Batu Sulung, Batu Berkantung
batu sulung batu berkantung
di punggung gunung orang berkabung
ada yang hilang dan terhalang
dari rencana berburu dan bencana limbubu
kelabang kaki panjang merayap di batang lembab
bekas telapak perompak terkoyak
seperti pakaian pemberontak
di dasan, berpuluh kali tempuh waktu
batu sulung batu berkantung
tinggal lubang terang bila datang siang
orang membasuh rambut musuh
dendam mereka lebih merdu dari dendang biduan
lebih biru dari mata jin penunggu pintu
maka disiapkan parang, disiasatkan perang
piring-piring berdebu di dapur seperti bongkah kapur
satu orang terkapar, satu orang terbakar
nama tuhan yang akbar berkibar bagai murung kabar
di kubur batu sulung, di sumur batu berkantung
(Bakarti, 2014)
Batu Lumut
betapa tabah petapa yang hidup dalam diriku
tubuhnya hijau, rambutnya tumbuh ke masa lampau
dunia di sekitarku berkisar antara pertemuan dan perpisahan
seperti tamu yang pasrah pada pintu dan tuan rumah
tak ada yang baka atau terbuka dalam diriku
meski langit sering membasuhku dengan hujan
membasahkan tubuhku dengan air garam yang terangkat
dari permukaan samudera dan mendera dada udara
aku musuh musim dan petapa itu bagai humus tempat bermukim
kejahatan dan kebajikan tumbuh dan terus bertambah
mengukur ketabahanku, mengakar di seratku yang sarat isyarat
hingga kalian mengira aku dan petapa itu telah saling mengurai
padahal kami terperangkap pada hal-hal yang belum lengkap
pada perihal yang setiap saat berusaha kalian tangkap
setiap kalian sempat melihat kelebat masa silam
melompat ke dalam kolam tempat kami tenggelam
(Bakarti, 2014)
Batu Empedu
kalian mimpi dan tak mampu menangkap apa-apa yang tersembunyi
kecuali bunyi jantung kalian sendiri, gumpal kenyal dalam selaput
lembut yang berdenyut dengan lambat
aku hidup di sekitar selaput itu, aku hidup dan berhadap-hadapan
dengan maut yang licik dan gemar melacak di mana gerangan
kalian akan berhenti dan berubah menjadi hantu
rasa pahit telah dipahat dalam diriku, supaya aku jadi satu-satunya
yang terabai dari tiap upaya mengurai apa yang ada dalam diri kalian
apa yang selama ini meniupkan gelembung rahasia dari segala gelombang
yang sia-sia datang dan berulang
maka ungu adalah karma yang pantas untukku
ungu yang dingin dan selalu ingin menyerap racun
menghisap setiap rencana yang menjadikan tubuh kalian
inang bagi segala kesalahan
(Bakarti, 2014)
Batu Umur
aku mencintai caranya mengawasi. karenanya kujadikan ia sumber kebaikan
kuasah permukaannya agar ia tampak cemerlang bila dipandang orang
kupindah ia ke rumah-rumah ibadah, meletakkannya di tengah manzilah
seolah ia bagian dari benda-benda samawi yang mengitari galaksi
ia lembut seperti lumut, seperti tubuh seekor siput
kadang kuusap dada dan dari sana ia menjelma tenang muka-kolam
ia minta aku menjauhkan diri dari pikiran tentang mati
supaya ia bisa sembunyi dan nanti datang lagi dengan lebih pasti
saat itu aku mengenalinya sebagai tali yang terjulur ke masa lalu
seluruh kenangan berayun di sana bagai kanak-kanak yang riang
manakala aku semakin jauh menempuh jalan di depan, sesungguhnya
aku telah berjalan memutar, dan kembali ke belakang tali itu
(Bakarti, 2014)
Lembing Likuida
antara dengung burung dan terbukanya sebuah payung
aku melihat lembing likuida melintas di atas sana
sekian ratus hari setelah nirmala, langit demikian keruh
serupa getah tembakau, serupa puisi buruk tentang
para astronom yang tak tahu di mana pintu galaksi
aku mendengar lagi lagu itu
rontok dari stereo, menjadi hantu
berdiri di tangga rumah, merentangkan tangan
seperti pengusir burung di ladang paman ketika aku
masih percaya bahwa dunia terbuka bagi kanak-kanak
yang riang dan gemar berdendang
kini akulah nada rendah dalam musik perkabungan, akulah tanah
di mana pikiranku tumbuh ke luar bumi, keluar dari jazirah bimasakti
menemuimu, betapa, untuk menemuimu semata
(Pagesangan, 2014)
Teropong Orang Gunung
bagaimana matinya binatang-binatang besar
dirumuskan oleh gambar kecil di gua-gua terpencil
orang menatap antariksa, atap terang cakrawala
menyaksikan konstelasi api dan sabuk kosmis tergantung
bagai ayunan di kebun malam hari
sekian miliar mata bintang, sekian pusar nganga lubang
dari bumi cuma biji-biji lepas tertampi
meski yang mati di sini diterbangkan ke tempat tinggi
jadi debu, menyatu bersama timbunan waktu
hanya di tangan juru ukir purba tanda-tanda badai luar angkasa
tergurat sebagai surat rahasia, orang pintar dari masa depan
membubuhkan nama, mencatat angka-angka, berusaha
mengembalikan segalanya seperti sedia kala
orang gunung paham ada yang telah terlempar keluar
jangkar gravitasi, padamnya kembaran matahari
manakala binatang-binatang besar lari dan tak bisa sembunyi
mereka bertahan, merawat air, menggurat batu dengan batu
membuat abadi yang berabad-abad nanti dengan hati-hati digali
(Bakarti, 2014)
Kaprikornus
antara tahun kuda dan kedatangan komet kedua
aku menimbang adakah kaprikornus akan hangus
di tengah ladang bintang, di pusaran sunyi galaksi
sementara aku berbaring dan melihat benang antariksa
tergelar bagai kain tenun yang murung
37 tahun zodiak itu membuat tanda di keningku
kambing laut patah tanduk yang berenang sebagai konstelasi terkecil
dari pucuk desember ke pangkal januari
melepaskan bulu-bulunya bagi nasib baik
hari keberuntungan dan angka-angka yang dinisbatkan
37 tahun penyu hitam langit utara
kornukopia dari sisa cinta amalthea
kubayangkan jubah biru neptunus
membungkus tubuhku yang lemah, selemah benda tak dikenal
yang meluncur ke atmosfir dan hancur sebelum menembus tabir bumi
(Bakarti, 2014)
Gemini
telah dibasuh pundakmu berkali-kali pada pagi dan mei
mei adalah parit yang dibersihkan, bacaan yang gelap sepenuhnya
aku tidak melihat matahari, bau ketuban dan suara air
sebuah kelahiran yang tidak mungkin, tidak mungkin berakhir
kita akan menerima surat tertulis, tertulis halus di lembar papirus
dan di perbatasan, kulit kita memutih seperti kapur yang bersih
akan kau beri nama apa benda pertama yang jatuh dari atas sana
dari arah kaki kita yang mengayun hampa
tak lebih, tak lebih, tak lebih dari dunia tempat pulang dan berpaling
apabila tuntas jalan, juga spiral, juga pertolongan-pertolongan
itulah juni, kita dipisahkan sekerat demi sekerat
(Pagesangan, 2014)
Skorpio
sengat ini, sengat juru tenung kesepian
sekian tahun terkurung asmara seekor duyung
di teluk jauh yang tak henti dipeluk angin-puyuh
para pengayuh pernah menyangka sepasang matanya
adalah cermin kembar, di mana yang bersih
dan tak-bersih tersapih
racun ini, racun asmara seekor duyung
sekian tahun mengurung jantung si juru tenung
di hutan jauh yang tak henti dihisap asap keruh
para perambah pernah menyangka sepasang matanya
adalah jalan kembar, di mana yang antah
dan berantah terpisah
(Bakarti, 2014)
Sumber gambar: background-kid.com
- Puisi-Puisi Kiki Sulistyo - 15 November 2022
- Kelipatan Waktu - 2 September 2022
- Puisi-Puisi Kiki Sulistyo - 5 July 2022