Gadis Pohon Waq-Waq

SEBUAH bangku berhasil kuangkat tinggi, kemudian kuayunkan sekuat-kuatnya. Akibatnya, kepala bajingan bernama Ijon bocor seketika. Ia tertelentang, kemudian kuinjak-injak sebelum tubuhku dipeluk beberapa teman laki-laki yang mencoba memisahkan kami. Tubuh Ijon terbaring tak berdaya. Aku masih meronta hingga kemudian guru BK datang dan menyidangku secara sepihak.

“Kamu! Ikut saya ke ruang guru!”

Aku mengikuti langkahnya tanpa banyak tanya, pun tidak meninggalkan kata kepada Embun. Sekeluarku dari ruang guru, Embun menunggu di depan pintu dengan cemas. Lesung pipinya timbul tenggelam seiring mulutnya yang asyik bertanya, sedang pipiku masih terasa perih akibat tamparan guru BK.

“Bagaimana?”

“Tidak apa-apa.”

“Lantas?”

“Aku diskors seminggu. Katanya preman sepertiku tidak seharusnya sekolah di sini. Sialan! Padahal bukan aku yang mulai.”

“Seharusnya kaubiarkan saja mereka.” Tangan Embun menyapu sudut bibirku yang robek. Aku meringis.

“Maksudmu aku harus diam saja melihatmu dihina?”

“Yah, lebih baik daripada diskors seminggu. Padahal beberapa bulan lagi ujian nasional.”

“Setidaknya aku puas.”

“Bagaimana kalau Ayah tahu? Tak akan selesai dengan mencabuti rumput satu pekarangan. Kutebak, kau bakal disabet Ayah dengan sabuk.”

Aku tertawa mendesis. Ucapan Embun tidak salah. Bulan ini aku sudah berkelahi tiga kali. Pertama dengan Hen, anak seorang pegawai bank yang sombong. Kedua dengan Eri, ketua klub silat di sekolah. Terakhir, dengan Ijon, yang pukulannya paling keras dan berhasil membuatku kewalahan.

Embun anak yang manis. Tingkahnya lucu dan bikin gemas, tapi selera humornya luar biasa buruk, macam bapak-bapak tukang ronda yang membikin segalanya menjadi lelucon. Ditambah lagi karena Embun anak yatim piatu, membuat julukan Gadis Pohon Waq-Waq—pohon yang berbuah kepala manusia dan mengeluarkan tawa berbunyi waqwaq—cocok untuk disematkan padanya.

Menurut cerita Ayah, Embun ditemukannya di depan pintu rumah kami dini hari ketika ia pulang lembur, tepat saat embun turun—setidaknya begitulah cerita Ayah kepada kami. Selain karena tumbuh besar bersama, jarak usia kami yang hanya selisih beberapa bulan saja, menjadikan kami akrab.

Di sekolah, Embun termasuk siswa berprestasi. Banyak siswa yang menyatakan perasaan kepadanya, tetapi semua ditolak Embun, termasuk Hen.

Hen mengutarakan perasaannya di depan umum sambil menyerahkan buket bunga dan membaca puisi. Bukannya luluh, Embun malah tertawa geli dan menolaknya. Hen yang sakit hati kemudian mulai mengganggu Embun bersama kawan-kawannya, Eri dan Ijon.

“Lihat, itu si Gadis Pohon Waq-waq.”

“Awas, ada hantu.”

Embun tidak sedikit pun terganggu. Ia sadar bahwa tidak punya pilihan untuk melawan. Sebab, jika melawan dan berujung ribut, tentu akan menyusahkan ayah dan ibuku. Alih-alih marah, Embun justru tertawa dan menirukan bunyi pohon waq-waq. 

“Waq-waq … waq-waq!”

Kepalanya tegak, matanya melotot. Mulutnya komat-kamit. Siapa juga—bahkan aku pun—yang melihat pasti akan merasa merinding dan terintimidasi. Seakan-akan waq-waq itu nyata adanya. Tak terima, laki-laki sialan itu mendorong tubuh Embun hingga ia terjungkal, membuatku harus turun tangan membela Embun, saudara angkatku.

Embun menatap mataku, menunggu jawaban. Dengan malas, kujawab sekenanya, “Ayah tidak akan tahu kalau kau tidak cerita.”

“Lalu bagaimana?”

“Tetap jangan kasih tahu Ayah dan Ibu. Mati aku.”

“Lalu apa rencanamu?”

“Entahlah.”

Aku mengemas buku dibantu Embun. Tanganku dan tangan Embun bersentuhan tidak sengaja. Kami sama-sama terdiam. Meskipun bukan pertama kali bersentuhan kulit, namun kali ini berbeda. Ada sesuatu yang lain yang kurasa. Dadaku panas. Pipiku panas. Dan aku benci bunyi jantungku yang memekak memenuhi gendang telinga. Embun menunduk. Aku bisa melihat lesung pipinya yang dalam itu dari balik rambutnya yang lurus tergerai. Embun lekas menarik tangannya, meninggalkan tanganku yang kecewa.

***

Ucapan Embun benar. Aku tidak berakhir membersihkan rumput di halaman. Ayah marah besar mengetahui aku diskors sekolah dan memukuliku pakai tongkat. Namun, setelah kujelaskan, marahnya mereda, meskipun tetap menyayangkan perbuatanku.

Bagaimanapun, kata ayah, sebagai laki-laki aku harus bertanggung jawab atas tindakanku dan menjalani skors menjelang ujian nasional dan persiapan masuk perguruan tinggi.

Untuk mengobati kebosananku ketika Embun pergi sekolah, aku bekerja di kafe langganan kami. Pemilik tokonya baik, mau mempekerjakanku paruh waktu. Gajinya lumayan untuk pekerjaan yang hanya dikerjakan selama seminggu. Hari ini sudah hari ketiga aku bekerja di sini. Kuperkirakan gaji yang nanti akan kuperoleh lebih dari cukup untuk membelikan Embun sebuah kalung cantik yang dilihatnya tempo hari.

Aku akan memberikan kalung itu tepat pada hari Valentine nanti. Kuperkirakan lesung pipi Embun akan berlobang dalam seiring lumer senyumnya seperti cokelat panas yang biasa diminumnya. Aku mau mengatakan kepadanya bahwa tidak mengapa jika sekalipun ia terlahir dari pohon waq-waq, aku tetap menyukainya sebab tawanya begitu menyenangkan. Bahkan, bagiku, bagi kami semua di rumah, Embun persis seperti namanya, embun, yang kehadirannya menyejukkan.

“Apa yang membuat hatimu senang?”

Aku gelagapan dengan pertanyaan mendadak barusan. Hampir saja gelas yang sedang kulap itu jatuh berhamburan. Paman pemilik kafe tersenyum memandangku. Aku tak menjawab melainkan tersenyum cengengesan.

“Biasanya, orang akan bermuka bodoh ketika dua hal. Ketika berbuat salah atau jatuh cinta.”

Aku cengengesan lagi. Dia tersenyum dan melanjutkan pituahnya, “Waktu seusiamu, aku jatuh cinta kepada anak petani kopi. Didorong rasa penasaran ingin mengenalnya lebih jauh, aku nekat belajar mengenai kopi. Siapa sangka, ternyata aku malah jatuh cinta dengan dunia kopi. Bahkan akhirnya aku berhasil menikahi istriku berikut menikahi kopi sebagai profesiku untuk menghidupinya.”

Aku tidak menjawab. Tanganku masih mengelap gelas-gelas yang masih basah, mencoba untuk fokus.

“Percayalah … cinta memang harus dikejar. Ajak ia minum kopi di sini. Sebab cinta dimulai dari secangkir kopi.”

“Tapi, dia tidak minum kopi.”

“Ah, kau memang tidak romantis,” balasnya jengkel.

Aku diam tak lagi menjawab. Pikiranku bertempur satu sama lain. Bagaimanapun, Embun sudah seperti saudara bagiku, namun di sisi yang lain, aku memandangnya sebagai wanita, bukan sebagai saudara. Aku mencintainya bahkan sudah sedari lama.

Mataku menatap lurus ke luar kafe. Kusipitkan mencoba untuk memastikan bahwa pandanganku tidak salah. Aku tersenyum. Sosok favoritku, Embun sedang berjalan di luar toko dengan tergesa. Setelah izin kepada paman pemilik kafe, aku mengejarnya.

Kupanggil … ia tidak menyahut. Kukejar hingga tangannya berhasil kugapai. Ia berhenti sejenak kemudian menepis tanganku kemudian melanjutkan berlari. Baru kusadari bahwa mukanya lebam. Kukejar dan kupeluk ia yang kini terisak-isak di depanku. Untuk pertama kalinya kulihat ia menangis.

“Tak apa. Menangislah.” Embun menangis di pelukanku, sedang aku bertarung dengan perasaanku.

“Kenapa aku tidak punya orang tua? Salahkah tidak punya orang tua seperti mereka?”

“Kau punya kami, dan kau sama sekali tak salah.”

“Lalu kenapa menghukumiku seakan aku pendosa?”

“Tidak. Merekalah pendosa.”

Embun menangis sesenggukan. Tanganku mendekapnya erat, dadaku menggemuruh kencang. Mataku nyalang. Hari ini kupastikan akan menghabisi bajingan yang menyakiti Embun-ku.

***

Taman demikian ramai. Kami kesulitan mencari tempat duduk untuk menikmati brownies cokelat yang kami beli. Embun berjalan dengan langkah kecil sambil mengunyah brownies. Ia tampak cantik dalam balutan busana berwarna cerah. Kami pergi berdua saja. Aku beralasan mengajak Embun ke toko buku untuk membeli buku persiapan ujian.

“Kalau sudah selesai dari toko buku, susul saja kami,” ucap Ayah. Rencananya Ayah dan Ibu mau berkunjung ke rumah Paman, syukuran rumah barunya. Aku mengangguk.  

Aku dan Embun menikmati suasana piknik yang menyenangkan. Warna pink bunga kamboja mengingatkanku akan pipi Embun yang bersemu ketika malu. Ia tampak asyik dengan brownies-nya.

Setelah merasa momennya tepat, kukeluarkan hadiah untuknya, hasil kubekerja paruh waktu. Karena bekerja lebih lama sebab masa skorsku ditambah, aku memperoleh gaji lebih besar.

Sore itu ketika Embun menangis, aku langsung mendatangi Ijon dan kawan-kawannya. Mereka kupukuli menggunakan balokhingga babak belur dan masuk rumah sakit. Kasus ini sampai ke telinga kepala sekolah hingga Ayah harus datang memenuhi panggilan ke sekolah. Ayah tidak marah.

“Bagus. Untung kau tidak dikeluarkan,” katanya sambil mengacungkan jempol kepadaku.

Helai-helai kelopak kamboja mulai berjatuhan ditiup angin dingin, tampak seperti hujan   merah muda. Salah satunya mendarat di pipiku, membuatku tersadar dan kembali ke masa sekarang.  Embun bertepuk tangan kegirangan. Matanya mengerjap-ngerjap seperti anak kecil. Lesung pipinya semakin dalam.

“Ini untukmu.” Aku menyorongkan kotak kalung kepadanya. Embun terkejut. Ia menangis. Aku salah tingkah ketika tiba-tiba ia memelukku

 “Terima kasih.”

Beberapa helai kelopak kamboja hinggap di rambut Embun-ku. Kali ini pipiku yang bersemu.

“Kau tahu, menangis tidak cocok untuk pohon waq-waq sepertimu.”

Embun mencubitku gemas, aku mengaduh tanpa bisa membalas. Tentu saja kemudian kami tertawa. Brownies yang kumakan jadi terasa hambar sebab manisnya sudah berpindah ke senyum Embun. Dalam hati kuberkata bahwa ia adalah Embun-ku, bukan pohon waq-waq.

***

Rumah masih kosong ketika kami pulang dari taman sewaktu petang. Hanya ada kami. Ayah dan ibu belum kembali. Aku duduk di sofa, Embun duduk di sebelahku. Tidak seperti biasa, kami sama-sama diam, canggung akan kediaman kami sendiri. Televisi bicara sendiri, aku larut dalam lamunanku, sedang Embun? Aku tak tahu apa yang dipikirkannya.

Tiba-tiba ia bertanya, “Mau kubuatkan kopi?”

Aku tersenyum dan mengangguk pelan. Teringat perkataan paman pemilik kafe, “Cinta dimulai dari secangkir kopi.”

Jantungku berdegup kencang. Apakah ini kode?

Uap panas kopi mengepul dari gelas porselen. Embun duduk di sampingku. Sambil menunggu kopi agak dingin, kutatap mata Embun. Ia menunduk. Kusibak rambutnya yang menghalangiku memandang lesung pipinya yang dalam. Kucium, ia tidak melawan. Kulanjutkan dengan mencium bibirnya yang panas meskipun belum menyeruput kopi. Ia membalas. Kami pun bercinta dengan panas di ruang tamu. Kopi kami mendingin tanpa sempat disesap.

Tiba-tiba, pintu terbuka. Ibu menjerit kaget. Aku dan Embun terperanjat gelagapan. Ayah berteriak dan mengejarku, kemudian menghajarku yang masih dalam kondisi telanjang hingga tidak sadarkan diri.

***

Ayah duduk di depanku. Kepalanya tertunduk. Sorot matanya tidak lagi menyiratkan amarah, melainkan beban yang tak tertahankan. Aku merasa bersalah. Di sampingnya Embun duduk memegangi lutut. Mukanya tertunduk malu, sedang aku di atas kasur mencoba duduk meski punggungku sakit. Aku mengaduh. Punggung dan beberapa bagian tubuhku lebam dan sakit.

Ayah masih diam. Aku tidak suka suasana mencekam begini. Meskipun masih takut Ayah marah, aku bertanya di mana Ibu.

“Ibumu ada urusan ke luar. Berhubung tidak ada siapa-siapa, aku mau memberitahukan kalian kebenarannya.”

Kami diam menunggu kelanjutan ucapan Ayah yang malah merogoh sesuatu dalam saku jaketnya. Aku semakin cemas melihat ayah menyerahkan sebuah kertas yang kutebak sebuah amplop. Embun diam menatapnya sebelum membukanya.

Aku khawatir, jangan-jangan itu adalah surat adopsi? Kutepis pikiran itu, dan kuperhatikan Embun yang masih diam membisu. Aku tidak mau berpisah darinya. Aku mencintainya.

Embun merobek sisi amplop dan mengeluarkan sebuah kertas di dalamnya. Sebuah surat keterangan kelahiran. Di bawahnya terselip sebuah foto. Foto itu dikeluarkannya. Foto seseorang wanita muda yang sangat cantik, dan … mirip Embun.

Itu pasti ibunya.

Aku beringsut dan ikut melihat. Perempuan itu berfoto bersama seorang laki-laki muda tampan yang wajahnya sering kulihat. Di balik foto itu terdapat tulisan singkat dan padat. Embun memandang ayah dengan ragu. Ayah menatapnya sayu. Mulutnya bergetar kemudian berkata, “Bacalah. Baca dengan keras.”

“Tolong rawatlah anak kita.”

Embun tertegun. Tangannya gemetar. Amplop di tangannya terlepas. Ia menatap ayah kemudian menatapku bergantian. Air mata jatuh dari sudut matanya tanpa suara.

“Ya, kamu adalah anak kandungku. Anak yang terlahir dari rahim kekasih lamaku. Ketika itu aku masih sangat muda dan terlalu bergairah. Maaf …”

Ayah diam sejenak. Dengan ragu ia melanjutkan, “Aku bertemu kembali dengan ibumu di sebuah acara reuni sekolah. Istriku ketika itu tengah hamil muda, sehingga tidak bisa ikut. Rasa cinta yang belum rampung membuat kami kembali melakukan dosa masa lalu malam itu, dan malam-malam berikutnya. Hingga kemudian ia hamil. Aku tidak bisa menikahinya karena sudah berkeluarga. Lagi pula kami sama-sama sadar bahwa kami melakukan itu tanpa ada paksaan dari siapa pun.”

“Apakah Ibu tahu kebenaran ini?”

Ayah diam beberapa saat, kemudian menggeleng perlahan. Ketika ia hendak melanjutkan ucapannya, Embun berlari ke luar kamar.

Aku menatap Ayah tajam.

“Jadi, aku dan Embun?”

“Ya.”

Ayah mengangguk lemah. Matanya basah. Aku marah, tapi tidak tahu hendak marah kepada siapa. Aku berteriak kencang dan memukul Ayah. Kali ini Ayah tidak melawan.

***

Sejak pengakuan Ayah kemarin, Embun lebih suka mengurung diri di kamar. Ia menghindari interaksi dengan kami. Sejak pagi tadi Embun sudah keluar dari rumah. Ibu yang menangkap gelagat tidak beres, khawatir dan menyuruhku mencari Embun.

“Aku tahu ia pasti malu. Aku bisa mengerti, kalian masih muda.”

Ah, andai Ibu tahu kenyataannya.

“Kau carilah dia. Katakan kepadanya bahwa ibu tidak marah. Ia tetap anak ibu.”

Ucapan Ibu terdengar tulus, tapi terasa semakin menusuk hatiku. Aku bergegas keluar sambil membawa jaket milik Embun. Biasanya jika sedang butuh ketenangan Embun akan duduk memandangi kota dari atas bukit belakang sekolah. Atau ia akan merebahkan dirinya di rumput dan memandangi awan, berbantalkan akar pohon. Tidak banyak orang yang datang ke sini. Hanya kami sehingga tempat ini kerap kami jadikan sebagai markas ketika bermain rumah-rumahan atau petak umpet semasa masih kecil.

Aku menyibak ilalang yang semakin tinggi, berjalan mengikuti rumput-rumput yang baru rebah membentuk jalan setapak. Ini pasti jejak Embun. Tak berapa jauh lagi. Pucuk pohon sudah terlihat dari sebalik ilalang. Aku menyibak ilalang di depan dan berjalan menuju tempat favorit kami memandangi kota. Setengah berlari, aku menyongsong Embun. Namun, aku terjatuh karena tersandung akar—aku terkejut dengan pemandangan di depanku. Mulutku gagu. Di pohon, Embun sudah menjelma buah pohon waq-waq. Tapi tanpa senyum, tanpa tawa. [*]

WS. Djambak
Latest posts by WS. Djambak (see all)

Comments

  1. Akun gugel Reply

    Udah nebak sodara kandung krn di kampung ada yang kek gitu hihi
    Pura2 nitip ternyata anak dari si pemilik rumah

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!