Berbagi Kisah Suka Duka Kerja Sampingan Mandiri di Malaysia

Berbagi Kisah Suka Duka Kerja Sampingan Mandiri di Malaysia
Kerja Sampingan Mandiri di Malaysia. Sumber gambar: pexels.com

Sedari kecil, Ibu tidak mewajibkan saya dan adik untuk bekerja di sebuah perusahaan besar dan memiliki kedudukan yang tinggi. Beliau adalah seorang wirausahawati sejati, seorang sarjana D3 Bahasa Inggris yang sebenarnya sudah melanglang buana menjadi sekretaris di berbagai perusahaan nasional dan asing di masa lalu, sambil mengajar bahasa Inggris baik secara privat atau di dalam sebuah lembaga kursus.

Pada awal tahun 2000-an, ketika PHK besar-besaran terjadi dan sialnya juga menimpa Ayah, Ibu menjadi pionir untuk membuka sebuah usaha kursus bahasa Inggris di rumah kami yang pada akhirnya menjadi salah satu tonggak perekonomian rumah tangga sehingga pada tahun 2007 nasib menerbangkan kami sekeluarga ke Malaysia.

Mengacu kepada kesuksesan dan pengalamannya, Ibu sering mengatakan kepada kami bahwa kehidupan yang sesungguhnya adalah ketika seseorang berhasil bekerja secara mandiri sesuai dengan jati dirinya. Tentu, beliau tidak serta-merta merendahkan pekerjaan kantoran. Malahan, Ibu menganggap pekerjaan kantoran sebagai sebuah batu loncatan sebagai modal untuk nantinya bisa bekerja mandiri. Namun, beliau benar-benar menentang sebuah ide untuk terus berkembang sebagai pekerja kantor, baik itu sebagai pegawai biasa atau manajer yang duduk di posisi atas.

Ketika di Malaysia, mentalitas tersebut masih dipegang Ibu dengan begitu kuat. Di saat orang tua lain mungkin lebih cenderung menggunakan kesempatan berada di luar negeri untuk anaknya bisa bekerja di sebuah perusahaan asing yang besar, beliau malah getol melatih kami untuk mulai mencari uang secara mandiri, mengenal potensi diri kami masing-masing, dan melihat seberapa besar pangsa pasar di lingkungan kami untuk mendukung sebuah usaha mandiri.

Saya masih ingat bagaimana dulu saya dan beberapa kawan pernah berniat untuk bekerja paruh waktu di restoran-restoran. Ibu menyetujui ketika saya meminta izin kepadanya. Namun rupanya restoran-restoran tersebut malah asyik menjadi PHP. Alhasil, Ibu menyarankan saya untuk lebih baik mencoba berjualan nasi kotak. Ibu yang memasaknya, saya yang membeli bahan-bahannya dan mendistribusikannya ke anak-anak di sekolah saya. Usaha ini berjalan cukup lancar, setiap harinya saya bisa membawa sebanyak-banyaknya sepuluh kotak nasi yang sudah dipesan sebelumnya, dan lima kotak nasi tambahan yang bukan pesanan tetapi untuk ditawarkan.

Ketika saya mulai kuliah, usaha ini diturunkan kepada adik saya yang rupanya jauh lebih piawai berdagang nasi. Namun, pengadaan barang-barang kelengkapan (seperti bahan makanan, kotak, sendok, dan garpu) tetap berada di tangan saya. Setiap minggunya, ketika merencanakan untuk berdagang di minggu selanjutnya, kami akan mendiskusikan perbandingan antara jumlah pesanan dan harga pasar. Adik mengetahui dengan jelas prediksi pesanan dan target yang dicari, beserta menu apa yang menjadi favorit anak-anak (karena Ibu menyediakan nasi kotak dengan berbeda menu setiap harinya), dan sayalah yang diwajibkan untuk jeli akan dinamika harga pasar.

Dari saya pribadi, begitu banyak yang bisa dipelajari dari sekadar berdagang nasi. Dari situ, saya bisa menilai keadaan ekonomi Malaysia yang rupanya tidak jauh-jauh amat bedanya dengan Indonesia, apalagi dengan adanya isu-isu tidak sedap seputaran uang yang berada di Perdana Men… eh, maksud saya, segolongan politikus di Malaysia. *takut dideportasi.

Dari harga daging yang melonjak dari RM17 ke RM22, minyak dari RM6.35 ke RM9.20 (RM335 = 1 juta rupiah, silakan hitung-hitungan sendiri), hingga ucapan para pedagang (yang rata-rata orang Indonesia) yang kepekaannya terhadap keadaan dan informasi negara kadang setara dengan ekonom mumpuni, saya mencoba untuk menganalisis seberapa baik keadaan untuk kami bisa tetap berdagang nasi.

Salah satu tantangan terbesar dalam urusan dagang-dagangan nasi ini terjadi sekitar Desember lalu, ketika salah seorang kawan Ibu memesan lauk-pauk beserta nasi untuk hajatan sunat anaknya yang mengundang hingga 150 orang. Sebelumnya kami memang pernah membuat pesanan banyak, tapi hanya hingga 50 orang untuk rapat guru di sekolah adik. Mencoba menghitung-hitung besar untung yang bisa diperoleh, kami sepakat untuk menerima tantangan itu. Alhamdulillah, dengan bangun jauh lebih awal, mencari bahan makanan yang semurah-murahnya (kebetulan saya kenal baik dengan beberapa pedagang di pasar sehingga mereka kadang tak sungkan memberi diskon), dan determinasi yang kuat, tantangan itu kami penuhi.

Kini, untuk sementara kami absen berdagang nasi atau makanan lainnya, kecuali untuk pesanan-pesanan kecil. Fluktuasi harga bahan makanan yang tidak saja menyusahkan para pedagang, tapi juga kami, belum menunjukkan tanda-tanda akan tamat. Ibu berinisiatif untuk kembali membangun usaha lamanya, yaitu kursus pendidikan. Hanya saja kini tidak terbatas dengan Bahasa Inggris, namun juga MIPA yang dipegang langsung oleh saya, dan IPS, PKN, dan bahasa Indonesia yang juga dipegang Ibu. Pesertanya adalah para siswa di sekolah umum khusus WNI yang ada di dekat rumah kami.

Mengajar tentu saja memiliki suka dan duka tersendiri. Tidak jarang, saya harus membelah pikiran antara mengerjakan tugas kuliah, mengirim tulisan ke Basabasi hanya untuk ditolak, dan menyiapkan materi pelajaran. Karena selain itu, saya juga memiliki jadwal privat sendiri dengan seorang anak Indonesia yang sekolah di sekolah swasta Malaysia berkurikulum Cambridge. Dia setara anak kelas 9 SMP, sedangkan untuk kursus adalah anak-anak usia 5-6 SD. Dua materi sekaligus yang harus disiapkan.

Namun lagi-lagi, banyak yang bisa saya pelajari dari mengajar. Yang paling utama adalah karakter murid-murid yang saya ajar, dan mungkin bisa dijadikan acuan, yang mana mereka cenderung tahu cara mengerjakan soal, tetapi tidak tahu apa soal yang mereka kerjakan. Anak-anak kelas 5–6 SD misalnya, sangat lancar ketika saya beri soal 22 × 230. Tapi ketika saya ubah jadi, “Berapa uang yang harus disiapkan A, jika ia ingin memberikan setiap anak di kelasnya RM230, dan di kelasnya ada 22 anak?” Mereka modar. Si anak 9 SMP pun sama, diberi soal fungsi kuadrat tahu, tapi tidak tahu apa sebenarnya fungsi kuadrat. Saya bisa saja menderivasi peristiwa di atas menjadi cermin sebuah sistem pendidikan, tapi saya sih bukan siapa-siapa, tjuma orang ketjil.

Tentu, apa yang saya lakukan kini memang cenderung masih sangat kecil. Semakin saya diberikan “latihan kemandirian” semacam ini, semakin saya merasa bahwa saya masih belum bisa melakukan yang terbaik. Saya tidak tahu apa yang akan menghadang saya nanti: apakah saya akan tetap berkutat sebagai seorang pekerja mandiri, atau akan ada saatnya saya menduduki kursi kantor. Tapi satu hal yang saya harapkan dan ketahui: bahwa semua pengalaman dan suka duka ini, kelak dan semoga bisa menjadi tonggak tempat saya bersandar, sehingga nanti ketika cobaan menerpa, saya tidak perlu lari angkat kaki menuju zona aman yang malah menimbulkan keteledoran.

Kurnia Gusti Sawiji
Latest posts by Kurnia Gusti Sawiji (see all)

Comments

  1. Rolyta Nur Utami Reply

    Sangat baik untuk dibaca, perjalanan hidup yang harmonis antara anak dan orang tua ini membuat saya sedikit iri, hehe..

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!