Gairah Hidup Lelaki Tua Jepang

Judul               : Rumah Perawan

Pengarang       : Yasunari Kawabata

Penerjemah     : Asrul Sani

Penerbit          : Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)

Cetakan           : Pertama, Juli 2016

Tebal               : v + 115 hlm.; 14 x 21 cm

ISBN               : 978-602-424-120-9

Harga              : Rp 45.000,00

Sekian akun Instagram tekun mengedarkan meme bergambar foto lelaki tua yang sering muncul dalam film-film porno Jepang alias Japanese Adult Video (JAV). Mereka menyebut sang lelaki tua dengan berbagai nama, ada akun Instagram yang menamainya Kakek Sugiono, Kakek Legend, Kakek Porno, dan lain-lain. Sedangkan nama aslinya, Shigeo Tokuda, malah jarang disebut. Lelaki tua itu mencatatkan dirinya dalam sejarah industri porno Jepang sebagai aktor film bokep tertua. Tentu saja Tokuda membuat iri lelaki tua lainnya, lantaran ia masih sempat “bergairah” menikmati hidup di usia yang mencapai 80-an tahun. Tokuda juga menjadi dedengkot genre baru dalam industri porno Jepang, yakni elder porn. Ternyata lelaki tua Jepang masih berhak menyalurkan gairah seksualnya di masa-masa jelang kematian. Aih!

Industri porno Jepang, dengan JAV sebagai produk utamanya, memang senantiasa menampilkan seksualitas secara hiperbolis dan hiperrealistis. JAV adalah citra aktivitas seksual paling binal di Jepang, meski tak sampai semenjijikkan film-film porno bikinan Amerika Serikat. Jepang begitu obsesif terhadap tubuh perempuan. Mereka tahu persis cara-cara ampuh untuk menunjukkan estetika tubuh kaum hawa. Tubuh-tubuh telanjang perempuan ditampilkan secara natural, tanpa implan silikon, apalagi sianida. Misalnya, dalam film Sashimi (2015), tubuh perempuan telanjang diposisikan sebagai meja untuk menyajikan kuliner khas Jepang. Dalam teks sastra, Yasunari Kawabata menampilkan estetika tubuh perempuan dalam posisi paling polos: ditidurkan. Sekilas, teks Kawabata mengingatkan kita pada film Sleeping Beauty (2011) karya Julia Leigh. Teks termaksud berjudul Nemureru Bijou, terbit pertama kali pada tahun 1961, kemudian diterjemahkan Asrul Sani ke bahasa Indonesia dengan judul Rumah Perawan.

Jika kita lebih dulu membaca sinopsis di sampul belakang buku Rumah Perawan, kita menjumpai keterangan, “Yasunari Kawabata menyingkapkan rahasia kaum pria tua yang suka memanjakan nafsu jasmaniah sebagai pengenang kemanisan masa remaja.” Imajinasi kita (setidaknya bagi yang pernah menonton film porno Jepang) bakal sampai ke Tokuda, si kakek porno Jepang berusia 80-an tahun itu. Tapi tidak, Kawabata justru memperkenalkan kita pada Eguci, lelaki tua yang umurnya (baru) 67 tahun. Kita kecewa lagi, adegan intim di tempat bernama “rumah perawan beradu” tidak semenggairahkan film-film porno Jepang yang melibatkan lelaki tua, terkhusus Tokuda. Sejak awal, Eguci tua sudah diberi peringatan sejak pertama kali berkunjung ke rumah perawan beradu. Ia pantang melakukan apa saja yang tidak senonoh. Ia tidak boleh memasukkan jarinya ke mulut perawan yang lagi tidur, atau mencoba melakukan apa saja yang serupa dengan itu (hlm. 1). Eguci hanya perlu terlelap di samping perawan yang “ditidurkan”. Itu saja.

Representasi seksualitas lelaki tua ala Kawabata tentu jauh lebih subtil ketimbang yang ditampilkan oleh Tokuda melalui JAV. Namun, jika bicara soal pemaknaan, tentu Kawabata lebih mendalam. Rumah perawan beradu yang dikunjungi para lelaki tua itu dimaksudkan sebagai hiburan sementara, alias pencarian kebahagiaan yang telah sirna, sedangkan hidup masih berlangsung (hlm. 60). Kita teringat pada ungkapan Paul Valery yang dikutip dalam film terakhir Hayao Miyazaki, Kaze Tachinu alias The Wind Rises (2013): “le vent se leve! Il faut tenter de vivre!” Angin berhembus, kita harus berusaha untuk “hidup”. Di rumah perawan beradu, para lelaki tua yang berkunjung dapat terlelap bersama kemudaan perawan yang ditidurkan. Kendati demikian, Eguci sempat berpikir, apa mungkin di antara lelaki tua yang berkunjung itu ada yang secara diam-diam minta supaya boleh tidur untuk selamanya di samping perawan yang ditidurkan itu? Dalam tubuh telanjang perawan yang ditidurkan ada semacam kemurungan yang menimbulkan kerinduan pada mati. Lho, masa lelaki tua merindukan maut bukan lantaran ingin segera melihat Tuhan atau bertemu Nabi, tapi gara-gara perawan?

Di Jepang, seksualitas sudah dipandang sebagai gairah hidup. Maka, kunjungan para lelaki tua ke rumah perawan beradu melambangkan cumbuan terhadap ajal yang menanti di ambang pintu sejarah hidup (hlm. 115). Selama napas masih berhembus dan jantung masih berdetak, lelaki setua apa pun tetap berhak merasakan gairah hidup. Ini jauh berbeda dengan yang sering dijumpai di sekitar kita. Lelaki tua seringkali dilabeli “bau tanah” dan sebentar lagi menghuni liang lahat. Orang tua dipaksa segera bertobat, memperbaiki ibadah, menyiapkan bekal ke akhirat, dan berhentilah memikirkan hidup. Seakan-akan bagi kita hidup adalah kemudaan, dan tua adalah pintu kematian. Kita pun seringkali menjumpai kredo-kredo “menolak tua” atau “stay young” beredar di kalangan anak muda. Menjadi tua adalah kesialan. Maka, pantas bila Soe Hok Gie, nabi bagi para aktivis mahasiswa, pernah menulis, “nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua.” Tentu saja, Gie, kita cuma punya panti jompo, tidak ada “rumah perawan beradu”. Orang-orang tua di sini sekadar dititipkan di pintu kematian, tanpa berteman perawan. []

Udji Kayang Aditya Supriyanto
Follow Me
Latest posts by Udji Kayang Aditya Supriyanto (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!