Kata-Kata Berkelit Tia Setiadi

13084286_265276170473405_1553255103_n

Judul: Tangan yang Lain

Pengarang: Tia Setiadi

Sampul: Joni Ariadinata

Sumber lukisan untuk sampul: Apple, karya Arya Sucitra

Cetakan: 1, Mei 2016

Tebal: 116 hlm

Penerbit: DIVA Press

Menulis puisi adalah membebaskan kata-kata dari belenggu yang menyangkarnya dalam kalimat dan paragraf. Puisi adalah kesempatan ketika penyair maupun membaca bisa menggali keajaiban kata-kata hingga ke batas-batasnya yang paling maksimal—namun tetap indah. Dan itulah yang dilakukan Tia Setiadi dalam kumpulan sajak ini. Membaca rombongan puisi-puisi panjang di buku ini adalah sebuah pengalaman panjang nan istimewa. Jalinan kata-kata yang ditenung oleh Tia Setiadi (yang dengan gaibnya mampu menenungkan pengetahuan pembacaannya dalam jalinan puisi) dalam buku kumpulan puisi ini. Seperti saya, pembaca yang jarang baca puisi ini, mampu duduk termangu menikmati kata-kata biasa yang ditata dan diperlakukan secara istimewa.

Bagaimana bila suatu petang kau bercermin

Dan yang kau pandang di sana bukan wajahmu

 

Melainkan riak senja yang mengalir,

Arus awan di langit, dan nyala api di kejauhan

 

Wajahmu menjadi jejak yang meraib

Dan terbakar dalam bening api

 

Dan api adalah puisi itu.

(“Cermin, Sungai, Puisi Untuk: Jorge Luis Borges”, hlm. 94)

Dalam sastra, manusia baru bisa melihat kata-kata berkelit dan melompat sedemikian rupa dalam bentuk yang tidak biasa. Buku Tangan yang Lain ini menjadi pembuktiannya. Bait-bait pendek dan panjang, beberapa malah begitu panjang sampai berhalaman-halaman, dalam buku ini seperti hendak bercerita panjang dalam cara yang ringkas. Bahkan sebuah jeruk pun ternyata bisa berpanjang-panjang ketika sejarahnya dikupas cantik oleh Tia di halaman 53.

Untuk memahami jiwa sebutir jeruk

Kau perlu menyimak riwayatnya

Mengikuti pengembaraannya

Menyebrang benua demi benua,

Melintas bangsa demi bangsa,

Dengan puluhan kali bersulih nama.

Untuk menulis dan menikmatinya dibutuhkan pengetahuan yang agak pelik, terutama tentang simbolisme dan penggunaan perangkat bahasa (rima, bunyi, larik, dan suku kata). Sapardi Djoko Damono menyebut puisi sebagai mahkotanya bahasa. Puisi tercipta ketika seseorang mampu bermain-main dengan bahasanya, bercumbu dan sesekali berkelahi dengannya. Dalam sejarahnya, puisi merupakan susatra yang pertama kali muncul, yakni dalam bentuk nyanyian dan kidung suci kuno. Namun dalam perjalanannya di dunia modern, puisi menjadi kurang popular dibandingkan kedua adiknya, novel dan cerita pendek. Mungkin, karena sifatnya yang ringkas, banyak bermain dengan simbol, dan sangat menjunjung permainan bunyi; banyak yang beranggapan puisi sebagai sastra yang berat, sesuatu yang hanya layak dibaca para penyair dan pemerhati sastra. Benarkah demikian? Tentu tidak.

            Puisi, sejatinya, dibuat untuk mengguggah rasa, menyelipkan tenaga di balik kata-kata, melawan lupa, bahkan menggerakkan massa (puisi-puisi Widji Thukul misalnya). Tanpa banyak basa-basi atau berlembar-lembar tulisan, puisi mampu menyampaikan sesuatu yang mungkin akan sangat panjang jika dituliskan seperti biasa. Dalam Tangan yang Lain, Tia Setiadi—sebagaimana disinggung Joko Pinurbo dalam pengantarnya di buku ini—menggunakan puisi untuk mengungkapkan apa yang dilihatnya atau bagaimana tanggapannya pada kehidupan, kemudian memperkayanya dengan apa-apa yang rampung dibacanya. Seorang penyair yang juga pembaca, demikian kata maestro puisi Indonesia ini untuk seorang Tia Setiadi. Dan kita memang bisa membuktikan sendiri, betapa kaya dan beragamnya puisi-puisi Tia Setiadi di buku ini, sesuai dengan kekayaan ragam bacaan yang telah dicernanya.

Seno Gumira Ajidarma menyebut bahwa sastra baru bisa disebut sebagai sastra ketika dia dituliskan. Syair semata, sebagai bentuk tutur-lisan—yang karenanya terancam hilang ketika ingatan mulai berkarat—membutuhkan sarana aksara agar tetap bertahan dan tetap bercerita kepada generasi-generasi setelahnya sebagaimana dia bercerita kepada kita kini. Melalui Tangan yang Lain, Tia Setiadi telah menjadikan sekeping pengetahuan dalam ingatan tentang apa-apa yang telah dibaca, dilihat, didengar, dan dirasakannya menjadi abadi dalam wujud puisi. Ringkas, namun indah dengan tanpa meninggalkan di belakang muatan berharga dari kandungan isinya. Seperti contoh berikut, dalam enam larik percakapan, penyair mampu merangkum inti dari sebuah buku tebal tentang berpikir positif secara sedemikian menggugah:

Ayah: “Lihat, Nak, ada seribu mata air di hadapanmu

             dan seribu pohon pinus raksasa yang menaunginya.”

Anak: “Tidak, Ayah, aku hanya melihat sebuah sumur kecil

             dan sebatang anak pinus kurus yang menaunginya.”

Ayah: “Pejamkan sepasang pelupukmu, Anakku, biarkan tubuhmu

             menjadi seribu mata, maka segalanya akan tampak beda”

                                                               (“Enam Lanskap Pedalaman Priangan”, hlm. 45)

Dion Yulianto

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!