Gurunya Tumbuhan, Kelasnya Alam

Identitas Buku:

Judul                   : SUTA NAYA DHADHAP WARU

Penulis               : Iman Budhi Santoso

Penerbit             : Interlude, Yogyakarta

Cetakan              : Pertama, Maret 2017

Halaman            : xxx+478 halaman

ISBN                    : 9786026250421

 “Setiap orang yang penuh ambisi harus berperang

dengan senjatanya masing-masing,”Oscar Wilde (1854-1900)

Setelah membaca buku Iman Budhi Santoso, budayawan dan penyair andhapashorlembahmanah ini, seketika ingatan terseret pada perkataan Oscar Wilde. Seorang seniman haruslah memiliki ambisi besar atas karyanya. Karya bukan semata buah pikir permenungan, melainkan juga sebagai senjata (meminjam istilah Wilde) untuk melawan cibiran mereka yang meremehkan. Hanya Iman Budhi Santoso yang merasa perlu melakukan tabulasi atas nama-nama tuwuhan/wit-witan yang diabadikan sebagai nama desa.

Raudal Tanjung Banua dalam esai “Pohon dalam Sastra Indonesia” (Kompas, 12 Agustus 2017) menyebut sastra Indonesia terbilang minim menggaet pohon sebagai bahan cerita. Sangat ironis, bila dikaitkan dengan klausa bahwa sastrawan dekat dengan alam, imbuh Raudal. Dan pendapat ini seketika gugur oleh buku ajaib milik Iman Budhi Santosa ini.

Buku Suta Naya Dhadhap Waru ini adalah buah kerja yang sangat ambisius, untuk sekadar menghaluskan istilah pekerjaan gila Iman Budhi Santoso. Takkan ada yang pernah berpikir, kalau pun pernah berpikir, pastilah enggan melakukan tabulasi dan pelacakan seperti ini.

Pemilihan klausa ‘suta naya dhadhap waru’ secara leterlek memberi makna falsafah orang Jawa yang menjadi kawulo, memiliki jiwa melayani, dan selalu guyup rukun. Suta Naya bermakna pseudoname yang menurut Iman Budhi Santoso kebanyakan dipakai oleh laki-laki dari kelas bawah, menjadi ciri khas rakyat kecil, kawulo alit, atau kaum pidak pedarakan. (hal.2) Sedangkan dua nama tumbuhan, dhadhap (Erythrina lithosperma) dan pohon waru (Hibiscus tiliaceus) ialah dua jenis tumbuhan yang kerap dijadikan pagar, paru-paru pinggir jalan. Suta Naya disusul dhadhap-waru dimaknai sebagai perlambang dan pokok cara hidup orang Jawa. Bersama-sama dan saling mengabdikan diri (baca: saling membantu).

Iman menangkap pemaknaan ini dengan tumbuhnya kearifan lokal yang bermula di lapisan Suta Naya. Orang-orang kecil ini yang menumbuhkan pertama kali, kemudian dicatat oleh kaum priyayi (terpelajar), para empu menuliskannya dan menjadi kekayaan spiritual Jawa. Kearifan lokal yang ditemukan oleh Suta Naya tidak akan jauh-jauh dari tumbuhan dan fenomena alam yang tertangkap inderawi.

Yang pertama ialah munculnya unen-unen dengan metafora tumbuhan. Iman Budhi Santoso merangkum yang mengandung unsur tanaman dari hutan peribahasa Jawa. Sebuah kerja ajaib. Gajah kalingan suket teki (Gajah tertutup rumput teki) yang diartikan sebagai orang yang gemar melakukan basa-basi dan kepura-puraan. Atau contoh lain, koyo wit lerak, kebak uler didohi sanak (seperti pohon lerak penuh ulat sehingga dijauhi saudara) yang menyiratkan agar orang menjaga penampilan dan kebersihan badan agar tidak dijauhi orang lain. (hal.27)

Manusia Jawa yang digambarkan Iman dalam buku ini adalah manusia yang mampu menyerap pelajaran dari ayat-ayat alam, ayat-ayat kauniyah. Ketika zaman itu, pendidikan hanya dimiliki oleh kaum priyayi dan irlander, maka kaum alit menyerap pelajaran hidup dari alam dan tumbuhan.

Dalam bahasa Kahlil Gibran dalam “The Prophet”, setiap kamu harus berdiri sendiri juga dalam pengetahuan tentang Tuhan dan pemahaman tentang alam. Tuhan dan alam dua komponen pengajaran. Tuhan mengajarkan lewat ayat yang turun ke Nabi dan yang turun sebagai bentangan semesta. Dan orang Jawa telah merangkumnya.

Jogja Hip-Hop pernah membuat lagu “Ngelmu Pring”, atau bila diindonesiakan menjadi Belajar dari Bambu. Lirik lagu berbahasa Jawa yang kemudian dinyanyikan dengan gaya Barat yakni rap, mengupas pohon bambu dan kaitannya pada kehidupan manusia Jawa. Terlebih Jogja Hip-hop bertumbuh di Yogyakarta, yang juga kota Iman Budhi Santoso.

Pring reketeg gunung gamping ambrol, uripa sing jejeg nek ra eling jebol. Hidup yang benar, kalau tidak bisa bubrah. Demikian salah satu awalan lirik lagu yang akan membuat pendengar lompat-lompat dan manggut-manggut membenarkan keseluruhan maknanya.

Pekerjaan Gila

Lebih gila lagi adalah menyaksikan tabulasi ini berisi nama-nama desa yang mengandung unsur nama tumbuhan. Misalkan untuk nama tumbuhan seperti alang-alang, Iman Menemukan ada dua nama desa yang mengandung unsur alang-alang (Imperata cylindrica) yaitu Alang Alang Caruban (Jombang) dan Alang-Alang (Bangkalan). Atau untuk pohon asem, Iman menemukan 45 desa yang ada unsur asem (Tamarindus indica). Mulai dari Labah Asem (Banyuwangi) hingga Karangasem (Gunung Kidul).

Menarik adalah bahwa nama pohon terbanyak yang dipergunakan sebagai nama kelurahan ialah pohon jati (Tectona grandis). Terdapat 230 nama kelurahan yang berunsur jati. Apa ini sebuah kebetulan? Tidak.

Sangat mungkin, leluhur kita, orang Jawa telah mafhum betul bahwa pohon jati adalah emas hijau yang sangat berharga. Menjadi jenis kayu bangunan yang paling mahal, yang sudah dimulai pembudidayaannya ketika masa kolonialisme oleh pemerintah maupun rakyat kecil. Maka tidak mengherankan bila orang Jawa sangat memuja kayu jati (hal.169) dan mereka ngalap berkah dengan menamai desanya dengan jati. Terbukti mulai dari Desa Sukojati (Banyuwangi) hingga Jatisrono (Kulonprogo), dua ratus lebih desa dengan nama jati.

Pekerjaan yang dilakukan Iman Budhi Santoso dalam buku ini bisa dikategorikan sebagai kerja ajaib, tak ubahnya Darwin dan Wallace dalam melakukan tabulasi makhluk hidup. Ada 323 nama tumbuhan yang dicatat Iman Budhi Santoso yang dipergunakan untuk nama desa di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Yogyakarta.

Pekerjaan ambisius yang perlu dihadiahi angkatan topi. Karena data hasil temuan dalam buku ini bisa dijadikan rujukan baik untuk kajian ekologi sekaligus anthropologi manusia Jawa. Sebagaimana kegilaan Fernando Báez yang menyusun kliping pembakaran buku dalam Penghancuran Buku Dari Masa ke Masa (Marjin Kiri, 2013), Nina George menulis resep dari buku-buku dalam novel The Little Paris Bookshop (Gramedia, 2017). Iman Budhi Santoso tidak kalah gila. Dan kita membutuhkan banyak bacaan yang ditulis dengan “kegilaan” penuh ambisi seperti ini.

Pungkasan, mari kita renungkan penggalan puisi Iman Budhi Santoso di pengantar. Sesuk ajar dadi tuwuhan, kunir sembukan ngombe tetsing embun saka kringete dhewe-dhewe. Belajarlah jadi tumbuhan. Tumbuhan mengajarkan agar hidup hanya menyerap yang baik, menebar manfaat kepada sekitar, dan berdikari.[]

Teguh Afandi
Latest posts by Teguh Afandi (see all)

Comments

  1. Raudal Reply

    [Raudal Tanjung Banua dalam esai “Pohon dalam Sastra Indonesia” (Kompas, 12 Agustus 2017) menyebut sastra Indonesia terbilang minim menggaet pohon sebagai bahan cerita. Sangat ironis, bila dikaitkan dengan klausa bahwa sastrawan dekat dengan alam, imbuh Raudal. Dan pendapat ini seketika gugur oleh buku ajaib milik Iman Budhi Santosa ini.]

    Sebenarnya pendapatku dalam esei di Kompas itu tidak bisa “seketika gugur” karena konteksnya berbeda. Yg sy bicarakan adalh pohon dlm karya kreatif sastra (cerpen, novel atau puisi), sementara buku yg disusun IBS berbeda genre, sekalipun dia seniman/sastrawan, tp karyanya kali ini mengimplementasikan kerja2 teknis srorang peneliti.

    Jadi, pndapatku ttg pohon dlm sastra indonesia bisa saja dibantah atau digugurkan, tp seyogyanya dg konteks paralelitas. Suwun.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!