Puisi-Puisi Alfian Dippahatang

n

 

Hantu

Hantu duduk di kepalaku. Katanya, sebelum terlambat,

aku perlu diselamatkan. Rambutku menangis

jika dipangkas sampai tiga senti.

Aku dicap berhala pada kebebasan.

Itu sebabnya, aku sulit untuk bahagia.

Air mataku meminta matahari paling terik mendengar

tuduhan gila itu. Namun, Rabu sekarang, hujan tak mau

meninggalkan Bumi. Kompleks ini terlanjur jatuh cinta

pada luapan air dan doa para bocah yang ingin telanjang.

Lemari legah. Jaket hitam paling kusuka, akhirnya memeluk

tubuhku. Aku menunggumu pulang. Kau bukan

hantu yang bersemayam di rumah kita.

Bulukumba, 2021

 

 

Pesantren

Aku sengaja tak berterima kasih pada tubuh.

Itu jelas fitnah. Kuda betina sedang senang berlari-

lari dalam dadaku. Aku tak bisa menghalang,

mengusir, bahkan mengurungnya.

Guru BK-ku di SMA sadar, mengerti, dan

menerima tapi enggan menginterogasi

karena tak ingin aku membara.

Kerja guru seharusnya begitu. Bukan hanya

menulis di papan dan menerangkan materi.

Rumah adalah sekolah pertamaku gagal.

Di hadapan para tetangga, ayah malah menyesal

tak memasukkanku ke pesantren.

Barru, 2022

 

 

Menjamur

Dianggap jamur buruk tumbuh di batang busuk,

kau masih saja memiliki kalimat atas hak-

hak hidup kita. Orang-orang selalu pandai berkhotbah

untuk diri yang lain. Pribadi ini menjamur. Menjilat dan

melumat tubuh. Di mana letak kebaikan dan

keadilan di Bumi? Kau taruh telunjuk kananmu

rapat di dadaku. Yang jelas dipertanyakan dan

terus digugat. Kita tahu sedang bersengketa.

Berwujud dan tak berwujud sama-

sama mengerikan. Hati harus jadi akar.

Kendati di luar rusuh dan membuat leher berkalung batu,

kau tak habis akal membuat suasana seperti kembang.

Bulukumba, 2021

 

 

Kalian

Kalian sengaja meledakkanku.

Aku tak butuh diselamatkan.

Tak ada yang cacat dan

hilang dari diriku.

Andai kalian mau keringatan

mencari tahu dan

mau ngos-ngosan untuk mengerti,

ada rumah privasi yang tak boleh

seenak hati kalian masuki tanpa tahu

itu akan membangunkan puluhan ular

yang tidur di balik batu. Ular-

ular itu meski tak sedang

lapar akan datang membantuku

meracuni dan merobek-

robek kulit kalian

yang sengaja memilih kata-

kata suci yang konotatif.

Membuat pilu.

Menganiaya aktivitas dan

kediamanku.

Bulukumba, 2021

 

 

Lampau

Jika ada yang wajib kuingat di masa kecilku,

bambu kering. Itu kenangan yang mendebarkan

sekaligus melegakan kala kupakai menghantam

betis Supriadi. Ia langsung roboh mengerang.

Menangis. “Itu belum pedih dibanding kata-

katamu. Setan!”

Musri tersenyum, kemudian berkata,

“Ia banci sampai mati karena amukmu!”

Bulukumba, 2021

 

 

Rohani

Tiada tombak dan pedang.

Senapan dan pistol apalagi.

Rohaniku bahagia menang perang.

Kesuksesan ini berkat Musri.

Dengan cergas ia memanggil

dua juru selamat memetakan gelanggang

yang dari mereka ketenangan adalah pintu.

Bulukumba, 2021

 

 

Tak Diduga Lagi,

mereka memandang kami cacing. Umpan untuk ikan-

ikan. Kami harus tangkas. Mata kami penuntun untuk

menghindar dan rawan untuk dikecoh. Keangkuhan akan

punah. Huru-hara ini cuma fana. Yakinlah! Yakinlah!

mereka memandang kami kayu rapuh. Tempat bagi banyak

lebah kayu membikin galian. Menyakiti atas nama kebaikan.

Bilang mewakili padahal hanya segolongan. Sedih percuma.

Berteriak percuma. Berseberangan dipandang penghalang.

Lubangi saja kami berkali-kali!

Bulukumba, 2021

 

 

Makin Gelap

Bersih itu saat pikiran tak menuntut

sama warna, satu bendera, dan

sepergerakan. Kita pantang diubah

oleh siapa pun. Ini pemberian, tetes-

tetes yang cukup.

Tiap kata tiap suara punya nyala.

Silang pandang seperti krik jangkrik.

Timbul lenyap suatu renungan.

Penerimaan bukan pemakluman

atas segala.

Keputusan tak dikawal siapa-

siapa. Aturan jadi lapis legit.

Ditekan kembali ke dapur yang sama.

Kesedihan terasa makin gelap

ke dalam.

Bulukumba, 2021

 

 

Lorong

Kau menganggapku lorong, tujuan atas tujuan

yang membuatmu bangga berjalan dalam kemerdekaan.

Sungguh perkara tak mengasyikkan diawasi.

Hati penuh waspada. Telah kupendam mimpiku.

Rona memberangsang dengan menuduhku seperti maut.

Mengambilmu kala ia belum siap meletakkan Tuhan

dalam doa-doanya. Bahwa kelak aku akan meledak

dalam kuburan. Senangku bukan senang yang pantas.

Rona membuat persendianku lemas.

Ia melepas hewan-hewan buas dari

bak truk yang dipersiapkannya.

Aku keluar dari mimpi melalui suatu lorong.

Mungkin di waktu yang tepat, akan kuluapkan

mimpi ini. Mimpi yang bikin aku demam tiga hari.

Bulukumba, 2021

Alfian Dippahatang

Comments

  1. Anak Pesantren Reply

    Puisi pesantren (kecoret) di atas. Idih puisi yang njeb banget bagi pergaulan anak-anak sekolahan sekarang. Moga-moga aja gak kejadian hal serupa.

  2. AGTRI Reply

    Puisi Menjamur dan Pesantren (Coret) sangat masuk ke dalam hati…

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!