Hantu
Hantu duduk di kepalaku. Katanya, sebelum terlambat,
aku perlu diselamatkan. Rambutku menangis
jika dipangkas sampai tiga senti.
Aku dicap berhala pada kebebasan.
Itu sebabnya, aku sulit untuk bahagia.
Air mataku meminta matahari paling terik mendengar
tuduhan gila itu. Namun, Rabu sekarang, hujan tak mau
meninggalkan Bumi. Kompleks ini terlanjur jatuh cinta
pada luapan air dan doa para bocah yang ingin telanjang.
Lemari legah. Jaket hitam paling kusuka, akhirnya memeluk
tubuhku. Aku menunggumu pulang. Kau bukan
hantu yang bersemayam di rumah kita.
Bulukumba, 2021
Pesantren
Aku sengaja tak berterima kasih pada tubuh.
Itu jelas fitnah. Kuda betina sedang senang berlari-
lari dalam dadaku. Aku tak bisa menghalang,
mengusir, bahkan mengurungnya.
Guru BK-ku di SMA sadar, mengerti, dan
menerima tapi enggan menginterogasi
karena tak ingin aku membara.
Kerja guru seharusnya begitu. Bukan hanya
menulis di papan dan menerangkan materi.
Rumah adalah sekolah pertamaku gagal.
Di hadapan para tetangga, ayah malah menyesal
tak memasukkanku ke pesantren.
Barru, 2022
Menjamur
Dianggap jamur buruk tumbuh di batang busuk,
kau masih saja memiliki kalimat atas hak-
hak hidup kita. Orang-orang selalu pandai berkhotbah
untuk diri yang lain. Pribadi ini menjamur. Menjilat dan
melumat tubuh. Di mana letak kebaikan dan
keadilan di Bumi? Kau taruh telunjuk kananmu
rapat di dadaku. Yang jelas dipertanyakan dan
terus digugat. Kita tahu sedang bersengketa.
Berwujud dan tak berwujud sama-
sama mengerikan. Hati harus jadi akar.
Kendati di luar rusuh dan membuat leher berkalung batu,
kau tak habis akal membuat suasana seperti kembang.
Bulukumba, 2021
Kalian
Kalian sengaja meledakkanku.
Aku tak butuh diselamatkan.
Tak ada yang cacat dan
hilang dari diriku.
Andai kalian mau keringatan
mencari tahu dan
mau ngos-ngosan untuk mengerti,
ada rumah privasi yang tak boleh
seenak hati kalian masuki tanpa tahu
itu akan membangunkan puluhan ular
yang tidur di balik batu. Ular-
ular itu meski tak sedang
lapar akan datang membantuku
meracuni dan merobek-
robek kulit kalian
yang sengaja memilih kata-
kata suci yang konotatif.
Membuat pilu.
Menganiaya aktivitas dan
kediamanku.
Bulukumba, 2021
Lampau
Jika ada yang wajib kuingat di masa kecilku,
bambu kering. Itu kenangan yang mendebarkan
sekaligus melegakan kala kupakai menghantam
betis Supriadi. Ia langsung roboh mengerang.
Menangis. “Itu belum pedih dibanding kata-
katamu. Setan!”
Musri tersenyum, kemudian berkata,
“Ia banci sampai mati karena amukmu!”
Bulukumba, 2021
Rohani
Tiada tombak dan pedang.
Senapan dan pistol apalagi.
Rohaniku bahagia menang perang.
Kesuksesan ini berkat Musri.
Dengan cergas ia memanggil
dua juru selamat memetakan gelanggang
yang dari mereka ketenangan adalah pintu.
Bulukumba, 2021
Tak Diduga Lagi,
mereka memandang kami cacing. Umpan untuk ikan-
ikan. Kami harus tangkas. Mata kami penuntun untuk
menghindar dan rawan untuk dikecoh. Keangkuhan akan
punah. Huru-hara ini cuma fana. Yakinlah! Yakinlah!
mereka memandang kami kayu rapuh. Tempat bagi banyak
lebah kayu membikin galian. Menyakiti atas nama kebaikan.
Bilang mewakili padahal hanya segolongan. Sedih percuma.
Berteriak percuma. Berseberangan dipandang penghalang.
Lubangi saja kami berkali-kali!
Bulukumba, 2021
Makin Gelap
Bersih itu saat pikiran tak menuntut
sama warna, satu bendera, dan
sepergerakan. Kita pantang diubah
oleh siapa pun. Ini pemberian, tetes-
tetes yang cukup.
Tiap kata tiap suara punya nyala.
Silang pandang seperti krik jangkrik.
Timbul lenyap suatu renungan.
Penerimaan bukan pemakluman
atas segala.
Keputusan tak dikawal siapa-
siapa. Aturan jadi lapis legit.
Ditekan kembali ke dapur yang sama.
Kesedihan terasa makin gelap
ke dalam.
Bulukumba, 2021
Lorong
Kau menganggapku lorong, tujuan atas tujuan
yang membuatmu bangga berjalan dalam kemerdekaan.
Sungguh perkara tak mengasyikkan diawasi.
Hati penuh waspada. Telah kupendam mimpiku.
Rona memberangsang dengan menuduhku seperti maut.
Mengambilmu kala ia belum siap meletakkan Tuhan
dalam doa-doanya. Bahwa kelak aku akan meledak
dalam kuburan. Senangku bukan senang yang pantas.
Rona membuat persendianku lemas.
Ia melepas hewan-hewan buas dari
bak truk yang dipersiapkannya.
Aku keluar dari mimpi melalui suatu lorong.
Mungkin di waktu yang tepat, akan kuluapkan
mimpi ini. Mimpi yang bikin aku demam tiga hari.
Bulukumba, 2021
- Puisi-Puisi Alfian Dippahatang - 7 June 2022
- Puisi-Puisi Alfian Dippahatang; Memercayai Lemak - 4 April 2017
- Puisi-Puisi Al-Fian Dippahatang; Sebab, Jarak dan Kepergian ialah Khianat - 8 March 2016
Anak Pesantren
Puisi pesantren (kecoret) di atas. Idih puisi yang njeb banget bagi pergaulan anak-anak sekolahan sekarang. Moga-moga aja gak kejadian hal serupa.
AGTRI
Puisi Menjamur dan Pesantren (Coret) sangat masuk ke dalam hati…