Iman bersemayam di dalam hati, semua kita mafhum. Al-imanu hahuna, kata Rasulullah Saw., iman itu ada di sini (sambil menunjuk dadanya).
Mengapa iman tidak berposisi di kepala (akal), bukankah kita mafhum sekali betapa akal sangat menentukan dan memengaruhi perilaku orang (ucapan dan perbuatan)?
Dalam skema relasi hati-akal-perbuatan ala Imam Ghazali, hati dinyatakan merupakan raja, akal adalah panglima, dan perbuatan (termasuk ucapan) adalah prajuritnya. Relasi hierarkis ini mengindikasikan bahwa hal terpokok pada diri kita ialah mendidik, membersihkan, dan menguatkan posisi hati, maka otomatis berikutnya akal akan mendapatkan porsi dan peran yang semestinya, dan kemudian otomatis memancar ke dalam tindakan.
Kini adalah era di mana mayoritas kita membalik hierarki tersebut dengan menepikan hati lantaran ia berskala esoteris, menganggapnya tidak utama, dan mengutamakan akal. Akal lantas disenaraikan sebagai ilmu pengetahuan.
Maka, berlomba-lombalah kita kini mendidik diri dengan bacaan dan diskusi dalam rangka merengkuh sebanyak-banyaknya dan seluas-luasnya ilmu pengetahuan. Kepadanya, kita berharap banyak akan menghantar kita menjadi manusia cerdas, hebat, bermasa depan gemilang, berkedudukan agung, dan sejenisnya. Kepada anak-anak pun, kita memperlakukan metode yang sama. Beri mereka pelbagai materi ajar yang luar biasa bejibun, plus tambahan ekstra dan les-les yang tak berujung. Ekspektasinya sama: menjadi manusia cerdas, hebat, dan bermasa depan gemilang.
Bagaimana peran dan posisi hati dalam skema kontemporer demikian?
Bahwa hati merupakan tempat bersemayamnya ruhani, batiniah, spiritualitas, dan moralitas, kita mengerti. Ketika hati dikerdilkan peran dan posisinya dalam sistem hidup kita, hati bukannya mati sama sekali. Hati tidaklah mungkin mati. Hanya tersingkirkan, terkalahkan, lantas makin lama makin tenggelamlah suara batinnya, suara nuraninya, suara Ilahiahnya, sehingga tak memainkan pengaruh besar (bahkan apa-apa lagi) kepada keseluruhan isi pikiran dan perilaku kita.
Kaum barbar bajingan paling rendahan sekalipun niscaya memiliki suara hati, suara nurani, suara Ilahiah. Ia telah given bersatu-padu semenjak ditiupkannya ruh kita untuk pertama kalinya di alam rahim. Tetapi apakah suara hati yang lamat, samar, dan tenggelam itu didengarkan, apalagi dijadikan pegangan perbuatan?
Ini dampak hebatnya kemudian.
Tak syak lagi betapa berjubelnya orang cerdas, jenius, dan pakar dalam bidangnya tak menyumbangkan kebaikan dan kemajuan apa-apa bagi dunianya, orang-orang di sekitarnya, bahkan anggota keluarganya, lantaran kecerdasan kognisinya tak bersandar sama sekali kepada kesadaran ruhaninya. Hati berbisik bahwa mark up, penyelewengan, penggelapan, kenakalan, dan kegenitan merupakan perbuatan buruk, ia yang hanya lamat dan sekilas karena tak dilazimkan tegak di dalam jiwa tersingkirkan oleh bayang gemilang harta, saldo, aset, hangat tubuh, dan desir seksualitas.
Manipulasi terus terjadi; mark up terus digelembungkan; penipuan terus diaksikan; penggelapan terus dialirkan; persekutuan tubuh yang bukan haknya terus dibenarkan.
Apa kabar ilmu pengetahuan dalam situasi demikian?
Ilmu pengetahuan sebagiannya memang terlihat “bebas nilai” macam paham Frankfurt silam, tetapi secara substansial jelas tak benar-benar bebas nilai. Ilmu sejenis matematika sekalipun yang tak bersinggungan langsung dengan nilai-nilai moralitas, jika digali oleh pemilik hati yang jernih akan mampu mengantarnya menemukan bukti-bukti agung keteraturan semesta, alam raya, dunia ini, hingga denyar kehadiranNya. Lantas, bagaimana bisa ilmu pengetahuan dinyatakan bebas nilai?
Yang bebas nilai bukanlah ilmu pengetahuannya, tetapi manusia yang mempelajari dan mengamalkannya. Jika matematika dipakai untuk meng-kali, membagi, dan menjumlah komisi ilegal dalam suatu proyek, maka matematika hanya berhenti sebagai angka-angka yang menakjubkan dan berlumur syahwat. Matematika yang dipekerjakan sedemikian rupa oleh sosok-sosok yang hatinya sedemikian rupa sudah pasti tak berkaitan sama sekali dengan soal moral, apalagi iman spiritual. Tidak ada.
Agar ilmu pengetahuan yang merupakan ranah kerja akal mengkreasikan kebaikan dan kemajuan bagi kehidupan ini, ia haruslah dikendalikan oleh hati. Hati semestinya ditempatkan dalam posisi puncak dalam sebuah piramida, yang menaungi dan menyinari seluruh hal yang berada di bawahnya kemudian—dari pemikiran hingga perilaku.
Ada dua argumen yang bisa dibabarkan di sini untuk menunjukkan signifikansi hati terhadap kualitas pikiran dan perilaku kita.
Pertama, alam psikologi manusia memberikan pengaruh yang jauh lebih dominan ketimbang alam lahiriah kita.
Jika Anda sedang berbincang dengan seseorang yang tutur bahasanya apik dan ekspresi wajahnya simpatik, niscaya Anda akan betah bersamanya. Alam lahir lawan bicara yang menyenangkan (psikis) mendongkrak rasa nyaman Anda (psikis) untuk terus bersamanya.
Sebaliknya, jika Anda menghadapi orang yang kata-katanya keras, kasar, dan sombong (lahiriah), psikologis Anda menjadi tak nyaman, tak betah, dan malas.
Apa yang Anda rasakan (psikologi) sangatlah dominan memengaruhi laku lahiriah Anda: menemaninya atau meninggalkannya.
Orang berbisnis memang mempresentasikan barang dagangan dan harga (lahiriah). Jika pemilik barang tidak membuat Anda simpatik dalam interaksinya, mungkinkah Anda akan membelinya atau menjadikannya pelanggan? Alam psikologis Anda melampaui jenis dagangan dan harga semenarik apa pun dan sebutuh apa pun Anda.
Jika Anda punya kepentingan kepada sebuah kelompok atau isu, Anda dengan jerih lagi payah berela hati untuk seturut mendengungkannya tanpa lelah, bahkan dengan spirit siap bertikai segala. Apa yang mendorong Anda melakukannya ternyata adalah perkara tendensi psikologis Anda kepada seseorang, kelompok, atau isu itu.
Bukti-bukti empiris akan betapa dominannya kerja alam psikis, ruhani, batiniah ini mustahil ditampik oleh siapa pun.
Kedua, dominasi alam psikis (batin) yang esoteris hanya sejajar frekuensinya dengan dimensi spiritualitas.
Bila Anda berpikir bahwa tak harus spiritualitas, tetapi sebutlah isu-isu kemanusiaan yang universal, penting untuk dinalar sedalam-dalamnya betapa hal-hal yang profan macam isu-isu kemanusiaan itu tak menuntaskan asa dan orientasi terdalam dari eksistensi kehidupan kita.
Apakah Anda bercukup puas dengan bayangan suatu kelak mati untuk sekadar menjadi tanah dan tulang belulang? Tak lebih? Tanpa harapan dan orientasi pada kehidupan berikutnya yang menjadikan Wujud-Anda abadi?
“Lubang hitam” psikologi yang esoteris ini hanyalah mungkin diisi oleh hal-hal yang spiritual, metafisi, ukhrawi. Tidak mungkin selainnya yang terbatas pada sekat materialitas dan kefanaan.
Kita senantiasa mendambakan semesta yang tak terbatas, tak habis, tak hilang, alias abadi. Dan itu hanya ada pada metafisika spiritualitas.
Hati memiliki penampungan yang amat luas tak terbatas untuk mencerap nilai-nilai spiritualitas itu. Semakin ia diluaskan, digelembungkan, dilapangkan, semakin kebaklah ia dengan nilai-nilai sacral-transendental yang melumerinya, niscaya semakin dekatlah ia dengan ketakziman, ketundukan, dan keadaban.
Hati yang tunduk kepadaNya mustahillah untuk pongah, manipulatif, dan destruktif. Sebab hatinya selalu mengawal pikiran dan perilakunya untuk tidak bertabrakan dengan keburukan-keburukan amaliah (bahkan pikiran dan imajinasi) yang dilarang oleh imannya.
Ambil contoh sederhana. Memandangi lawan jenis dengan melanturkan isi pikiran dan imajinasi sensualitas-seksualitas terhadapnya merupakan pintu masuk bagi terjadinya perbuatan syahwati berikutnya. Entah pendekatan, perkenalan, makan malam, jalan-jalan, dan selanjutnya. Akal yang tak bersandarkan hati akan mendorongnya untuk terus berstrategi demi memuaskan tujuannya.
Bagi orang yang hatinya dikebaki iman, hadirnya selintas tubuh nonmahram di depannya takkan diperturutkannya dengan lanturan tatapan atau imajinasi berikutnya. Ia mencukupkan diri pada sepintas yang terjadi begitu saja. Tak lebih. Muskillah baginya untuk lalu terlibat dalam perbuatan lebih jauh dengan lawan jenis itu.
Inilah contoh faktual betapa sangat berjaraknya hasil perbuatan antara orang yang melandaskan pikiran dan amalnya pada hati dengan mereka yang mengabaikannya. Dan ini terjadi pada segala bidang kehidupan kita. Hati adalah sebenar-benarnya sumber bagi pikiran dan perbuatan kita, baik dan buruknya.
Sayang seribu sayang, hari ini posisi dan peran hati semakin disingkirkan oleh embusan dunia yang tergila-gila pada materialitas. Hati menjadi tak begitu lagi lantang, tak begitu lagi kuat didengarkan, disumpal oleh gejolak ambisi, hawa nafsu, dan syahwat yang sudah pasti tak ada ujungnya sampai mati.
Ironi memang: semakin kita mendaku maju dalam hal ilmu pengetahuan, di detik yang sama kita semakin berjarak jauh dengan tahta hati sendiri. Tak usah heran, kita pun dengan sendirinya semakin dekat dengan keburukan dan kekejian.
Indramayu, 23 Desember 2017
- Memahami Peta Syariat, Ushul Fiqh, dan Fiqh Dengan Sederhana - 28 October 2019
- Kembalikan Segala Perbedaan kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya Saw. - 30 September 2019
- Memahami Kompleksitas Maqashid al-Syariah - 16 September 2019