Karto Kelewang, Penunggu Hutan Gunung Datar

Premis: Kisah tentang seorang petugas pemerintah yang INGIN mengumpulkan data luas hutan di satu desa terpencil, TAPI tidak ada seorang pun di desa itu yang tahu ukuran pastinya, karena tak ada yang berani mendekati/ masuk ke area hutan itu, kecuali seorang warga yang dianggap gila.

——————————–

Kau mengenal lelaki itu sebagai orang gila yang menanami setengah gunung sendirian di tengah malam, sementara semua orang yang menyebut lelaki itu memuja babi atau sejenisnya hanya untuk mendapat kekayaan.

Sementara ia mungkin tak mengenalmu, apalagi kau hanya seorang pegawai kecil di sebuah kantor pemerintahan. Begitu kecilnya hingga mungkin atasanmu saja lupa namamu. Namun di satu sisi kau merasa ia masih mengingatmu karena setiap hari tetap saja tugas-tugas baru menumpuk di mejamu,

Seperti tugas kali ini: mengukur luas sebuah hutan yang masih ada di beberapa desa, salah satunya desa tempat hutan Gunung Pagar berada. Desa ini sungguh terpencil, hingga kendaraan bermotor pun tak bisa masuk. Siapa pun yang ingin ke sana harus memarkir kendaraan beberapa kilometer di bawah, dan berjalan kaki melewati jalan setapak berlumpur dan berbatu-batu besar.

Kau melakukannya, dan dengan peluh membasah kau tiba di gerbang desa; dan saat itulah kau bertemu dia. Duduk bersandar di tiang gapura lama, bercelana pendek sepaha, kaus oblong pudar, sandal jepit tua, rambut gimbal, dan mata yang begitu lelah. Satu hal yang menarik perhatianmu adalah kelewang berkarat yang terletak di kakinya. Mungkin untuk mencari rumput? Kau menduga-duga.

Sekilas kau menaksir usianya lebih tua darimu, tapi kehidupan bisa membuat siapa pun tampak tua. Ketika melewatinya, kau tersenyum padanya, ternyata ia balas tersenyum. Kau mengangguk padanya, dia balas mengangguk. Tak ada sapa tak ada tanya. Hanya begitu saja. Lalu kau melangkah masuk diiringi tatapannya. Kau memang sedikit bertanya-tanya: siapa dia?

Belakangan kau pun berpikir berkali-kali, mengapa tak sedikit pun keinginanmu muncul untuk mengajaknya berbincang? Mungkinkah detik itu kau juga telah menganggap lelaki itu gila? Seorang gila yang tak layak diajak bicara. Namun kau pun berulang-ulang menegaskan: seorang gila tak mungkin membalas senyuman dengan senyuman. Sesuatu luput di kepalamu hari itu, kelak kau sedikit banyak akan menyesalinya.

Begitulah, tugasmu sebenarnya sangat sederhana, bahkan sering kali kamu tak usah benar-benar mengukur, melainkan cukup bertanya pada perangkat desa. Apa pun jawaban mereka, kau akan catat dan bawa pulang untuk dijadikan laporan. Namun ternyata di desa ini, semuanya berbeda. Ketika kau meminta, seorang perangkat desa mengeluarkan beberapa buku tulis usang berangka tahun mulai dari sewindu ke belakang. Kau membolak-balik semua, lalu mengerutkan kening, heran. “Mengapa angkanya selalu berbeda? Kadang naik, kadang turun?” Kau bertanya, sebab memang itu tak biasa. Sepanjang pengalamanmu, luas hutan selalu berkurang dari tahun ke tahun. Di mana pun.

“Karena kami tak pernah menghitungnya. Angka-angka itu kami karang sendiri, hanya agar ada yang bisa dilaporkan kepada petugas seperti Bapak.”

“Kenapa?”

“Bapak pasti petugas baru”

Kau mengangguk. “Ya, saya memang baru bertugas beberapa bulan.”

“Tidak ada satu pun warga desa ini yang mau masuk ke hutan Gunung Datar, Pak. Kalau dilanggar, pamali. Itu sebabnya tidak ada yang tahu luas sebenarnya.”

“Berarti tidak ada yang pernah mempermasalahkan angka-angka ini?”

“Baru Bapak yang menanyakannya.”

Kau berdecak, tugas ini sepertinya akan lebih panjang dari seharusnya. Kau adalah seorang petugas yang berdedikasi dan teliti, memang pendahulumu tidak, namun kau selalu merasa perlu mengakhirinya. Mungkin jabatanmu kecil, namun bukan berarti kau tak bisa melakukan perubahan. Setidaknya di masa jabatanmu, kau harus mulai mengubah semua data dan angka menjadi lebih bisa dipertanggungjawabkan, termasuk juga menghitung luas hutan-hutan ini. Perkara hendak diapakan hutan ini, itu terserah atasanmu. Tugasmu adalah menyetorkan angka yang sesuai realita.

Sebenarnya ada cara mudah menghitung luas sebuah hutan, kau sudah mempelajarinya bertahun-tahun. Orang-orang pintar sudah menciptakan peta yang membuat dunia seolah menjadi hamparan hingga semua bisa terlihat seolah kau terbang dari luar angkasa. Begitu juga peta keseluruhan Gunung Datar. Maka kau membuka buku catatanmu sendiri. Kau melihat angka di sana lebih mendekati angka yang tercatat lima tahun lalu di buku perangkat desa. Namun masalahnya: angka itu yang selalu berubah-ubah, empat tahun yang lalu angka itu naik, tiga tahun yang lalu angka itu turun, dua tahun yang lalu angka itu lebih turun, dan tahun lalu angka itu kembali naik. Kau menggelengkan kepala, orang-orang ini benar-benar mengarang angka sesuka mereka. Kau pun menimbang-nimbang, apakah lebih baik pulang saja dan melaporkan angka terakhir, atau benar-benar mencari tahu?

Namun belum sempat kau mengambil keputusan, mendadak kau dengar, perangkat desa itu membentak, “Heh! Pergi!”

Kau menoleh, dan melihat lelaki gimbal yang kau temui tadi di gerbang desa. Ia berdiri di beranda kantor desa, menatap lurus padamu. Seperti tak mengindahkan bentakan tadi.

“Pergi sana, Karto!” Kau dengar bentakan lagi.

Kau dan lelaki gimbal itu bertatapan, lalu kaulihat ia mengacungkan kelewang berkarat ke arah perangkat desa, kemudian tersaruk-saruk pergi, dan menghilang di sebuah sudut. Lalu kaulihat perangkat desa itu mengelap wajahnya dengan sapu tangan. Gemetar.

“Orang gila, Pak. Karto Kelewang” Ia menjawab tanpa kau tanya.

“Warga sini?”

“Iya, dia begitu sejak seluruh keluarganya meninggal kena banjir bandang. Tapi semua orang juga tahu keluarganya jadi tumbal nyegik. Karto memang nyegik, tiap malam dia berubah jadi babi. Lebih baik Bapak tidak dekat-dekat sama dia. Kalau ngamuk bahaya. Ke mana-mana dia bawa kelewang. Sejak dia gila, di kampung ini juga sering ada kejadian aneh-aneh! Termasuk banyak yang dengar suara-suara aneh dari dalam hutan. Seperti geraman atau ledakan-ledakan. Bapak bisa tanya ke semua warga sini. Itu pasti gara-gara dia ngerempak larangan. Soalnya setelah gila, hanya Karto yang sering keluar masuk hutan.”

Selesai perangkat desa bicara, tiba-riba saja hujan turun begitu lebat seolah dicurahkan dari langit. Kau menatap ke luar. Tirai hujan begitu rapat, angin bertiup kencang. Memang sedari tadi mendung, tapi kau tak mengira hujan akan turun sederas itu. Perangkat desa memandang langit, kembali dia mengusap wajahnya. Keringat seharusnya tak keluar di cuaca hujan seperti ini.

“Hujan ini juga gara-gara kita ngrasani Karto?”

“Pasti, Pak…” Dia menjawab, tapi kau tangkap ada nada ragu di sana.

Kau mengangguk. Mungkin kebetulan, ketika Karto pergi mendadak hujan turun. Mungkin juga tidak. Apa pun itu, kau tak biasa memperdebatkan keyakinan seseorang. Yang jelas kini kau jelas tak bisa pulang. Karena dengan cuaca biasa saja, perjalanan ke sini sudah sangat sulit. Apalagi sekarang.

Kau melirik jam tangan, hari sudah sore. Sebentar lagi malam.

Perangkat desa seperti mengerti pikiranmu. “Hujan di sini selalu lama. Misalnya nanti hujan reda pun, jalan pulang pasti banjir Pak. Kalau mau, Bapak bisa menginap di sini. Ada kamar kosong di belakang. Semoga besok pagi, jalannya sudah baikan. Mari, Pak.” Perangkat desa itu berjalan ke belakang.

Kau mengangguk, rasanya memang itulah solusi terbaik. Kau pun mengikuti perangkat desa itu. Ternyata memang di belakang kantor desa ada sebuah kamar. Kau masuk, hanya ada satu tempat tidur dan lemari. Tak ada meja. Perangkat desa itu memberi beberapa petunjuk, “Nanti malam saya ke sini, bawa makan malam untuk Bapak.” Ujarnya. Kemudian ia pergi.

Kau mengangguk, lalu merebahkan diri, dan terlelap begitu saja.

Entah berapa lama kau tidur, berbarengan dengan azan isya kau terbangun, kau melihat jam. Perlahan kau bangkit, meregangkan tubuh sejenak, perutmu terasa lapar. Kau mengambil kopi sachet dari dalam tas, lalu melangkah ke ruang dapur, untung lampu-lampu kantor masih menyala, kalau tidak kau tentu kesulitan menemukan saklarnya. Di dapur, kau membuat secangkir kopi, lalu membawanya ke beranda.

Di luar, udara dingin, kau mengencangkan jaket. Menghirup kopi. Memandang sekeliling. Melihat suasana desa yang nyaris tanpa penerangan. Tak terlihat satu pun rumah, hingga rasanya sejauh mata memandang, hanya kantor desa ini yang sudah dialiri listrik. Di sekitarmu sisa-sisa hujan masih jelas. Namun langit malam begitu bersih. Bulan purnama sangat terang. Sejenak kau berdecak kagum karena di kota kau rasanya tak pernah melihat purnama sejernih ini.

Kau meraba perutmu yang lapar. Masih tak ada yang datang. Perangkat desa yang tadi tak muncul, mungkin juga ketiduran karena hawa memang terlalu dingin. Kau mengumpat pelan, lalu masuk ke ruang tengah. Sambil lalu, kau membuka-buka beberapa buku laporan usang yang sejak sore terserak di sana. Menurut catatan, memang benar sekitar tiga tahun yang lalu, banjir bandang melanda, sungai desa tiba-tiba meluap. Di sana ada rincian jumlah korban, kau tak kenal nama-nama itu, tapi di daftar itu ada tiga orang anak kecil, bisa jadi itu anak-anak Karto, atau paling tidak beberapa di antaranya.

Kau menghirup kopimu lagi. Posisimu membelakangi pintu. Saat itu, mendadak terasa ada kekelaman yang tak biasa, seolah ruangan itu menjadi redup. Kau mendadak gelisah, dan jelas merasa ada seseorang di belakangmu. Apakah hantu?

Kau memberanikan diri menoleh, dan terkejut karena di ambang pintu sudah berdiri Karto! Masih dengan celana dan baju yang ia kenakan tadi siang. Masih menenteng kelewang. Rambutnya basah. Mungkin kehujanan.

Kau tertegun. Apa yang harus kulakukan? Apa dia mau membunuhku? pikirmu. Sesuatu mengganjal di ingatanmu, entah kenapa sampai detik ini kau yakin Karto tidak gila. Jika ia gila, tak mungkin kami berbalas senyuman di gerbang desa. Kau bukan penakut, namun di tengah udara malam yang mendadak terasa redup ini, entah kenapa tubuh Karto tampak lebih besar. Matanya lebih merah, dan giginya lebih menonjol. Kau merasa sedang berhadapan dengan buto cakil atau sebangsanya. Apakah dia orang yang sama dengan yang berbalas senyum denganku tadi siang? pikirmu lagi.

“Pak Karto?” Kau coba menyapa.

“Bapak … mau … ke … hutan?” Dia ternyata bicara dengan suara serak.

Kau tercengang, masih bingung menanggapi. Kalau orang ini benar-benar gila, apakah harus kujawab sebagaimana mestinya?

“Bapak … ikut … ke … hutan!”

Kau menatapnya bingung. “Bagaimana, Pak?”

 “Bapak … ikut … ke … hutan!”

Kau bingung.

“Bapak … ikut … ke … hutan!” suaranya makin tegas.

Sedetik kemudian Karto berbalik, lalu berjalan keluar. Kau memperhatikan. Ia berhenti di halaman. Kau masih terdiam di ruang depan dengan pintu terbuka. Dari tempatmu berdiri, kaulihat badan Karto seolah makin besar, kini lebih menyeramkan karena sebagian tubuhnya tertimpa cahaya bulan. Sebagian lagi tertutup bayangan pohonan. Kau menelan ludah. Bingung. Kau lupa rasa laparmu.

“Bapak … ikut … ke … hutan!” Dia kembali berseru.

Kau berpikir keras. Apa sebaiknya menghindar, atau menunggu perangkat desa itu datang? Kalaupun perangkat desa itu datang, tak ada yang dilakukannya kecuali mengusir Karto. Sementara entah kenapa kau merasa Karto ingin menunjukkan sesuatu.

Detik itu, di tengah keraguanmu, pandangan kalian bertemu, dan kau lagi-lagi melihat senyuman di bibir Karto. Senyuman yang kau lihat di gerbang desa tadi siang. Kau tercekat. Senyuman itu, bukan senyuman orang gila. Begitulah setidaknya kau rasakan. Maka, kakimu pun jadi terseret melangkah ke luar. Kau lihat senyuman Karto makin lebar. Kau terus melangkah. Karto berbalik dan berjalan tergesa. Kau dengan panik mencari sepatumu. Mengenakannya tergesa, merapatkan jaketmu. Berlari menyusul bayangan Karto.

Kau menembus cahaya bulan, mengikuti jejak Karto di jalan becek. Dalam sekejap celana dan sepatumu tersaput lumpur. Karto tak sedikit pun melambatkan langkahnya. Kau akhirnya bisa menempel di belakangnya, kau hirup udara malam bercampur bau badan Karto yang apek. Karto tak bicara. Kau tak bertanya. Ia mengambil jalan menembusi pepohonan. Makin lama, belukar makin rapat, cahaya bulan tak lagi sempurna karena terhalang dedaunan. Sesekali Karto mengelebatkan kelewangnya, memapas rating dan daun yang menghalangi. Sampai lambat laun kau baru sadar bahwa kini kalian melewati pepohonan dengan akar-akar gantung sebesar tali tambang. Pepohonan tua, belukar rapat, sepertinya hanya Karto yang tahu jalanan ini.

Jalan makin menanjak. Kau mulai terengah-engah. Tapi Karto tak sedikit pun memperlambat langkahnya. Kau sudah sampai titik menanyakan kembali keputusanmu, Apakah pilihanku mengikuti Karto sudah benar? Apakah Karto akan membunuhku di tempat ini? Jelas sudah terlambat untuk bertanya, begitu juga untuk kembali, karena dirimu yakin akan tersesat jika kau dibiarkan sendirian di kerimbunan rimba seperti ini.

Tepat pada saat kau sudah merasa di titik napas terakhir, Karto menebaskan kelewangnya ke belukar terakhir. Kemudian ia berdiri diam. Tegak memandang kejauhan. Kau berdiri di sebelahnya, hanya untuk tertegun.

Kini di hadapanmu terbentang hamparan tanah yang begitu aneh. Banyak akar dan tunggul pohon yang sepertinya sudah ditebang bertahun-tahun yang lalu. Namun di antara tunggul-tunggul itu ada lebih banyak lagi tunas-tunas setinggi lutut berdiri, berjajar, melambai, bergoyang-goyang, ditimpa sinar bulan. Mungkin ada seribu tunas, sejuta tunas, entahlah, kau tak bisa menghitungnya. Terlalu banyak. Terlalu mencengangkan.

Dari samping, Karto menatapmu sambil berkata, “Banjir, Bapak …. Pohon-pohon tak ada … anak … istri … tak ada.” Lalu ia mengambil sesuatu dari kantong kain di pinggangnya, mengulurkan kepalan tangannya. “Tanam ini … Bapak … semua …”

Karto membuka kepalan tangannya, kini di telapak tanganmu ada biji-biji tumbuhan entah apa. Kau menatap Karto. Kau lihat matanya berkaca-kaca. Tapi ada senyum di sana. Senyum yang telah berulang-ulang kau lihat. Senyum yang merangkum segalanya. Detik itu juga kau berdoa, semoga tak ada warga desa yang ke sana, agar Karto bisa terus menanam dan menanam tanpa gangguan sedikit pun juga. []

Bandung, Mei 2020

Hendra Purnama
Latest posts by Hendra Purnama (see all)

Comments

  1. Kadir Reply

    Meminjam pemikiran Eka Kurniawan yg menyamakan menulis cerita seperti ngeseks, cerita ini gak ada orgasmenya. Bercinta mulu, sampe bosen, gak bergairah.

  2. Fitri Reply

    Sangat bagus.

    • hlb Reply

      Orang ini tulisannya, beuhh!

  3. Kusman Pauji Reply

    Nulis cerpen kayanya asik ya !

    • Kusman Pauji Reply

      Maaf salah wkwkwk puisi lagi ,cerpen maksudnya ,asyik ya nulis cerpen ,kita tuh berimajinasi ,nulis cerpen ah !!!

  4. Kusman Pauji Reply

    Astagfiruloh haladim puisi lagi cerpen cerpen cerpen,tolong hapus dong admin .

  5. Langit Amaravati Reply

    Oh, Kang Hendra udah bisa nulis cerpen sekarang mah? *Kaburrrr

  6. Juanda Reply

    Hendara, bisa no kontaknya, saya peneliti cerpen dan novel

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!