Lelaki dan Kucing Betina

AKU benar-benar sakit hati pada lelaki berkumis itu. Gara-gara dia, aku gagal menggaet betina idamanku. Dia selalu menghalangi setiap aku hendak bertemu piaraannya yang diawasi sepanjang waktu. Tapi aku tak akan menyerah, si cantik-molek-ayu itu harus aku dapatkan dengan cara apa pun.

Sudah lama aku menaruh hati pada betina ayu itu, tapi hingga kini belum berhasil mendapatkannya, sebab kami tak diberi kesempatan bertemu dan bercakap-cakap. Saat mendengar aku bersenandung di belakang rumahnya, lelaki bertubuh kecil-dekil-kurus-kerempeng itu langsung keluar dan menimpukku dengan batu dari teras rumahnya. Dia tahu siasatku memanggil kucing betina piaraannya itu.

Baru kali ini ada orang yang tak suka kucingnya kencan dengan sesama kucing. Jangan-jangan betina yang kutaksir itu hendak dikawininya. Meong belia itu memang cantik dan menggemaskan, juga jinak dan penurut. Ah, pasti lelaki itu tak normal. Memang aku pernah mendengar manusia ‘berhubungan’ dengan binatang. Boleh jadi lelaki berkumis itu termasuk orang yang menyukai binatang. Dia terlalu menyayangi kucing piaraannya, dia rawat penuh kasih, diberi nama Cok (Coklat) karena bulunya berwarna kecokelatan. Matanya bening bundar berbinar-binar. Suaranya renyah agak serak-serak basah. Kucing jantan mana pun pasti kesengsem jika melihatnya. Andai Anda kucing jantan, pasti terpikat dan berusaha mendapatkannya.

Aku bersumpah untuk mendapatkannya. Sepertinya dia juga suka padaku. Tempo hari, saat kami berpapasan di samping rumahnya, kami saling sapa dan sempat bercakap sejenak. Aku rayu dia. Mula-mula kupuji dia cantik, dia senang, lalu aku ‘tembak’, wajahnya merah padam, tersipu, malu-malu kucing. Dia bilang, “Maaf ya, aku masih belia, masih di bawah umur, belum boleh gitu-gituan,” katanya.

Biasalah, betina selalu punya alasan, pura-pura ogah padahal mau. Aku rayu dia lagi, tapi dia bilang, “Sudah ya, aku masuk dulu, nggak enak sama tuanku yang ganteng dan kumisnya keren itu. Dia bilang aku belum boleh pacaran, kelak saja kalau sudah dewasa baru boleh kawin. Katanya, aku masih kecil, masih bau kencur.”

Dasar manusia bodoh, masak kucing dibilang bau kencur, memangnya kucing makan kencur? Aku bilang, “Jangan pedulikan tuanmu yang tolol itu. Apa hak dia mencampuri urusan kucing? Dia sudah melampaui batas, menyalahi kodrat. Manusia kok mengatur dan melarang kucing pacaran.”

Tapi Cok bilang tuannya itu benar. “Umurku belum genap satu tahun. Kalau aku kawin lalu bunting dan punya anak, tuanku juga yang repot. Kita juga harus beri contoh manusia agar jangan kawin di bawah umur atau melakukan seks bebas yang akhirnya ada yang jadi korban, ada janin yang digugurkan atau orok dibuang sembarangan,” katanya.

“Astaghfirullah, rupanya kamu sudah dicekoki pikiran manusia yang sok moralis itu? Ingat, Cok, kita ini kucing, tak mungkin menjalani hidup seperti manusia.”

Belum selesai aku bicara, tiba-tiba tuannya Cok itu keluar, mungkin mendengar percakapan kamil, dia mengusirku sambil melempar batu tepat mengenai lambungku. Aku terperanjat dan lari tunggang-langgang sambil menahan sakit. Sialan. Benar-benar biadab lelaki itu. Aku sumpahi dia jadi tikus, atau mendapat hukuman setimpal karena menzalimi kucing, hewan kesayangan Kanjeng Nabi.

Dari kejauhan kulihat lelaki itu meraih Cok di atas tembok pagar, lalu menggendongnya dibawa masuk ke rumah. Terlihat sangat romantis. “Kamu diganggu pejantan jelek itu ya? Dasar play boy murahan. Dia itu sudah tua bangka, jangan mau dirayu. Sudah banyak betina yang dibuntinginya lalu ditinggal begitu saja tanpa tanggung jawab. Banyak betina belia yang dikibulinya, pura-pura diajari membaca puisi, eh maksudku diajari mengeong yang bagus, tak tahunya malah disetubuhi. Kamu masih kecil, besok saja kalau sudah gede kucarikan pejantan lain yang ganteng, bulunya hitam atau putih mulus atau kembang terong, itu baru kucing bagus yang pantas jadi pasanganmu sebab kamu cantik,” lelaki itu menghibur Cok.

Sakit hati aku mendengarnya. Dia sudah salah kaprah dan rasis, melecehkan kucing abu-abu. Dikira kucing hitam, putih, dan kembang terong lebih mulia? Kalau saja aku bisa menjelma macan, sudah kuterkam lelaki itu. Aku menduga ada hubungan yang tidak wajar antara dia dengan Cok. Aku sering melihat bujang lapuk itu duduk di teras rumahnya sambil memangku Cok sangat romantis. Dibelai-belai di pangkuannya, dan Cok begitu manja duduk sambil menyandarkan dadanya di pangkuan lelaki itu. Matanya merem-melek. Napasnya terdengar romantis. Aku mengintip dari semak-semak dengan perasaan cemburu, serasa tersayat hati ini.

“Lihat, Cok, itu ibumu sedang termenung di bulan. Dia sedih karena dikhianati pejantan. Pejantan play boy yang punya banyak betina selingkuhan. Makanya kamu harus hati-hati terhadap pejantan agar tak mengalami nasib seperti ibumu,” ujar lelaki itu sambil mengangkat Cok menghadapkan wajahnya ke langit, ke bulan purnama.

“Tak usah dipikirkan, Cok. Biarkan ibumu hidup sendirian di bulan sana. Itu hukuman untuknya karena meninggalkanmu saat masih kecil gara-gara terpikat pejantan. Dia mencari pejantan yang mengaku punya istana di bulan. Setelah ibumu terbang ke bulan, ternyata di sana tak ada apa-apa. Jangankan istana, kehidupan pun tak ada, tak ada tikus, tak ada ikan, tak ada burung yang bisa diterkam untuk dimakan, bahkan cecak pun tak ada. Dan pejantan si mulut manis yang dicarinya juga tak terlihat di sana. Ibumu frustrasi, tak bisa balik ke bumi karena sayapnya hilang. Dia juga malu jika kembali ke bumi, takut dibilang balik kucing.”

Rupanya lelaki itu sudah sinting. Pengkhayal. Pembual. Cok dikibuli. “Mestinya ibumu tak boleh begitu. Dia harus menyusui dan merawatmu sampai cukup umur, sampai kau bisa mencari makan sendiri, barulah ditinggal pergi mencari pejantan atau kawin lagi. Tapi mungkin sudah suratan hidupmu ditinggal pergi ibu. Untung waktu itu aku menemukanmu. Kamu meong-meong masuk teras rumah ini saat hujan deras. Kalau tidak kupungut, mungkin kamu sudah mati kedinginan lalu dimakan semut seperti orok hasil hubungan gelap yang dibuang orang tuanya yang diberitakan koran tempo hari.”

Aku jadi terharu mendengarnya. Aku teringat, beberapa bulan lalu salah seekor betinaku melahirkan di teras belakang rumah orang, lalu anak kucing itu dibuang pemilik rumah hingga induknya kebingungan. Jangan-jangan anak kucing itu adalah Cok. Tapi rasanya Cok bukanlah anak hasil hubunganku dengan betina itu, karena aku abu-abu, sedangkan Cok berbulu kecokelatan.

Lelaki itu sengaja bercerita untuk mengingatkan jasanya pada Cok yang telah dia pelihara agar merasa berutang budi. Dia takut ditinggalkan Cok, sebab Cok satu-satunya teman yang dijadikan hiburan. Tak ada orang lain di rumah sunyi di tepi kali tersebut setelah Pak Tua yang selalu bertopi temannya dulu pindah ke rumah lain dan hanya sesekali sambang ke sini. Dulu rumah ini sangat ramai, banyak anak-anak muda yang katanya seniman pada datang siang malam, sering begadang sampai pagi, Tetapi sekarang hanya tinggal lelaki itu dan Cok.

Dan, seperti yang kubilang tadi, dia menyukai Cok. Aku tidak asal tuduh. Aku pernah mendengar Cok merintih-rintih sedikit agak memberontak seperti sedang diperkosa. Aku semakin curiga ada hubungan istimewa antara lelaki itu dengan Cok. Aku diam-diam mengintip, aku naik tembok pagar belakang rumahnya. Astaga, tak salah dugaanku, Cok dipegang lelaki brengsek itu, disiram air bergayung-gayung di sumur belakang rumahnya. Cok kedinginan. Ah, pasti mereka habis melakukan hubungan intim, lalu Cok dimandikan. Mandi besar. Mandi jinabat, seperti manusia sehabis menunaikan hajat dengan pasangannya. Benar-benar sinting lelaki itu. Kucing diperlakukan seperti manusia. 

Sehabis dimandikan dengan disabun dan disampo, Cok dilap pakai handuk, lalu diajak berjemur. Aku melihatnya dengan perasaan cemburu, lelaki itu melihat dan mengusirku. Aku segera meloncat dari atas tembok pagar menuju kebun di belakang rumah itu.

Malam harinya aku mendengar lelaki dan kucing betina itu bergumul di ruang tengah. “Nah, sekarang kamu sudah bersih dan cantik, Cok. Bulumu wangi, tak rontok lagi kalau habis disampo. Kalau begini kan asyik, kita bisa bermain lagi, tang-tingtung-ting-tang-tingtung,” terdengar lelaki itu mengudang Cok.

Aku bayangkan lelaki itu memeluk Cok dan menciumnya, kemudian … Oh, dengar katanya tadi: kitab bisa ‘bermain lagi’. Aku tak bisa membayangkan bagaimana cara mereka ‘bermain’. Ah, kalau dibayangkan malah bikin sakit hati. Semoga lelaki itu terkutuk karena menyalahi kodrat, ‘bermain’ dengan kucing betina. Kalau dia terkutuk lalu berubah jadi kucing maka kebetulan sekali, akan kutantang dia berkelahi untuk menentukan siapa yang lebih jantan dan perkasa yang berhak mendapatkan Cok.

Aku benar-benar frustrasi dibuatnya. Sebab, sehabis mandi seperti itu, pasti Cok tak dibiarkan keluar, dia dimanjakan dan dikeloni, tidur bersama lelaki itu. Sepanjang malam aku tak punya kesempatan bertemu Cok. Padahal malam ini sangat indah, malam keramat, cocok buat kucing untuk bercinta dan melakukan perkawinan. Gagallah rencanaku. Padahal aku sudah merancangnya berhari-hari dan menyiapkan jurus andalan untuk menaklukkan Cok. Gara-gara lelaki sialan itu rencanaku jadi berantakan.

Tapi aku tak boleh menyerah. Masih banyak kesempatan. Apalagi lelaki itu sering bepergian di malam hari untuk urusan seni, pasti banyak perempuan cantik juga yang membuat dia terlena hingga terlambat pulang, kadang sampai pagi baru datang lalu tidur seharian. Saat itulah aku akan beraksi untuk menggaet Cok. Masak kucing garong yang sudah malang melintang di dunia malam kalah bersaing dengan manusia untuk mendapatkan betina?

Ya, aku harus merebut Cok dari lelaki kecil-dekil berkumis nanggung itu, karena kumisku lebih keren darinya. Kumis kucing lebih terkenal dibanding kumis manusia, makanya ada tanaman obat diberi nama kumis kucing. Tak ada kucing yang mencukur kumisnya seperti orang, karena kumis kucing indah dan menarik.

Awas kau lelaki tak tahu diri, pada saatnya nanti aku akan mengalahkanmu berebut betina ayu itu. Aku harus mendapat apa yang ingin kudapat. Dan kau, Cok, bersabarlah, tunggu di beranda kalbu. Pada saat yang tepat nanti aku akan mengawinimu. Kita akan berumah cinta dengan bahagia, hingga melahirkan keturunan yang baik untuk melestarikan kucing di muka bumi, agar para tikus tak terlalu berkembang biak, berkeliaran dan bertindak sesuka-suka merusak dan memangsa apa saja, seperti ‘tikus-tikus’ bangsa di negeri ini yang suka memangsa harta warga dan merugikan negara.*

Nuryana Asmaudi SA
Latest posts by Nuryana Asmaudi SA (see all)

Comments

  1. Qorry Oktaviani Reply

    hallo, aku pembaca baru, tulisannya keren

    • Admin Reply

      terima kasih, kak 🙂

    • Ary Reply

      Mantap. Proud of you, Nuryana Asmaudi 👍
      Apakah saya bisa berkomunikasi langsung dengan penulis nya?

  2. Emilda Reply

    ceritanya menarik, mengalir dan tidak biasa

  3. Syitaa Sisil Reply

    saya berdecak kagum ke prestasi2 yang didapat. juga dengan usia yang tak muda, tapi semangat tetap muda

  4. Siska H Reply

    Enak banget ngikutin alurnya. Ringan juga menarik! Ga nyesel kalo semisal karya yang kukirim kemarin ga kepilih kalo ini yang naik ☺️ Semangat terus pak, semoga karya saya pun bisa terus meningkat sebagus karya karya bapak ☺️

  5. Rangga Aris P Reply

    Luar biasa, ilmu parenting dan humaniora bisa ditulis dengan gaya begitu.

  6. Kucing Cok Reply

    Dengan entengnya hati ini selalu mendendang gema misuh sebab membaca tulisan bapak. Cok, eih maksudnya si kucing cokelat 🤗🤗🤗

  7. Zuli Anjar wati Reply

    Jadi kepingin ikut kirim puisi deh

  8. javit Reply

    kerennnnnnnnnnnn. ketawa aing jadinya. terima kasih atas mahakarya ini, pak

  9. Pid Reply

    Mantap karyanya, unik juga sarat makna. Kereeeen…

  10. Dyah Kurniawati Reply

    Ngakak wkwkk…ceritanya bagus mengalir ringan tapi penuh makna. Semangat berkarya…

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!