Di Toto Kopi, Saya Duduk, Mulai Ragu, lalu Malu

IG totokopiruteng

Sudah cukup lama saya tidak menikmati akhir pekan bersama buku dan kopi. Bajawa yang dingin dan kadang berkabut, beberapa kali membatalkan niat saya untuk itu. Manusia, maaf sekadar mengingatkan, bisa saja merencanakan, tapi alam tak bisa diajak kompromi.

Sabtu, 23 Februari 2019. Pagi yang cerah, untuk yang malam sebelumnya basah. Setelah beberapa kali putaran bersama Sonic—motor yang menemani saya sejak awal 2018—saya mencari tempat yang enak untuk nongkrong. Akhirnya saya berhenti di Toto Kopi, berlokasi di Tenda, Ruteng, Flores, satu dari beberapa tempat santai yang sangat saya rekomendasikan.

Beberapa tempat serupa lainnya masih tutup, tapi pelataran Toto Kopi sudah dijejali beberapa orang dewasa berseragam, beberapa anak muda, meja-bangku kayu, dan inspirasi yang melekat pada dinding juga tiang-tiangnya. Pojok tempat memesan minuman dan makanan masih tutup. Malas mencari tempat baru, saya pun menempati meja kosong.

***

Perpustakaan Nasional (2017) melakukan riset dan hasilnya, rata-rata orang Indonesia hanya membaca buku 3–4 kali per minggu, dengan durasi waktu membaca per hari rata-rata 30–59 menit. Per tahun, rata-rata buku yang selesai dibaca, 5–9 buah.[1]

Setahun sebelumnya, pada Maret 2016, riset bertajuk “Most Littered Nation in The World” yang dikerjakan oleh Central Connecticut State University menempatkan Indonesia pada peringkat ke-60 dari 61 negara, dalam soal minat baca. Indonesia berada persis di bawah Thailand (59) dan di atas Botswana (61).

Pada tahun 2012, UNESCO melakukan survei dan mendapati minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001%. Artinya, dari antara 1.000 warga Indonesia, hanya 1 orang saja yang serius membaca.

Miris? Tentu! Tapi….

***

Dalam tas saya, ada sebuah buku puisi berjudul Kata, terbit setahun yang lalu. Ditulis oleh Lee Risar, anak muda Flores yang kini tinggal di Melbourne, Australia. Ketika sedang asyik membaca buku puisi pertama yang saya baca di 2019, beberapa gadis datang dan menempati bangku lain di meja yang sedang saya tempati. Mereka mulai ribut. Entah gosip, entah saling mengeluh soal pekerjaan, entah bicarakan apa, karena mereka berbicara dengan bahasa daerah setempat. Data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) Modul Sosial Budaya dan Pendidikan (MSBP) tahun 2015, di antara bahasa daerah, bahasa Indonesia, dan bahasa asing, sebanyak 75,14% (di rumah)–64,44% (dalam pergaulan) orang Indonesia menggunakan bahasa daerah.[2]

Keributan mereka jelas mengganggu saya. Meja lain sudah terisi oleh pengunjung yang juga tidak kalah ribut. Toto Kopi adalah ruang publik. Aristoteles menyebutnya polis (lawannya oikos: keluarga, ruang privat), ruang penampakan diri dalam komunikasi antarsesama warga, dengan bahasa sebagai sarana. Tabah adalah satu-satunya yang bisa saya lakukan. Tabah, sambil mulai membalas WA.

Keriuhan mereka yang sesekali ber-selfie, membuat saya makin gemas. Ingin rasanya saya bentak. Tapi saya sadar, ruang publik menekankan kebebasan dan pluralitas. Bila ketenangan dan kenyamanan sebagai kepentingan privat saya, saya paksakan, keributan yang lebih besar bisa saja terjadi. Totalitarianism, menurut Hannah Arendt, merupakan akibat ekspansi oikos terhadap polis, kolonialisasi ruang privat terhadap ruang publik.

“Kaka, bisa lihat ini buku ka?”

“Oh boleh, silakan…,” jawab saya datar, dengan tingkat kegemasan perlahan mereda.

Dia membaca secara acak puisi-puisi dalam Kata. Diam-diam, saya memperhatikan. Pada puisi-puisi tertentu, dia memotret dengan HP. Apa yang sedang dia lakukan itu menarik perhatian saya.

“Suka puisi kah?”

“Hehehe… ia e, Kaka. Ini Kaka punya buku ka?”

“Bukan, buku teman saya.”

“Ohhhhh….”

“Ade lanjut baca yah….”

Io, Kaka….”

Saat dia mulai kelihatan sudah bosan, saya mencari tahu lebih dalam.

“Kalian bertiga mahasiswi?”

Temannya yang selfie paling banyak, menjawab, “Tidak eeee, Kaka. Kami kerja di dealer motor itu,” sambil menunjuk ke arah tempat kerja mereka.

“Kaka, terima kasih eee….”

“Kami mau jalan sudah….”

“Oh, baik. Sama-sama. Selamat bekerja!”

Ioooo….

***

Kendala yang ada saat ini dalam meningkatkan budaya membaca adalah ketimpangan antara rasio jumlah buku yang terbit dengan jumlah penduduk atau (calon) pembaca. Muhammad Syarif Bando, Kepala Perpustakaan Nasional, memaparkan, di kota-kota besar rata-rata 1 buku ditunggu oleh 10.000 orang dan di luar Pulau Jawa, 1 buku ditunggu 15.000 orang.[3]

Kendala lain, saya kira ini paling mendasar sebagaimana hasil survei dan riset terlampir sebelumnya, ialah rendahnya minat baca. Fakta ini pada gilirannya mengganggu John Lobo, penggagas Gerakan Katakan dengan Buku (GKdB), yang kemudian bertanya, “Kalau orang kepengin baca tapi buku tidak ada, itu bagaimana?”[4] Untuk itu, John mendesak agar gerakan literasi harus menjadi gerakan bersama karena mencerdaskan adalah kewajiban semua orang. Melalui GKdB, John aktif membantu anak-anak, tidak hanya di NTT, untuk mendapatkan akses bacaan bermutu yang diperoleh secara cuma-cuma sesuai dengan usia dan perkembangan mereka.

***

Pelayan sudah datang dan mulai mempersiapkan segalanya. Saya memesan Vietnam Drip lalu pindah ke ruangan yang lebih sepi. Saya lanjut membaca dan menikmati minuman, sambil menarik Gudang Garam. Sungguh, suatu kenikmatan yang hakiki.

Namun lagi-lagi, kesendirian saya diusik. Seorang gadis datang lagi. Sempat otak saya berpikir gesit: adakah korelasi antara pria setengah matang yang menyendiri dengan gadis yang terus datang? Hmmm….

“Maaf, Kaka…, saya boleh pinjam buku itu ka?” tunjuknya pada buku di tangan saya

Sebagai pemuda baik-baik, saya tentu tak ingin dia kecewa.

“Oh, boleh… silakan….”

“Saya bisa pinjam baca sedikit di dalam sana ka?”

Pantang bagi relawan sosial untuk menolak.

“Oh boleh… boleh… silakan….”

Dia pun berlalu. Tinggallah saya seorang diri bersama kegembiraan-kegembiraan kecil yang mulai memenuhi dada dan kepala.

***

Salah satu kebiasaan buruk saya ialah meragukan segala hal. Saya selalu merasa sangat tidak nyaman membaca atau melihat laporan yang menempatkan Indonesia pada posisi atas dalam perkara buruk-negatif, sebaliknya bawah, paling bawah malah, dalam hal baik-positif. Kebanggaan saya sebagai warga Negara Republik Indonesia jauh lebih besar dari segala macam hasil riset. Namun, cinta tanah air tak lantas membutakan hati dan akal sehat saya. Realistis itu perlu. Kalau memang #valentinebukanbudayakita, budaya kita, realistis.

Kita harus realistis bahwa minat baca (minat menulis akan saya bahas lain waktu) di NTT, rendah. Ada dua indikator objektif yang bisa saya bentangkan. Pertama, rendahnya minat baca di NTT berbanding lurus dengan makin aktifnya gerakan literasi di semua kabupaten/kota di NTT. Sekilas, lahirnya begitu banyak taman baca atau rumah belajar atau apa pun namanya, menandakan bahwa minat baca di NTT makin tinggi. Di titik ini, benar. Namun, bila kita kembali ke motivasi awal, gerakan literasi yang kian bagus dari waktu ke waktu di NTT merupakan jawaban atas rendahnya minat baca. Di Facebook, misalnya, saya berteman dengan tiga akun aktif milik 3 komunitas literasi: Taman Baca Hammu Wangu (Sumba Timur), Taman Baca Kopi Lite (Adonara), dan Rumah Baca Sukacita (Ende).  Di WA, saya bergabung dengan dua grup: Simpul Pustaka Ngada dan Pustaka Bergerak NTT. Aktivitas-aktivitas mereka sungguh sangat membesarkan hati. Masa-masa terbaik bagi suburnya gerakan literasi di NTT 5 tahun terakhir. Sekiranya, suatu saat akan membawa NTT menuju provinsi dengan minat baca tertinggi di Indonesia.

Kedua, maraknya media-media daring yang menggunakan nama (tempat maupun suatu hal) yang ada di NTT atau yang dikelola oleh orang-orang NTT. Sekilas, ini menandakan suburnya minat membaca. Namun, pada judul yang bombastis dan asal-asalan (untuk mencari klik dan viewers), pada bahasa Indonesia yang serampangan, pada laku plagiasi yang kampungan, pada editing yang tidak beres, juga pada akurasi dan validitas yang tak teruji, kita dapat dengan jelas menemukan bahwa pada diri penggiat media massa sekalipun, minat baca sedang gawat-gawatnya. Belum lagi soal hoax dan yang hanya jadi partisan saat musim politik.

Ketidaknyamanan saya terhadap hasil survei UNESCO dan riset yang dikerjakan Central Connecticut State University membuat saya ragu. Apakah UNESCO juga menyasar karyawati sebagai responden dealer motor di sudut Flores? Apakah Central Connecticut State University juga menjangkau ruang-ruang publik kecil macam Toto Kopi?

Keraguan saya ini tentu masih dapat diperdebatkan. Namun, bahwa ada jejak literasi di Toto Kopi, saya kira ini jadi basis bahwa keraguan saya beralasan. Saya pribadi berpendapat, kiblat akhir literasi atau literasi mesti pada akhirnya membawa kita pada suatu sikap ilmiah. Namanya: keraguan. Ragu adalah awal dari segala macam ilmu pengetahuan, awal dari segala macam filsafat, dan dalam artian tertentu, awal dari iman.

***

Saya harus meninggalkan Toto Kopi. Vietnam drip sudah tuntas. Gadis yang tadi meminjam Kata datang menghampiri saya.

“Kaka, saya boleh pinjam buku ini ka?” dia lama merayu.

“Aduhh maaf, Ade, itu bukan buku saya. Saya juga akan kembali ke Bajawa.”

Namanya Maria Lahu. Kasir di MM Mart yang berdempet langsung dengan Toto Kopi. Kepada saya, Maria menunjukkan beberapa buku lain yang dia pinjam dari Maria yang lain. Maria yang sedang aktif mengembangkan Klub Buku Petra Ruteng, yang menyediakan perpustakaan dan diskusi bulanan di LG Corner.

***

Saya pun pergi. Pergi bukan hanya dengan ragu, tapi juga malu. Malu pada rendahnya minat baca kita. Malu pada Maria. Sudah Maret, dan saya baru tuntas membaca dua buku. ***

[1] Nasional.kompas.com.

[2] Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan (PDSPK) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, “Analisis Kearifan Lokal Ditinjau dari Keragaman Budaya Tahun 2016”, (2016), hlm. 30–31.

[3] Perpusnas.go.id.

[4] Ekorantt.com.

 

Reinard L. Meo
Latest posts by Reinard L. Meo (see all)

Comments

  1. Anonymous Reply

    Distribusi adalah satu dari sekian kendala kenapa kita (di Timur Indonesia) kurang bacaan. Penyaluran buku yang tidak seimbang meski ada banyak keinginan untuk membaca dan mengenal dunia lewat buku.

    Semangat buat kita semua. Kiranya, membaca buku menjadi kebiasaan yang berakhir menjadi budaya yg perlu dilestarikan..

  2. Anonymous Reply

    Luar biasa pola pikir kritisnya Kae bro, lalu akan terus berpikir untuk hal yang baik demi kebaikan bersama.👏👏🙏🤠*SURI TELADAN* 👏😊

  3. Anonymous Reply

    bukankah membaca tidak harus selalu yang tertulis. karena teks itu bisa apa saja gambar, gerak dll, kalau kata derrida (mohon koreksi). itu juga barangkali kenapa ada istilah Alam Raya Sekolahku.bahwa semua yang ada dialam bisa menjadi sumber pengetahuan.

    • Sekring kiri Reply

      Paradigma saya, membaca dalam konteks ini adalah membaca buku ndan,, memang membaca gambar, derrida, dan alam juga dapat disebut membaca. Tapi membaca jenis ini sepenuhnya merupakan bias yang ada di kepala masing masing, tidak berpakem atas penelitian tertentu, ataupun memperhatikan sudut pandang orang yang benar benar berkecimpung dalam dunia tersebut sepenuhnya

  4. Triwiningsi Reply

    Hebat kawan

  5. Anonymous Reply

    Ter apa ya?
    Terbaik? kurang, terhebat? kurang, terlalu? jadi bang oma:).
    Terasa! mungkin kata yang cocok untuk diungkapkan.
    Runtunannya yang buat saya tertarik.

  6. Frima Reply

    Setahu saya index membaca orang Indonesia itu 0,001 atau 0,1% jika ditulis dengan persen, bukan 0,001%.
    0,001 artinya 1/1000. 0,1% juga artinya 1/1000. Ini barulah sejalan dengan pengertiannya yaitu dari 1000 orang, hanya 1 orang yang serius membaca (di mana serius membaca di sini artinya adalah menamatkan buku yang dibaca).

Leave a Reply to Frima Cancel Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!