Karto Klewang Harus Masuk Surga

Zaman sudah terbalik! Apa yang harusnya begini jadi begitu! Misalnya, tadi pagi kudengar Erna Safira, istri Karto Klewang, mau jual rumahnya seharga lima juta! Heh? lima juta? Itu sih bukan harga rumah, mungkin bisa harga motor! Ini rumah beneran! Empat kamar, satu kamar mandi. Rumah warisan. Jelas ada harganya, tapi dijual cuma segitu? Pasti ada apa-apanya!

Sebagai tetangga depan rumahnya, aku mungkin orang yang paling sering bertemu keluarga mereka. Tidak baik jika aku abai saja. Maka langsung kudatangi. Tentu saja Karto Klewang tak ada. Dia lagi di penjara. Ada juga adik iparnya, Umar Syafii. Dulu diberi nama Arab biar soleh, begitu katanya.

“Kami harus pergi dari sini, kalau nggak, kami mati!” kata Umar Syafii.

Heh? Mati?

“Bang Karto bilang, keluar dari penjara, dia bakal bunuh kita semua!”

“Kapan Mas Karto keluar penjara?”

“Besok!”

Besok? Waktu berjalan begitu cepat, sudah lima tahun. Padahal rasanya baru kemarin kampung ini geger karena penangkapan Karto Klewang. Dua mobil polisi datang pagi buta. Tak ada perlawanan. Kabarnya Karto Klewang juga sedang ngorok gara-gara tuak. Tapi hari ini baru kutahu dari Umar Syafii kalau Karto Klewang ternyata sempat teriak-teriak sebelum dibawa. Dia bilang semua orang pengkhianat. Dia menganggap ada keluarganya yang membocorkan ke polisi. Karto Klewang menuding-nuding, “Awas! Kubunuh kalian semua!”

“Ah mungkin itu cuma emosi sesaat. Namanya baru bangun tidur, mabuk tuak pula.” Aku mencoba berkelakar. Umar Syafii tidak menjawab. Malah terdengar suara lembut seperti kapuk dari balik ruangan yang terpisah kelambu.

“Suami saya memang rampok, maling, tukang tadah, dan copet, tapi satu hal: dia tidak pernah bohong. Kalau sudah ngomong, pasti dilaksanakan.”

Mirip sinetron India, kelambu ruang tengah tersibak. Masuklah Erna Safira. Lenggak-lenggok, cantik. Hampir tidak cocok jadi istri rampok. Pak Lurah selalu mendoakan Karto Klewang mati di penjara, biar Erna Safira jadi janda dan dia bisa menikahinya.

“Makanya rumah ini mesti kami jual, kami mau pindah ke tempat yang Mas Karto nggak tahu. Duit penjualan rumah mau kami pake bertahan hidup. Ini bukan soal saya, tapi soal ibu bapak saya. Semua sudah tua, sudah pikun. Umar juga sebentar lagi mau ujian SMA. Nyawa kami cuma satu-satu.”  

Wah repot juga. Ini sudah menyangkut nyawa manusia. Memang jika Karto Klewang ngamuk, Erna Safira dan Umar Syafii mungkin gampang melarikan diri, tapi bagaimana dengan ayah ibu mereka? Karena sudah bukan rahasia lagi jika Karto Klewang memang gampang bunuh orang. Keluarga istri buat dia adalah orang lain, lagi pula memang tidak ada yang tahu siapa sih keluarganya teges nya? Sejak datang ke kampung ini, Karto Klewang sudah begitu adanya. Di kampung ini orang sudah tidak ada yang berani meski tahu dia rampok dan begal, semua memilih tidak berurusan daripada tandon nyawa.

“Terus kok jualnya mepet-mepet mbak? Murah pula.”

“Awalnya Bapak dan Ibu tidak mau jual rumah ini. Ini rumah warisan turun-temurun. Mereka juga masih mikir Mas Karto bisa disadarkan. Tapi akhirnya saya dan Umar bisa membujuk mereka. Cuma pas kami sepakat, waktunya sudah mepet. Nggak ada cara lain supaya laku cepat kecuali jual murah.”  

“Sekarang rumah ini sudah laku?”

“Sudah, Pak.”

Harusnya aku tak bertanya. Rumah seharga lima juta pasti gampang cari pembeli. Siapa pun itu; aku tidak perlu tahu. Bukan urusanku.

“Terus mau pindah kapan?”

“Nanti malam.”

Aku memandang sekeliling, sudah ada beberapa kardus yang menumpuk. Tapi belum terlalu kelihatan orang pindahan. Masih banyak barang yang belum dibereskan. Ini rumah besar, tentu banyak barangnya. Aku tidak tahu apa akan sempat memindahkan barang sebanyak ini dalam semalam?

“Kalian beli rumah lagi?”

Erna Safira menggeleng, “Nggak, Pak, kami ngontrak. Mana bisa lima juta buat beli rumah baru?”

Apa kubilang! Zaman sudah terbalik. Orang banting tulang cari uang buat punya rumah, ini orang sudah punya rumah malah dijual, terus ngontrak! Aku ingin marah-marah tapi bukan pada waktu dan tempatnya. Lagi pula keluarga ini salah apa? Mendadak aku jadi pusing.

“Saya bantuin pindah ya, mau?”

Erna Safira dan Umar Syafii berpandangan.

“Saya cuma mau bantu. Kalian jelas kekurangan tenaga. Paling yang bisa angkat-angkat cuma mbaknya sama Umar. Masa mau suruh bapak ibu angkat-angkat barang?”

Kedua orang di depanku jelas ragu.

“Saya tidak akan bocorin ke siapa pun tempat tinggal yang baru. Saya janji.”

“Tapi nanti kalau Mas Karto tahu Bapak yang bantu-bantu pindah, Bapak pasti dicari!” Kudengar nada cemas.

“Tidak akan, percaya deh. Saya carikan mobil ya?”

Keduanya mengangguk.

*****

Begitulah ceritanya, sehingga malamnya aku sudah ada di mobil pickup besar bersama keluarga Erna Safira, ditambah seorang sopir sewaan karena aku tidak bisa nyetir. Pickup itu sarat dengan barang-barang. Seperti yang kuduga, tidak semuanya bisa dibawa. Terutama lemari yang besar-besar. Apa boleh buat? Ini bukan pindah rumah, ini namanya kabur!

Kami menuju sebuah arah yang akhirnya kukenali sebagai desa terpencil, hampir di kaki bukit, jauh dari mana-mana, bahkan hampir tak ada sinyal. Namanya Desa Tanjakan karena memang sepanjang desa itu jalannya menanjak. Tidak ada tanah datar di tempat itu kecuali jika sengaja diurug kalau ada yang ingin bikin rumah. Entah bagaimana Erna Safira dapat rumah di sana.

Kami terus melaju menyusuri jalanan yang hanya muat satu mobil saja. Situasi sepi, mobil hampir tak berhenti kecuali sekali di perbatasan desa, ketika kami melewati sebuah rel kereta api. Rel yang dibangun sejak zaman Belanda ini benar-benar jadi perbatasan pas di tengah-tengah antara desaku dan Desa Tanjakan. Sampai saat ini hanya satu kereta yang lewat di sana, yaitu kereta-kereta pengangkut barang dari ibu kota kecamatan ke stasiun besar. Kali ini, kami berhenti karena ada kereta pengangkut gula lewat. 

“Saya selalu ngeri setiap bawa mobil lewat sini terus ada sepur lewat. Soalnya, nggak ada palang pintu! Kita meleng sedikit, mati!” Kata sopir.

Aku memandang sekeliling, memang benar. Tidak ada lonceng, alarm, atau penanda apa pun, juga tidak ada palang pintu yang menghalangi jalan. Namun kulihat sesuatu, aku menunjuknya. “Tapi itu bekas-bekas palang pintu sama pos jaganya masih ada.”

Sopir mengangguk, “Dulu sih ada yang jaga, sekarang nggak lagi.”

“Suami saya dulu yang jaga palang pintu ini. “ Suara lembut macam kapuk terdengar lagi. Erna Safira.

Aku menoleh, “Mas Karto jaga di sini?”

Erna Safira mengangguk, “Iya, dari kita belum nikah. Tapi setelah Mas Karto, tidak ada yang meneruskan lagi.”

Aku mengangguk-angguk, entah kenapa sekarang setiap pembicaraan tentang Karto Klewang selalu membuatku tak nyaman.

Mobil terus melaju, berkelok-lekok menembus malam, tanpa penerangan jalan. Naik turun, menyusuri jalan yang diapit pepohonan besar. Berkali-kali aku berpikir tentang hewan buas yang mungkin berpapasan. Tapi sampai kita tiba di tempat yang dituju, ternyata aman-aman saja.

Aku terperangah melihat rumah kontrakan ini. Jauh sekali dari rumah warisan mereka itu. Rumah ini doyong, dinding kayu mereot-reot, tidak memakai ubin tapi hanya semen. Pasti lantai itu dingin sekali di malam hari. Tak ada ruangan, hingga kuyakin empat manusia ini harus tidur berserakan di ruang depan. Belum barang-barang yang mereka bawa seadanya.

Sumur timba dan dapur di halaman belakang hanya tertutup atap rumbia. Bersebelahan dengan sesuatu yang disebut kamar mandi, yang hanya berupa poster bekas spanduk acara, disangga empat tiang bambu setinggi dada. Jika Erna Safira mandi, tentu dia harus jongkok jika tak ingin siapa pun melihat tubuhnya.

Aku benar-benar bingung melihat cara manusia menyelamatkan nyawa. Semua dilakukan, termasuk menukar rumah warisan dengan kandang ayam. Tapi aku juga tidak bisa bicara apa-apa karena mungkin aku akan melakukan hal yang sama jika ada di posisi mereka. Lagi pula aku selalu malas mengomentari keputusan orang. Aku hanya diam, membantu menurunkan barang-barang, meletakkannya di dalam rumah, lalu segera berpamitan. Badanku capek sekali.

*****

Di perjalanan pulang, lagi-lagi mobil terhenti di rel yang sama, kali ini oleh kereta pengangkut beras. Sopir menunjuk sisa-sisa pos jaga. “Sebenarnya, markas sekaligus tempat sembunyi Karto Klewang justru di sini.”

“Lho kok Bapak tahu?”

“Semua yang sering lewat sini tahu. Itulah kenapa nggak ada yang meneruskan jaga palang pintu. Semua takut sama dia. Ini tempat nongkrongnya. Tapi dia jarang ngerjain motor atau mobil warga desa-desa sini. Dia lebih suka ngebegal di kota. Paling kalau di sini kebetulan ada yang ketabrak sepur, dia ambilin semua perhiasan sama duitnya. Makanya buat dia malah untung nggak ada palang pintu, biar banyak yang ketabrak.”

Aku mengangguk-angguk. Begitu banyak hal yang tidak aku ketahui, bahkan dari tetangga depan rumahku sendiri. Mungkin memang aku orangnya cupet, tidak mau ikutan bergosip, dan jarang kumpul dengan bapak-bapak lain, akhirnya sering ketinggalan banyak berita penting.

*****

Esok pagi, seperti biasa aku pergi kerja dan lembur. Ketika pulang, jam sudah menunjukkan hampir tengah malam. Aku langsung masuk kamar. Tapi mendadak ada ketukan di pintu depan. Mungkin karena malam, maka ketukan itu terdengar cukup keras. “Siapa ya? Tidak mungkin maling, masa maling ketok pintu dulu?”

Aku langsung membuka pintu dan terkejut. Karto Klewang berdiri di sana! Pakai peci putih dan kemeja rapi—tato di lehernya masih kelihatan. Mampus! Ada naluri untuk kabur. Tapi kutahan.

“Pak, kenapa rumah saya kosong ya?”

Aku melongo, berusaha tampak tidak tahu apa-apa, memasang wajah setolol mungkin. Aku tidak mau ambil risiko jika di balik baju Karto Klewang ada celurit yang siap disabetkan. Aku belum mau mati. Belum punya istri.

“Eh Mas Karto …. eh, kosong gimana, Mas?”

“Bapak tahu ke mana istri saya? Mertua saya?”

Aku menggeleng, “Saya nggak tahu, Mas, saya baru pulang kerja. Tapi kemarin sih saya masih lihat Mbak Erna sama Umar.”

Karto Klewang memandang tajam. Aku mulai keringatan. Aku sudah siap-siap baca doa, ketika Karto Klewang berbalik lagi menuju rumahnya. Aku segera menutup pintu, namun ada naluri mengintip lewat celah gorden.

Kulihat Karto Klewang duduk di beranda, wajahnya muram. Ia melepas peci, rambutnya panjang, digelung. Melihat wajahnya itu aku jadi tak tega, Ada keinginan untuk mengajak bicara. Keinginan itu begitu kuat sehingga detik berikutnya kudapati aku sedang membuat dua gelas kopi, dan segera kubawa keluar. Kuhampiri Karto Klewang yang sedang bersandar di tiang rumahnya.

“Ngopi dulu, Mas ….”

Aku menyodorkan segelas kopi. Dia tersenyum.

“Terima kasih,” ujarnya, sambil langsung menyeruput kopi, padahal masih panas. Aku memandangnya. Sudah lima tahun tidak bertemu, aku lupa-lupa ingat wajah Karto Klewang, tapi memang rasanya agak beda. Sekarang lebih bersih.

“Sudah lama, Mas?”

“Dari tadi siang. Sudah tanya ke mana-mana tapi nggak ada yang tahu.”

Aku terdiam, bingung harus menjawab.

“Mungkin Bapak sudah dengar gosip-gosip, tapi saya tegaskan: saya cari keluarga saya bukan untuk bunuh mereka. Saya mau minta maaf ke mereka, saya sekarang mau jadi kepala keluarga yang baik. Saya mau cari kerja baik-baik.”

Aku mengangguk-angguk, mencoba menghilangkan kegelisahan dengan menyeruput kopi. “Hmm … memang sempat ada gosip begitu, tapi dulu, ketika Mas Karto baru ditangkap.”

“Bapak percaya?”

“Wah, nggak tahu, saya nggak pernah ikutin gosip-gosip.”

Karto Klewang terdiam, merenung. Aku juga ikut diam, percuma membuka pembicaraan karena sebenarnya aku sendiri juga tidak paham kenapa aku di sini.

“Penjara mengubah saya, Pak. Saya jadi lebih tahu apa arti kejahatan dan kebaikan. Tapi saya tidak akan ceramah di sini. Nanti Bapak bosan. Cuma saya ingat cerita tentang seorang rampok yang mau bertobat lalu memulai hidup baru di kampung lain, sayangnya dia keburu mati di tengah perjalanan, tapi dia tetap masuk surga karena tempat dia mati jaraknya lebih dekat satu langkah saja ke kampung yang dia tuju untuk bertobat. Bayangkan, Pak, dia masuk surga karena perbedaan jarak satu langkah saja. Bapak tahu cerita itu?”

Aku mengangguk, menyeruput kopi lagi

“Selama perjalanan dari penjara ke sini, saya menganggap rumah saya ini ibaratnya tempat saya akan bertobat. Saya benar-benar menghitung jarak, saya tidak mau mati di jalan seperti rampok dalam cerita itu. Saya senang ketika selamat sampai rumah. Tapi ternyata kondisinya seperti ini. Kalau saja ….”

Aku memotong, “Saya dengar kabar, Mbak Erna sekeluarga pindah ke Desa Tanjakan. Tapi saya juga tidak tahu di mana atau bagaimana mereka pindah.”

 Karto Klewang menoleh ke arahku, ada binar di matanya. Aku setengah merutuki diriku yang tidak bicara sejujurnya. Mungkin memang aku belum percaya padanya, mungkin aku masih berpikir di balik bajunya ada celurit yang siap disabetkan.

“Benar, Pak? Terima kasih, Pak! Saya pamit dulu! Doakan saya!”

Aku mengangguk ragu, tak bisa menahan. Karto Klewang berdiri dan bergegas pergi. Tergesa. Bahkan dia tak sempat melambai atau apa pun. Aku memandang sosoknya berjalan menghilang ditelan gelap malam.

*****

Keesokan pagi, di warung kopi prapatan kudengar berita, “Karto Klewang mati ditabrak sepur gula! Badannya terpotong dua, pas di atas rel!”

Aku termangu, hanya satu yang terpikirkan: Aku harus mengabarkan ini langsung pada keluarganya. Namun aku harus ke sana jalan kaki agar bisa kuhitung jumlah langkah: dari rumah Karto Klewang ke rel kereta, dan dari rel kereta ke rumah Erna Safira.

Semoga rel itu memang lebih dekat ke Desa Tanjakan meski hanya selisih selangkah. Namun jika pun tidak, aku akan geser rel itu bagaimanapun caranya, agar Karto Klewang bisa masuk surga.

Bandung, September 2020

Hendra Purnama
Latest posts by Hendra Purnama (see all)

Comments

  1. Nom Reply

    Bikin senyum..

    • Hendra Reply

      Saya juga senyum-senyum pas ngetiknya. Makasih udah mau baca

  2. Ram Reply

    Sangat suka cerita semacam ini. Realistis dan rasional. Endingnya pun menakjubkan, sebab saya kira menyeleweng dari dugaan para pembaca. Apalagi, penuturannya asyik. Menegangkan sekaligus lucu. Sangat tertata. Mantap!

    • Hendra Purnama Reply

      Makasih apresiasinya. Makasih udah mau baca

  3. Reje Satya Reply

    Tadinya, saya berharap Karto Klewang hanya memainkan perannya, pura-pura bertobat untuk mengorek informasi. Secara, masa lalunya begitu kelam dan penuh intrik. Saya pun jadi ikut was-was ketika Desa Tanjakan mulai disebut. Saya kira esoknya di warung kopi akan beredar berita soal terbunuhnya Erna Safira dan keluarga, kemudian tokoh yang menyesali perbuatanya.

    Eh, ternyata Karto Klewang beneram tobat. Twist yang tidak mudah diterka.

    • Hendra Purnama Reply

      Makasih apresiasinya, makasih komentarnya, dan makasih udah mau baca 🙂

  4. Budhi Reply

    saya malah berharap endingnya jadi gini:

    Keesokan pagi, di warung kopi prapatan kudengar berita, “Kontrakan Erna Safira dan keluarganya porak poranda, mereka semua ditemukan sudah tidak bernyawa. Seisi ruangan memerah dilumuri darah, hanya tersisa sebuah peci putih putih yang warnanya tidak ikut berubah.”

    tapi pasti judulnya bukan “Karto Klewang Harus Masuk Surga” 😁

    • Hendra Purnama Reply

      Ya, agak berdarah-darah… usul yang menarik. Makasih apresiasinya, makasih komentarnya, dan makasih udah mau baca 😀

  5. Ervina Eka Safira Reply

    Keren sekali karyanya, Pak 😀
    Sederhana tapi menyentuh

    Semoga karya saya bisa ikut dipost di sini, hehe

    • Hendra Purnama Reply

      Makasih apresiasinya, makasih komentarnya, dan makasih udah mau baca

  6. Hadi S Abdullah Reply

    Wah, mantap, Kang. Semangat berkarya terus.

    • Hendra Purnama Reply

      Makasih apresiasinya, makasih komentarnya, dan makasih udah mau baca

  7. Vale Reply

    suka cerpennya…

    • Hendra Purnama Reply

      makasih ya 🙂

  8. Ibnu Sya'nah Reply

    Kalau santri sudah tidak asing dengan cerita ini. Yang ingin bertaubat tapi belum sampai ke tempat taubatnya itu. Membunuh sampai seratus orang itu. Di cerpen ini yang berada pada kutipan: . . . . Cuma saya ingat cerita tentang seorang rampok yang mau bertobat lalu memulai hidup baru di kampung lain, sayangnya dia keburu mati di tengah perjalanan, tapi dia tetap masuk surga karena tempat dia mati jaraknya lebih dekat satu langkah saja ke kampung yang dia tuju untuk bertobat. Bayangkan, Pak, dia masuk surga karena perbedaan jarak satu langkah saja. Bapak tahu cerita itu?”.
    Bentuk dakwah lewat jalan tulisan. Mantul dah!

    • Hendra Purnama Reply

      iya memang ide ceritanya dari sana… makasih udah mau baca ya 🙂

  9. Annisa A Reply

    Sudah nebak kalau bakal ada twist, tapi awalnya mengira Karto Klewang cuma pura-pura tobat, ternyata beneran tobat :’)
    Keren, bagus ceritanya!

    • Hendra Purnama Reply

      Jadi lucu juga ya konsepnya, twist, tapi bukan twist, tapi jadi twist… hehe
      Makasih apresiasinya, makasih komentarnya, dan makasih udah mau baca

  10. Irsyad Rahim Reply

    Awal nya nebak kalau endingnya klewang benaran bunuh kaluarganya, si aku karena parno klewang tau dia yang bantu pindahan akhirnya ngejual rumah seharga 4 juta

    • Hendra Purnama Reply

      Ending yang berdarah-darah… heu… boleh juga usulnya
      makasih udah mau baca ya

  11. Realistis Reply

    Ini baru namanya cerpen enak bacanya & gak mumet

    • Hendra Purnama Reply

      Makasih apresiasinya, makasih komentarnya, dan makasih udah mau baca

  12. fitman Reply

    keren lah ceritanya, ringan dan mudah di pahami

  13. siqood Reply

    mennghibur ceritanya

  14. Fitri Rani Reply

    Ceritanya bagus. Sederhana tapi keren!

  15. Nunik Farida Reply

    Dua paragraf terakhir benar-benar memukau.

  16. bai Reply

    Bagus banget!
    Menyentuh dan mudah dipahami.

  17. Yuspianal Reply

    sayang sekali karto tak sempat kenalan dengan pemilik rumah barunya.

Leave a Reply to Realistis Cancel Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!