
SETELAH 33 tahun berpisah selepas sekolah lanjutan tingkat atas, kami baru bertemu Jalindul ketika melayat salah seorang teman sekelas yang meninggal dunia. Sudah lima orang teman sekelas yang mendahului menghadap Tuhan.
Tanpa terasa kami sudah berumur, menjadi bapak-bapak dan ibu-ibu. Bahkan ada yang sudah menjadi kakek-nenek. Endah dan Wito, misalnya, sudah bercucu dua. Mereka menikah seusai ujian akhir sekolah, keduanya pelajar teladan dan sama-sama mendapat beasiswa Supersemar. Mungkin dijodohkan oleh Eyang Semar sehingga mereka menikah pada usia muda. Berbeda dengan Jalindul yang menunda-nunda pernikahan hingga kebablasan pada usia lima puluhan belum berumah tangga.
Jalindul merantau ke pulau seberang dan jarang sekali pulang kampung. Kalau pulang juga tidak pernah mengabari teman, makanya kami tak pernah bertemu dia. Dari dulu dia memang suka neko-neko, juga dikenal sebagai siswa yang usil dan urakan. Sering berulah dan bikin masalah, suka berantem dan berbuat aneh-aneh. Pernah dia membuat surat izin tidak masuk sekolah dengan alasan ‘terganggu ingatan’, membuat gempar sekolah. Dia sengaja membuat surat izin tersebut gegara Endah. Suatu hari dia melihat surat izin dari Endah di meja guru yang kalimatnya: tidak bisa masuk sekolah karena terganggu kesehatan. Siswa lain kalau membuat surat izin biasanya memakai kata sakit, bukan terganggu kesehatan. Maka timbul ide Jalindul untuk membuat surat izin dengan memplesetkan kalimat ‘terganggu kesehatan’ menjadi ‘terganggu ingatan’, Pada bagian akhir surat ditulis kata perpisahan “dadaaa, cherio” meniru bahasa Orari yang sedang ngetrend pada masa itu, Namanya juga diberi gelar Prof. Dr. Drs. Ir. Jalindul, SH, MA, BA.
Gegara surat itu sekolah jadi gempar. Wali kelas marah besar. Besoknya Jalindul disidang di depan kelas, tapi dia hanya cengar-cengir, “Memangnya ini sekolahnya mbahmu, seenaknya kamu buat main-main,” hardik wali kelas. Jalindul nyaris dibawa ke BP dan kepala sekolah, namun tak jadi agar tidak berbuntut panjang.
Sejak itu kami jadi punya kesempatan mengejek Jalindul dengan panggilan si gila, alias bocah edan, tapi dia hanya cengar-cengir. Tapi, dasar bocah edan, Jalindul masih juga suka berbuat aneh-aneh yang bikin jengkel. Suatu hari lagi, ketika pelajaran praktik membatik, dia merancang lukisan berupa gambar lingkaran besar dan dimintakan tanda tangan teman sekelas. Setelah lukisan itu digarap hampir rampung, dilihatlah oleh wali kelas. Ketahuan kalau itu gambar tidak senonoh berwarna merah dirimbuni rambut yang semrawut. Wali kelas marah dan menyuruh Jalindul membakar lukisan tersebut. Jalindul menolak dengan alasan itu buah kreativitasnya dan ditandatangani teman sekelas, artinya semua teman setuju dengan lukisan tersebut. Kami murid sekelas ditanya wali kelas, apa benar mendukung pembuatan lukisan jorok tersebut. Kami bilang tidak tahu kalau yang akan dibuat Jalindul itu gambar kelamin perempuan makanya kami tanda tangan di atas mori bakal lukisan batik tersebut. Sebagai teman dekat, sebenarnya saya tahu yang digambar Jalindul itu. Saya bahkan orang pertama yang menandatangani rancangan lukisan tersebut.
Keanehan Jalindul pada masa sekolah akhirnya memang membuahkan hasil. Kelak di kemudian hari dia menjadi seniman. Hanya dia dan Udin yang hingga usia lima puluhan masih melukis, sementara teman-teman lainnya sudah tak ada yang menekuni dunia gambar-menggambar sebagaimana didapat dari pelajaran selama 4 tahun di sekolah kejuruan tersebut. Mungkin karena jadi seniman nyentrik dan ingin hidup bebas, Jalindul belum mau menikah sampai sekarang.
“Belum punya istri bukan berarti tak pernah kepakai, banyak perempuan terutama daun-daun muda termasuk bule-bule dan bulik-bulik yang menggemari saya, tapi kan tidak harus dinikahi,” seloroh Jalindul ketika diejek anunya hanya dipakai kencing.
Jalindul masih seperti dulu, konyol dan jenaka. Wajahnya juga tak berubah, hanya bertambah kumis yang tebal, membuat teman-teman perempuan tak henti-henti menatapnya saat ketemu di layatan tersebut. Sewaktu sekolah dulu, Jalindul tergolong ganteng dan imut, tapi nakal dan pethakilan, suka merayu dengan rayuan gombal yang membikin gemas teman-teman cewek. Pernah dia memeluk hampir mencium cewek teman sekelas di belakang ruang praktik, tapi kepergok guru, dengan cengengesan dia beralasan sedang berlatih drama. “Cuma iseng, Pak, daripada nganggur,” pasalnya.
Entah dapat nomor HP dari siapa Endah bisa menghubungi Jalindul, sudah beberapa kali mereka kontak bertelepon. Makanya ketika ada kabar Zuriyah meninggal dan kebetulan Jalindul lagi di kampung, diajaklah melayat ke rumah duka. “Kamu kan lama tak ketemu teman-teman. Ayo ikut melayat. Kamu ke jalan raya saja, nanti kami samperin, kita bersama-sama numpang mobilnya Udin ke rumah duka,” kata Endah.
Jalindul tak bisa mengelak. “Sebenarnya saya belum ingin bertemu kalian. Tapi karena ada teman yang meninggal, akhirnya ketemu juga,” canda Jalindul saat bertemu teman-teman di rumah duka.
“Ah, kamu masih saja sok berlagak seperti dulu. Bilang saja tak berani ketemu kami karena kamu belum beristri, takut kami ejek.”
“Lho, tak ada hubungannya dengan itu,” Jalindul menyanggah serangan Endah, “tapi mungkin memang sudah suratan takdir kita harus ketemu hari ini.”
“Tapi kamu memang awet muda, bahkan wajah aslimu lebih muda dan lebih ganteng dari fotomu di Facebook,” puji Endah diiyakan teman-teman lainnya yang terus memandangi Jalindul sambil senyum-senyum seperti menemukan makhluk piaraan yang lama hilang.
“Wajar saja dia tampak lebih muda dari kita. Lha masih ting-ting kok. Seumur-umur anunya hanya dipakai untuk kencing, sama dengan cucu saya,” timpal Wito membuat semua ngakak.
“Bukan karena tak pernah kepakai, tapi saya memang selalu tokcer dari dulu, tetap ranum dan imut-imut,” Jalindul tak mau kalah.
Mereka bercanda di halaman rumah duka karena lagi sepi, hanya ada ibu-ibu usai mengaji di dalam rumah duka. Jenazah sudah dibawa ke pemakaman. Kami telat datang dan tidak menyusul ke pemakaman karena menunggu teman lainnya yang hendak menyusul melayat ke rumah duka.
Kesempatan itu dimanfaatkan Jalindul untuk mencandai teman-teman cewek yang sudah pada berumur. Nurul jadi sasaran. “Makan apa kamu, Rul, kok badanmu begini gemuk?” candanya sambil mencubit tubuh Nurul. Nurul hanya senyum-senyum.
“Weleh, kesempatan megang-megang Nurul. Bilang saja kamu masih naksir dia,” lagi-lagi Endah menyerang.
“Ah, enggaklah, ntar didor suaminya. Kamu masih bersuamikan polisi kan, Rul?”
“Masihlah, memang mau kawin dengan siapa lagi? Kamu saja yang nggak kawin-kawin, nunggu apa?”
“Nunggu kamu janda, Rul,” usil Endah.
“Hih, enggaklah. Gini-gini saya banyak punya simpanan daun muda. Tinggal pilih mana yang mau dipakai.”
“Ini orang tak berubah, masih suka membual,” sahut Muswati yang sudah jadi Bu Hajah. “Semua masih ingat kan, dia dulu nakalnya minta ampun. Tapi sekarang wajahnya tampak agak kalem dan tenang.”
Jalindul jadi teringat dulu pernah melempar muka Muswati dengan penghapus papan tulis hingga Muswati menangis, tapi Jalindul hanya cengar-cengir. Sebenarnya Jalindul tak sengaja melakukannya. Dia hendak melempar Edi Temporat yang mencoret wajahnya dengan kapur. Jalindul mau membalas, tapi Edi lari, maka dikejar sampai di luar kelas dan dilempar penghapus papan tulis itu. Edi menghindar dan penghapus mengenai muka Muswati yang sedang duduk di teras kelas. Jalindul tak meminta maaf dan tak menjelaskan kejadian yang sesungguhnya, sehingga Muswati menganggap itu sengaja dilakukan. Maka, entah berapa tahun silam, ketika Jalindul berkunjung ke rumah Muswati saat lebaran bersama Udin, Martono (almarhum) dan Giyono, baru sampai di teras rumah sudah disambut Muswati dengan sapaan, “Eh, kamu Jalindul ya? Masih hidup kamu? Ya Allah, Ya Robbi, kamu dulu nakalnya minta ampun. Lebih nakal dari setan, tahu? Nggak nyangka kamu ke sini. Gimana kabarmu, di mana sekarang, sudah punya anak berapa?”
Sekarang Muswati yang berkunjung ke rumah Jalindul, mampir bersama-sama teman lainnya seusai melayat almarhumah Zuriyah. Kebetulan rumah Jalindul hanya berjarak sekitar tiga kilometer dari rumah Zuriyah. Muswati ingat, sewaktu sekolah dulu pernah main ke rumah Jalindul ini. Keadaannya tetap seperti dulu, kampung yang masih alami, banyak pepohonan seperti hutan. Beberapa teman yang lain juga pernah main ke sini. Anak-anak sekolah zaman dulu memang akrab dan guyub-rukun, sering saling mengunjungi rumah temannya, bahkan kadang menginap. Teman yang nakal dan bandel seperti Jalindul pun tetap dikunjungi. Tak ada permusuhan dan dendam. Kalaupun ada salah dan nakal itu menjadi bagian dari romantika masa remaja yang kelak kemudian jadi kenangan, seperti yang kami alami sekarang.
Lumayan lama kami di rumah Jalindul. Ngobrol dengan keluarganya, ibu-adik-kakak-keponakan Jalindul, hingga bisa mengorek dan menanyakan ke ibu Jalindul kenapa Jalindul belum menikah. Apakah frustrasi, atau dilarang menikah? Ibunya tak bisa menjawab. Teman-teman tanya kenapa tidak dicarikan jodoh? Ibu Jalindul bilang tak mau memaksa anak. Ibu hanya berharap dan mendoakan mudah-mudahan segera dapat jodoh. Sebab adik-adik Jalindul sudah pada menikah dan punya anak.
“Mungkin itu hukuman untukmu, Ndul. Dulu kamu bandel, nakal, suka menggombal dan mengecewakan cewek. Beginilah jadinya. Bertaubatlah agar dapat jodoh,” canda Purwati.
“Serius ini, segeralah cari istri. Kasihan kamu nanti kalau sudah tua tak ada yang mengurus,” saran Zulaikhah.
“Cepat menikah, nanti kami ramai-ramai datang ke sini, sekalian reuni,” sambung Endah.
Lalu Wito menimpali, “50 tahun hanya dipakai kencing. Dosa besar kamu menyia-nyiakan anugerah Allah. Kalau cucu saya anunya hanya dipakai kencing ya wajar karena masih balita. Tapi kamu ini sudah gaek, tahu?” candanya.
“Bukan umat Rasulullah kalau tidak mau menikah,” kata Rohmat yang waktu sekolah dulu dipanggil ustaz.
“Ya, ya, amin, amiin ya robbal ‘alamiiin, doakan tak lama lagi kalian akan melihat istri saya,” jawab Jalindul.
Namun hingga tiga tahun kemudian, Jalindul masih juga membujang. Sempat juga dia pergi ke tabib, lalu diterapi dengan disuruh gundul kepalanya mencukur cukur dan jenggot untuk membuang sengoro. Kata tabib, gegara rambut gondrong dan kumis tebal Jalindul susah dapat jodoh. Dia juga dibekali bunga mawar yang telah didoai dengan ritual pada tengah malam oleh si tabib untuk selanjutnya diamalkan sendiri oleh Jalindul selama sekian hari untuk bekal mencari jodoh. “Kalau sampai tiga bulan ke depan Mas Jalindul tak dapat jodoh, berarti saya gagal sebagai tabib,” tutur tabib tersebut.
Bukan hanya tiga bulan, bahkan sampai tiga tahun setelah diterapi tabib tersebut Jalindul belum juga mendapat jodoh. Dia mesam-mesem geli sendiri kalua teringat kekonyolannya mencari jodoh lewat tabib. Beberapa tahun sebelumnya dia juga pernah diantar temannya ke seorang kiai muda untuk dicarikan jodoh, si kiai kemudian mengutus istrinya bersama teman dan rombongan lainnya untuk mengantar Jalindul ke seorang perempuan berumur yang belum mendapat jodoh. Katanya perempuan tersebut masih keturunan seorang kiai berpengaruh. Tapi Jalindul kurang sreg hingga pulang dengan tangan kosong.
Entah tabibnya kurang mujarab atau dirinya yang sial, yang jelas Jalindul belum juga mendapatkan jodoh. Dia cuek saja, tidak memikirkan apakah si tabib atau dirinya yang gagal. “Anda belum beruntung, silakan mencari tabib atau dukun yang lain,” canda Jalindul pada dirinya sendiri.
Lalu dijawab sendiri, “Anda tidak gagal sebagai tabib, lelaki bodoh itulah yang gagal mencari jodoh. Teruskanlah jadi tabib, lupakan perkataanmu tempo hari yang bilang gagal jadi tabib jika tak berhasil mencarikan jodoh untuknya. Jangan hiraukan dia, tetaplah jadi tabib karena banyak pasien yang membutuhkan Anda!” Beberapa bulan kemudian Jalindul ditelepon Endah lagi, mengabarkan bahwa Rohmat, teman sekelas yang tempo hari ikut mampir ke rumah Jalindul seusai melayat almarhumah Zuriyah, meninggal dunia. Setelah itu, Hj. Muswati juga meninggal. Jalindul tak bisa ikut melayat karena berada di perantauan. Andai dia ada di kampung dan ikut melayat pastilah dijadikan objek candaan teman-teman lagi, sebab sehabis melayat biasanya kami mampir ke rumah teman lainnya yang dekat dengan rumah duka untuk melanjutkan temu kangen sambil bercanda ria. Jadi Jalindul aman dan selamat dari ejekan-candaan-gojlogan teman-teman lagi karena takut menikah.*
- Jalindul - 28 October 2022
- Lelaki dan Kucing Betina - 3 June 2022
- Penjaja Cinta - 4 February 2022
Umu Puspita
Ceritanya menarik, tidak bosan untuk dibaca sampai habis.