Syaikh Abu Ja’far al-Mishri

Beliau adalah Abu Ja’far Mu’adz al-Mishri. Guru rohani bagi Syaikh Abu al-Husin as-Sairawani al-Kahin. Saya tidak mendapatkan data yang menuturkan waktu kelahiran dan wafatnya. Pun, saya tidak menemukan keterangan yang menyebutkan tempat lahir dan wafatnya.

Beliau memasuki dunia kesufian lewat dua orang guru sufi yang “diutus” oleh suratan takdir dari Allah Ta’ala untuk menjadi tali penyambung dengan hadiratNya. Di sini, apa yang disebut sebagai wasilah atau perantara merupakan sesuatu yang dipilih langsung oleh Rabbul’alamin dengan kehendakNya untuk dijadikan titian oleh sang sufi.

Dalam posisi seperti itu, sang sufi atau siapa pun di antara kita yang mengalami hal serupa, memiliki dua tugas spiritual yang mesti senantiasa direalisasikan. Pertama, tentu saja harus eksis bersyukur kepada Allah Ta’ala yang dengan kemurahan dan kasih sayangNya telah membentangkan jalan, memberikan kekuatan dan rasa tertarik kepada hadiratNya.

Kedua, mesti berterima kasih kepada sang guru rohani yang telah dipilih oleh Allah Ta’ala untuk mentransformasikan adanya kekuatan petunjuk kepada beliau. Dalam konteks ini jelas bahwa sang guru rohani itu tidak lain merupakan “perpanjangan” tangan kemurahan hadiratNya.

Ceritanya begini. Pada suatu hari, Syaikh Abu Ja’far al-Mishri berjumpa dengan Syaikh Abu Ja’far al-Haddad dan Syaikh Ibn al-Barqi. Keduanya berada di Mesir. Sang sufi mengajukan pertanyaan kepada keduanya: “Tasawuf itu apa?” Keduanya memberikan jawaban yang sama yang sangat membekas secara spiritual di kedalaman batin sang sufi.

“Tasawuf adalah jejak Allah Ta’ala di atas bumi. Sesekali Dia membuatnya tampak. Dan sesekali Dia membuatnya tersembunyi,” ungkap keduanya dengan jawaban yang persis sama. Sungguh kalimat jawaban itu mengandung makna yang sangat mendalam.

Syaikh Abu Isma’il ‘Abdullah al-Anshari al-Harawi yang masyhur dengan sebutan Syaikh al-Islam memberikan komentar yang sangat menarik tentang kalimat jawaban di atas. “Andaikan Allah Ta’ala memberikan umur seribu tahun kepada seseorang,” ungkap Syaikh al-Islam, “dia tidak akan mendengarkan ungkapan yang lebih indah ketimbang kalimat di atas.

Karena Allah Ta’ala menampakkan berbagai ciptaanNya di langit dan di bumi. Dan Dia tidak menampakkan ciptaan pada seseorang sebagaimana Dia menampakkannya pada para pecinta. Pencarian, perjalanan dan ziarah dilakukan semata karena hadiratNya. Maka merupakan suatu keharusan bagi seseorang yang mengenakan baju kesufian untuk mengganti malam dengan siang agar mengenal penglihatan Allah Ta’ala. Dengan penglihatanNya seseorang akan memiliki roh yang aktif. Dan dengan penglihatan para kekasihNya, roh seseorang akan menjadi roh bagi segala roh.”

Jawaban kedua guru rohani dengan kalimat yang sama di atas itu memastikan bahwa apa yang disebut sebagai tasawuf sama sekali bukanlah merupakan himpunan kalimat yang menuturkan berbagai kesucian jiwa-jiwa. Tapi mutlak merupakan jejak-jejak dari hadiratNya sendiri yang senantiasa dipungut oleh mereka yang selalu berdegup karena cinta ilahiat.

Jejak-jejak Ilahi tidak lain adalah realisasi nama, perbuatan dan sifat Allah Ta’ala. Ketika hati merasakan adanya ketersambungan dengan salah satu atribut dari tiga dimensi keilahian di atas, itulah yang disebut memungut jejak-jejak hadiratNya. Dan secara substansial, seluruh isi alam raya ini tak lain merupakan jejak-jejakNya. Wallahu a’lamu bish-shawab.

Kuswaidi Syafiie
Latest posts by Kuswaidi Syafiie (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!