
Nama beliau adalah sebagaimana judul di atas. Seorang sufi kelahiran Mesir. Tinggal dan wafat di sana. Berguru secara rohani, di antaranya, kepada Syaikh Ibn ‘Atha’. Bersahabat dan selalu bersama dengan Syaikh Abu Turab an-Nakhsyabi. Beliau merupakan seorang sufi yang hidup sebelum tahun seribu Masehi.
Syaikh Abu Isma’il ‘Abdullah al-Anshari al-Harawi menuturkan sebuah kisah tentang beliau sebagaimana berikut ini. “Selama tujuh belas tahun sebagai seorang sufi yang juga berprofesi sebagai pandai besi, Syaikh Abu Ja’far al-Haddad senantiasa sibuk dengan hal-ihwal yang menyangkut perbesian.
Penghasilannya setiap hari sebanyak satu dinar sepuluh dirham. Semua itu disedekahkan kepada para fakir-miskin. Sepeser pun beliau tidak mengambil jatah dari hasil pekerjaannya itu. Sementara untuk menopang keberlangsungan hidupnya sendiri, setiap malam beliau berkeliling dari pintu ke pintu, meminta sedekah kepada orang-orang yang berkecukupan.
Dan di ujung malam, di bagian terakhir dari aktivitasnya yang dilakukan secara rutin itu, beliau selalu memasuki sebuah masjid. Bukan untuk tidur dan istirahat karena capek, tapi mutlak untuk mempersembahkan hidup dan matinya kepada Allah Ta’ala melalui perantara shalat dan ibadah yang lain dengan segenap kekhusyukan dan kenikmatan spiritual.”
Ada dua kenikmatan spiritual sekaligus yang senantiasa ditekuni oleh beliau. Yang pertama adalah kenikmatan berjumpa dengan hadiratNya melalui adanya keberpihakan secara konkret terhadap orang-orang yang papa dari kalangan para fakir-miskin, dari kalangan mereka yang serba kekurangan secara materi.
Yang kedua adalah kenikmatan berjumpa dengan Allah Ta’ala lewat adanya berbagai ibadah mahdhah atau sembah sujud secara langsung kepada hadiratNya. Di saat itu, Tuhan Yang Mahadekat betul-betul bisa dirasakan. Keberlangsungan sembah sujud kepadaNya sungguh tidak berjarak.
Kenikmatan spiritual yang pertama di atas tidak lain merupakan buah konkret dari adanya kenikmatan spiritual yang kedua. Hubungan rohani yang indah dan bermutu dengan Allah Ta’ala secara “kausalitas” akan melahirkan luapan kasih sayang yang tidak terhingga bukan saja terhadap sesama manusia, tapi bahkan kepada segenap makhluk.
Begitu sempurna sang sufi “menuntaskan” dirinya. Sehingga tidak ada peluang sedikit pun untuk memberikan “makan” kepada nafsu amarahnya. Seolah kehidupan beliau benar-benar terbelah menjadi dua. Yang separuh untuk sesama, utamanya mereka yang berada di bawah garis kemiskinan. Sedangkan yang separuhnya lagi untuk Tuhannya.
Akan tetapi sesungguhnya sangat jelas bagi siapa pun yang telah dianugerahi makrifat bahwa dua dimensi keberpihakan itu tidak lain tertuju kepada hadiratNya semata. Karena berpihak kepada mereka yang lemah secara ekonomi sebenarnya merupakan realisasi dari pelaksanaan salah satu perintah Tuhan semesta alam.
Dan semua itu dilakukan dengan penuh ketulusan dan kesungguhan oleh sang sufi tak lain demi untuk menuntaskan kebahagiaan yang paling puncak bagi dirinya sendiri. Kenapa demikian? Jelas bahwa Allah Ta’ala tidak membutuhkan apa pun dari sembah sujud para hamba. Ganjaran dari seluruh sembah sujud itu akan mutlak akan diterima dan dinikmati oleh mereka sendiri. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Hamzah al-‘Uqaily - 7 February 2025
- Syaikh Amirjah Bayya’ al-Fikhar - 31 January 2025
- Syaikh Abu al-Muzhaffar at-Tirmidzi - 24 January 2025