tempat peristirahatan sekali pun susah bagi seorang Tabita.

Saat hidup Alang harus diusir dari rumah, sebab sadar dirinya adalah berbeda. Pengusiran ini kemudian membawanya ke Srikandi Utama—rumah singgah kelompok waria sekaligus bagian dari advokasi. Terusirnya Alang yang kemudian mengambil nama Tabita tak membuat semua urusannya selesai dan orang yang “normal” di luar mereka berhenti mencampuri. Gangguan lain adalah kehadiran sosok Gosvino—pemuda gagah, anak seminari yang disukai Tabita.

Meski novela ini lebih menyoroti bagaimana advokasi Tabita setelah meninggal dan mencari tempat perkuburan, setidaknya beberapa potong adegan juga cukup menjelaskan bagaimana susahnya menjalani hidup seperti Tabita. Sosok Tabita sendiri membuat saya harus membandingkan dengan sosok Anjum dalam The Ministry of Utmost Happiness (2017) karya Arundhati Roy.

Anjum yang seorang hijra—hermafrodit, lahir sebagai laki-laki namun kemudian menjadi perempuan setelah dewasa, tersisih di masyarakat dan menyepi di perkuburan. Bila Anjum kemudian justru mendirikan rumah perawatan jenazah, Tabita sendiri malah susah mencari tempat beristirahat. Dan harus saya sadari membandingkan novel Arundhati Roy dan novela ini adalah sebuah ketidakpatutan itu sendiri.

Meski cinta itu (urusan) individu, namun kematian tetaplah ibadah sosial. (hal.93) Kalimat ini adalah sari dari semua novela ini. Tabita semasa hidupnya jungkir balik menyatakan identitas dan cinta. Setelah meninggal mendadak menjadi persoalan orang-orang sekitar.

Tabita mau dimakamkan seperti apa? Islam? Kristiani? Atau Katolik? Namun, yang luput dibahas Stebby adalah Tabita mau dimakamkan sebagai Tabita (perempuan) atau Alang (laki-laki). Perkara fundamental ini sepertinya luput dikisahkan Stebby dengan baik. Seolah yang tampak yakni cara pemakaman, jauh lebih hakiki dari yang tak tampak yaitu mau dianggap sebagai lelaki atau perempuan. Andai Stebby melengkapi persoalan ini, setidaknya pembaca akan bisa menyimpulkan Tabita menang atau kalah dalam memperjuangkan hakikat diri dan identitasnya.

Cinta Tabita dan kelompok seperti dia selalu ditautkan dengan prostitusi. Benar. Di buku ini kita akan membaca kawan-kawan Tabita, misalkan Tania yang dengan riang menjual tubuh dan kemampuan menggoyang pantat di atas ranjang kepada brondong-brondong.

Novela ini sebenarnya cukup berani menyorot suara kaum marginal di negeri ini. Waria, kegiatan advokasi, aktivitas seksual mereka, dan tentu yang sangat menarik di sini, kalau waria meninggal bagaimana. Tetapi ada beberapa catatan yang sepertinya bisa dijadikan untuk menyempurnakan novela pendek ini.

Stebby hampir kentara sangat terburu-buru menulis novela ini. Pembaca hampir tidak diberi jeda untuk sedikit ikut terharu atau bergembira mengikuti naik turun emosi tokoh. Padahal banyak sekali potensi untuk membuat pembaca hanyut. Misalkan tatkala Tabita jatuh cinta kepada Gosvino, pengusirannya dari rumah orang tua, kabar kematian Tabita. Tapi sepertinya, Stebby tidak terlalu peduli pada hal-hal remeh yang menghidupkan cerita. Kamera dia hanya dipergunakan merekam adegan per adegan. Tidak buruk, tetapi akan lebih sempurna. Selain menikmati adegan, pembaca juga diizinkan untuk sekadar bernapas dan menikmati narasi cerita.

Namun setidaknya sebab ini novela pendek, maka intens perkara dan ketatnya penceritaan menjadi pertimbangan tersendiri. Jadi tidak perlu bersantai-santai, Stebby ingin lebih ke perkara pokok dan penyelesaiannya bagaimana.

Ada hal yang cukup menganggu dalam penceritaan, yakni munculnya POV kedua yang sangat mendadak. Di halaman 23-27, ketika adegan pertemuan Tabita dengan Nancy Darusman, mendadak Stebby menggunakan “kamu” dalam berkisah. Hanya di bagian ini. Jadi tampak seperti terselip dan kurang teliti dalam menyunting.

Hal menarik lain dari Stebby adalah gaya humor yang diam-diam membuat suasana cerita semakin berwarna. Ketika Hari si penggali kubur yang ketakutan melihat peti mati Tabita, dan kemudian merefleksikan itu ke dirinya. Sepertinya sebutan waria atau banci lebih cocok disematkan kepada saya karena saya penakut. Saya tak seberani Ibu yang kendhel menghadapi Tuhan seorang diri. Memilih upacara kematian yang ibu senangi. Saya, semalam melihat peti ibu saja, saya sudah lari menyelamatkan diri. (hal.122)

Dari segi isi dan kepenulisan Stebby punya keberanian yang cukup. Mengambil tema yang cukup berbahaya untuk dilempar ke masyarakat beringas—setidaknya akhir-akhir ini. Keberanian ini adalah modal utama selain ketekunan menjahit cerita yang Stebby harus terus kembangkan. Banyak hal yang belum dikerjakan paripurna dalam novela pendek ini, dan menjadi pekerjaan rumah penulis untuk dibuktikan dalam prosa panjang, novel misalnya. Bagaimana menghidupkan banyak tokoh yang hidup dengan karakteristik masing-masing, yang unik dan beda satu sama lain.

Sebagai penulis muda, Stebby tak boleh berhenti di sini. Kelak keberanian dan kecakapan merangkai kisah akan kembali diuji. Masih banyak hal tabu yang sensitif dibicarakan di luar sana. Dan itu menunggu Stebby untuk dijadikan bahan cerita. Kalau Tabita bilang, cinta urusan pribadi, dan mati tradisi sosial. Sebagai penulis, menulis adalah kerja kamar dan menerbitkannya adalah kerja massal—ada jutaan pembaca yang menanti dan siap mengomentari. []

Teguh Afandi
Latest posts by Teguh Afandi (see all)

Comments

  1. Yuni Bint Saniro Reply

    Membaca di sini selalu ada saja yang bisa dipelajari. Meski tiap menulis selalu mendapati permasalahan yang berbeda, setidaknya bisa melatih kepekaan atas apa yang dirasa kurang dan mungkin bisa ditambahkan dalam tulisan-tulisan kita kemudian. Misal, menarasikan sebuah kisah dan kejadian agar pembaca benar-benar mendalami entah perasaan sedih dan bahagia yang tercipta dalam kejadiannya. Menarik.

  2. Anonymous Reply

    maasyaAllah tabarakallah. gilak, masnya jeli sekali.

Leave a Reply to Anonymous Cancel Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!