Fabel untuk Meringankan Hati

 fabel 

“Aku lahir di dalam meja kayu antik yang penuh ukiran. Meja bulat berlapis kaca itulah tempat persinggahan ibuku yang terakhir. Untung Ibu sempat melekatkan telurku di antara lekuk ukiran sebelum wafat disemprot Baygon. Kalau tidak, aku tidak akan mengalami kisah ajaib ini.”

Dee (Dewi Lestari) membuka cerita pendek “Rico de Coro” dalam buku kumpulan cerita dan prosa Filosofi Kopi dengan kalimat pengakuan seekor kecoak tentang tempat ia dilahirkan. Dan kita pun jadi langsung mafhum bahwa cerpen ini memang bertutur tentang Rico de Coro, kecoak yang terpesona dan lalu jatuh cinta lazimnya lelaki kepada seorang gadis bernama Sarah, anak pemilik rumah tempat ia bersama ayahnya, yang merupakan raja kecoak serta ibu tiri dan kecoak-kecoak lainnya, tinggal bersama gerombolan kecoak dari kerajaan lain yang mereka anggap sebagai kecoak kelas rendahan.

Seekor pangeran kecoak yang akhirnya tewas tersengat capit beracun kecoak uzur bernama Tuan Absurdo yang merupakan warga kerajaan ayahnya, hanya demi menyelamatkan Sarah, si pujaan hatinya itu.

Tentu saja, cerpen ini bukan yang pertama kali menjadikan hewan selaku tokoh cerita. Berkali-kali sudah kita membaca banyak kisah yang menghidupkan kawanan hewan, mengaruniai mereka riwayat laiknya manusia, menghadirkan mereka ke jagat manusia, atau menjadikan pembaca merasa seperti tengah diceburkan ke dalam dunia hewan. Kisah itu bisa berbentuk cerita pendek sederhana atau novel pendek yang rada kompleks dan absurd semacam The Metamorphosis Franz Kafka, misalnya.

Tetapi, ada pula dongeng yang dituturkan dan disebarkan secara lisan dan turun-temurun. Di masa kanak-kanak yang kini telah tertinggal jauh di belakang, kita akrab dengan dongeng-dongeng pengantar tidur. Di malam-malam ketika yang terdengar barangkali hanyalah suara jangkrik dan nyanyian kodok atau lenguh sapi dan embik kambing bersama desau angin yang bergesekan dengan daun pisang dan rumpun bambu, dongeng-dongeng berluncuran dari mulut ibu kita, membentangkan di hadapan kita semesta ajaib yang berbeda dengan alam yang kita diami; dongeng-dongeng yang tetap bertahan di benak kita bertahun-tahun sesudahnya dan tumbuh subur memekarkan imajinasi.

Terkadang, dongeng-dongeng itu berwujud hikayat tentang bidadari cantik yang kehilangan selendang sehingga tak dapat terbang kembali ke surgaloka dan akhirnya menikah dengan anak manusia dan menetap di bumi, tentang anak manusia yang muncul dari batang bambu yang terbelah, tentang makhluk kayangan yang turun ke bumi dengan meniti tali yang terjulur dari ceruk langit, tentang anak yang durhaka kepada ibunya dan karena itu dikutuk menjadi batu; kisah-kisah yang kerap bertautan dengan narasi leluhur dan asal-mula sebuah negeri, berkaitan dengan cara sebuah puak membangun kearifan. Segenap kisah yang di kemudian hari dikenal sebagai mitos.

Fabel, itulah istilah yang dipakai untuk menggelari cerita atau dongeng yang menempatkan binatang dalam posisi penting sebuah narasi. Dalam fabel kita menampak kelebat fabulasi. Konon fabulasi, sebagaimana yang diutarakan filsuf Henri Bergson, adalah suatu fakultas visioner yang amat berbeda dengan imajinasi, daya semipersonal yang menghadirkan raksasa-raksasa, dan agamalah yang mula-mula menggunakan fabulasi itu, yang selanjutnya dipulung dan dikembangkan secara lebih bebas oleh kaum seniman dan sastrawan.

Tak heran, di sejumlah kitab suci akan kita jumpai hewan-hewan yang dihadirkan bersamaan dengan manusia. Dalam Al-Quran misalnya, terpapar kisah tentang raja semut yang memerintahkan rakyatnya agar lekas-lekas memasuki sarang masing-masing guna menyelamatkan diri dari lindasan kaki Nabi Sulaiman beserta balatentaranya. Atau tentang burung Hudhud yang menyampaikan kabar penting kepada Nabi Sulaiman perihal penguasa negeri Saba, Ratu Balqis yang cantik jelita.

Seturut keterangan Fran Mason dalam Historical Dictionary of Postmodernist Literature and Theater, fabulasi merupakan jenis bercerita berbentuk fabel yang memanfaatkan anasir fantasi guna membangun sebuah dunia fiksional yang, selain berfungsi sebagai alegori, menggantikan dunia aktual. Dalam fabulasi, seekor binatang sebesar butir pasir bisa saja berubah menjadi “raksasa”, mengada serupa manusia: karakter yang dijejali sifat manusia, yang membuat khalayak pembaca terpana dan berupaya mengulik makna di balik cerita, sebab percaya bahwa tak ada bualan dari sana meski boleh jadi cerita itu terasa konyol.

Karena yakin bahwa realitas tekstual tak punya jalinan dengan realitas empiris, maka kita perlu menghadapi sang cerita dengan ringan hati layaknya bertamasya penuh debaran ke pulau misterius tempat kita bakal bersua dengan hewan-hewan ganjil dan lantas bercakap-cakap serta bercengkerama dengan mereka.

Zulkarnaen Ishak
Latest posts by Zulkarnaen Ishak (see all)

Comments

  1. kadarwati TA Reply

    dulu semasa kecil nenek sering kali mendongeng untuk kami sebelum tidur. Rasanya kita ikut dalam cerita tersebut dan seolah-olah hewan-hewan dalam cerita memang benar-benar bisa melakukan kegiatan layaknya manusia. Pengen buat fabel rasanya 🙂

    • Zulkarnaen Ishak Reply

      Terima kasih sudah membaca esai saya ini. Dan terima kasih atas komentarnya. Salam. 🙂

  2. Umi Sakdiyah Reply

    Setiap memberi makan kelinci, saya selalu menyempatkan diri untuk ngobrol dengan mereka, entah mereka paham atau tidak. tapi ajaibnya mereka selalu meloncat datang dari semak-semak di ujung kebun sekalipun setiap namanya saya panggil 😀 :D,

Leave a Reply to Umi Sakdiyah Cancel Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!