Mimesis tanpa (Sempat) Berpikir (Catatan untuk Esai Sastra Panjang Edi AH Iyubenu)

static.wixstatic.com

Tulisan ini lahir setelah membaca Karya Sastra Sebagai Mimesis yang Bebas (Catatan Panjang Melawan Belenggu-belenggu Berkarya)—selanjutnya akan ditulis Mimesis (dengan “M” besar dan cetak miring)—yang ditulis oleh Edi AH Iyubenu. Esai yang dibagi dalam tiga seri—yang ditayangkan antara Februari-Maret 2017 di basabasi.co—tersebut berusaha menyederhanakan konsep sastra sebagai “tiruan (representasi) realitas” dengan memaparkan kecenderungan dan atau rumusan-rumusan berkarya, termasuk dari penulis-penulis lain.

Pada seri pertama, Edi menjelaskan mimesis dengan pendekatan lingkungan tempat penulisnya berproses kreatif. Ia menyatakan adanya perbedaan yang cukup kentara, misal, antara karya-karya Agus Noor yang ditulis di Yogyakarta dan Jakarta. Seri kedua membicarakan mimesis dalam arti yang ‘harfiah’. Menurutnya, tiap orang akan relatif mudah menulis bila meyakini bahwa berkarya itu tak ubahnya dengan proses menjalani kehidupan; yang tak mesti linear, namun mengalir tanpa teori. Ia menyebut Kiat Sukses Hancur Lebur karya Martin Suryajaya sebagai contoh. Seri ketiga menerangkan mimesis sebagai produk imajinasi. Edi menjabarkan lebih lanjut bagaimana “Menulis dengan Hati” dapat dilakukan dengan kecakapan membedakan “berpikir’ dan “berimajinasi”. Imajinasi yang “benar” dan kuat akan melahirkan karya sastra yang “berbahaya”. Ia mengambil novel Big Breast Wide Hips karya Mo Yan yang memenangkan nobel sastra sebagai keberhasilan mimesis dengan pendekatan imajinasi.

Sekilas, tiga seri Mimesis Edi adalah semacam tawaran perspektif untuk mendekati, memahami, dan tentu saja menuliskan karya sastra. Namun, bila merujuk pada judul besar, Mimesis bergerak lebih jauh; menangkap gejala laten yang menghantui para penulis: krisis kepercayaan diri! Mimesis adalah kekhawatiran atas kekhawatiran. Respons penulis atas kegelisahan yang ia rasakan, kegelisahan yang lahir karena melihat kegelisahan dan kekhawatiran yang tidak penting dari para calon penulis atau penulis pemula atau penulis yang tak kunjung melahirkan karya.

Apa iya para penulis menderita ketakutan berkarya yang akut sehingga mereka perlu dibantu dengan sejumlah pendekatan mimesis?

Di era gawai seperti saat ini, gejala itu nyaris tak tampak di permukaan. Semua orang bisa menulis sekaligus menjadi/melabeli-dirinya penulis dengan cara-cara instan yang berserakan, dengan menjamurnya aplikasi yang dapat diakses dengan mudah. Website, blog, Facebook, Tumblr, Wattpad, dll. Tanpa adanya esai-esai tentang mimesis, mereka menjalani aktivitas menulis dengan—tanpa sadar—menjalankan prinsip tiruan realitas itu. Dan, adakah yang lebih dahsyat daripada melakukan segala hal tanpa berpikir?

Seperti yang AS Laksana nyatakan, kecakapan berkarya yang diinginkan siapa pun ialah proses-menulisnya dilakukan serefleks seseorang mengikat tali sepatu yang terlepas, menyalakan televisi untuk menonton berita, atau pergi ke “belakang” ketika perut mules. Ya, para penulis mutakhir, disadari atau tidak, menulis saja, mengalir saja, seakan-akan mereka sudah khatam membaca Creative Writing-nya AS Laksana sehingga terbiasa “menulis-tanpa-berpikir”.

Namun kebiasaan menulis-tanpa-berpikir hanya akan menghasilkan kekosongan, tulisan yang itu-itu saja, atau—dalam bahasa Edi—tulisan yang sudah bisa ditebak seperti apa, bila ia tidak disertai dengan kesadaran-literer bahwa isi kepala (ilmu, pengalaman, dan imajinasi) berkumpul-simpul dengan refleks ke “tangan penulis’ sehingga mereka tidak hanya menghasilkan tulisan, tapi juga karya-karya yang diperhitungkan. Di sinilah, esai-esai sejenis serial Mimesis itu harus dibaca dan dipahami para penulis.

Dan pada simpulan ini, lahirlah kekhawatiran-kekhawatiran yang menjengkelkan; apa iya calon penulis atau penulis pemula atau penulis yang stagnan itu mau membuka pikiran, memutar keran kesadaran, hingga “merendahkan diri” untuk meluangkan waktu membaca tulisan-tulisan yang mereka pikir atau selintas-lalu terlihat tidak-perlu, tidak-dibutuhkan, tidak mendukung proses kreatif, tidak memberi pengaruh secara estetika dan mutu karya? Yang kerap dilupakan adalah, bahwa mimesis bukan hanya kerangka-kerangka realitas, ia adalah realitas itu sendiri. Yang bukan hanya akan bicara tentang sebab-akibat, tapi juga hal-hal yang remeh namun menguatkan citra realitas; warna baju, bunyi gemericik air, jumlah daun yang jatuh dari pohon akasia, atau bahkan kerja-gila menghitung duri kaktus di dalam vas bunga di atas meja di sudut beranda.

Ya, praksis mimesis lebih jauh adalah tentang kecakapan penulis menangkap tetek-bengek kehidupan yang berserakan dan bersilintas dalam area kreatifnya. Bagaimana refleks yang lahir adalah buah kesadaran panjang, sebab, dengan semua keterbatasan kemampuannya memaksimalkan fungsi indra, manusia kerap melihat hidup ini tidak linear, putus-putus, tidak memiliki prinsip sebab akibat, sehingga lahirlah konsepsi yang sangat popular dan nyaris tak terbantahkan: Hidup boleh tidak masuk akal, tapi tidak demikian dengan fiksi!

Tidak ada kejadian di atas muka bumi ini yang merupakan urusan yang tidak masuk akal. Ia hanya buah ketakcakapan (baca: kemalasan) manusia untuk menemukan-dan-terus-menemukan pasangan benang yang putus di tengah jalan. Bila memang masih dengan bahagia-raya menyebut perangai demikian sebagai “kemanusiawian”, saat itu juga seseorang baru saja menunjukkan ketakmampuannya untuk berkarya. Boro-boro menghasilkan karya yang “berbahaya”, justru ia malah bergerak makin jauh dari hakikat realitas itu sendiri. Bila itu dilakukan tanpa kesadaran mimesis, lengkaplah sudah problemnya. Mengalir. Linear. Tak putus-putus. Bahkan tanpa (sempat) berpikir. (*)

Benny Arnas
Follow Me
Latest posts by Benny Arnas (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!