Kulari ke Pantai, Kemudian Tersenyumku

Jalan untuk menunaikan rencana pribadi dan bertemu dengan idola memang tidak akan pernah mulus, apalagi kalau penghalangnya adalah keluarga sendiri. Begitu yang mungkin dirasakan oleh Sam (Maisha Kanna), seorang anak dalam masa praremaja penuh energi, riang, dan senang berselancar yang hendak bertemu Kailani Johnson, peselancar idolanya di G-Land, Banyuwangi. Bersama ibunya, Uci (Marsha Timothy), Sam merencanakan sebuah road trip menjelajahi pantai dan gunung. Perjalanan yang seharusnya menjadi bonding time ibu dan anak, kini ditambah Happy (Li’lli Latisha), sepupu Sam yang senang sekali main Instagram, mau menjadi glam girls definisi anak kota—termasuk sikap “anti-anak kampung” dan bicara bahasa Inggris setiap waktu. Dengan ikutnya Happy, otomatis rencana bonding time keliling Jawa berubah total, tak hanya menjadi perjalanan penuh cinta kasih sederhana tetapi mengenal serta menerima satu sama lain sebagai bagian dari keluarga.

Film anak lain memang juga berfokus pada perkembangan pribadi anak sebagai tokoh sentral, tetapi tidak dengan perkembangan orang tua di sekitarnya. Kompleksitas karakter yang ditawarkan sangat lengkap, tidak berat sebelah hanya kepada anak-anaknya tetapi juga para orang tua. Tersaji jelas tanpa ribut, bagaimana hubungan kedua keluarga terasa tidak harmonis yang menyebabkan bagaimana Sam dan Happy juga jadi ikut berkonflik. Kontras antarkarakter tergambar baik tanpa ada usaha menjelas-jelaskan, misal bagaimana keluarga besar Uci di Jakarta terlihat kurang menyukai pilihan Uci dan suaminya (Ibnu Jamil) memilih hidup di Rote dan membesarkan Sam yang kemudian memiliki logat Indonesia Timur karena besar di sana. Hal ini juga terlihat di karakter Happy yang benar-benar menggambarkan dinamika anak praremaja Jakarta, terlihat dari bagaimana Happy mengonsumsi gawai secara berlebih dan memiliki gaya pakaian terpengaruh dari influencer media sosial. Perkembangan karakter sangat merata, sehingga adanya Mama Uci atau karakter dewasa lain bukan ada sebagai pendamping anak-anak saja tapi juga bagian dari cerita utuh. Di film ini, kita bisa melihat sisi keibuan karakter yang diperankan Marsha Timothy: tenang, tegas, tetapi sangat penyayang (yang sukses bikin saya punya cita-cita kalau jadi Mama nanti mau jadi kayak Mama Uci #MamaGoals). Mama Uci, Happy, dan Sam adalah tiga entitas kuat dalam film ini yang saling memengaruhi. Chemistry antartokoh berjalan sangat baik, karena para tokoh utama dapat dengan pas melakukan aksi reaksi rasa dalam layar.

Di antara film keluarga dan anak-anak yang lebih sering bercerita tentang berkemah dan kompetisi, Kulari ke Pantai menawarkan premis yang berbeda. Film ini menceritakan soal bagaimana keluarga di sekitar kita punya budaya dan alur pikir yang berbeda-beda—sebuah penggambaran yang kita butuhkan saat ini. Kulari ke Pantai berhasil mendobrak stereotipe bagaimana drama keluarga seharusnya diceritakan dalam film. Biasanya, film keluarga punya plot konflik yang ekstrem, misal keluarga yang menghadapi kekerasan-lah, atau keluarga yang kaya raya dan baik-baik saja—Kulari ke Pantai menawarkan sudut pandang yang lebih realistis. Sangat mungkin melihat contoh Mama Uci dan Sam di dunia nyata di mana orang tua dan anak saling melatih keterbukaan pikiran. Saya justru menangkap bahwa film ini sedikit banyak mengangkat isu parenting, misal menggambarkan kedekatan ibu dan anak yang seperti sahabat, peningkatan kesadaran untuk menjadi orang tua yang baik, dan bagaimana tetap menjadi orang tua sambil menjalankan hal-hal yang memang disukai.

Kalau boleh jujur, Kulari ke Pantai ini seperti gabungan 3 Hari Untuk Selamanya dan Petualangan Sherina berbumbu komedi yang dikonversi untuk kebutuhan anak zaman sekarang. Film road trip memang menjadi wadah yang mudah untuk memperlihatkan perkembangan karakter, tetapi mengingatkan kita juga bahwa dalam setiap perjalanan yang sulit pasti banyak hal yang bisa ditertawakan. Selipan comical relief di setiap pemberhentian kota terasa sangat segar dan tidak dipaksakan. Diawali dengan kemunculan komik Yudha dari Cirebon sebagai tukang sate yang pandai berdisko, Suku_Dani yang kemudian jadi teman seperjalanan mereka, dilanjutkan penampilan ikonik komik Dodit Mulyanto sebagai Mukidi, si pengurus Bamboo Homestay. Dodit menjadi penyegar terbaik di film ini dengan teriakan khasnya (YOOOO lebih baik mas-mbak nonton sendiri saja, biar nggak spoiler). Bahkan kemunculan Mama Mela (Ligwina Hananto) dan girlband asuhannya, Ordinary (yawla kenapa namanya ordinary, biasa aja dong grupnya) belum bisa menyaingi aura Dodit walau masih tetap menghibur. Dengan keberagaman karakter sepanjang jalan, menurut saya, Kulari ke Pantai bisa masuk dalam bucket list film wajib tentang road trip yang patut ditonton.

Semringah yang disebabkan akibat film ini memang akan agak berubah sedikit cringey ketika kita sadar banyak promosi dilakukan. Awalnya saya cukup terganggu dengan hal ini, tapi semakin masuk pertengahan film saya mulai merasa baik-baik saja. Film ini boleh memperlihatkan banyak sponsor, tetapi penempatannya pas dan tidak menyebalkan. Dengan kata lain, produk yang diiklankan memang benar-benar menjadi satu dalam cerita dan dibutuhkan oleh karakter. Promosi yang dilakukan di dalam film bukan sebatas produk konsumsi saja, tetapi juga penginapan dan tempat wisata. Terlihat bagaimana pengambilan gambar dilakukan di banyak penginapan yang direkomendasikan. Sebuah promosi halus tentang pariwisata dalam negeri juga gencar sekali rasanya. Perjalanan Mama Uci, Sam, dan Happy memperlihatkan keindahan sepanjang Pulau Jawa—menunjukkan bahwa banyak sekali titik bagus di Jawa yang belum banyak orang kunjungi. Kulari ke Pantai sukses menyajikan promosi wisata halus tanpa mengesankan eksotisme berlebihan. Kita tentu berharap suatu hari, ada film lokal seperti ini yang memperlihatkan sudut lain di Indonesia.

Secara keseluruhan, Kulari ke Pantai ditulis dengan sangat baik oleh Gina S. Noer, Mira Lesmana, Riri Riza, dan Arie Kriting. Hal ini kita bisa lihat dari kematangan tiap karakter dan penceritaan yang mulus. Riri Riza juga membuktikan kepiawaiannya menyutradarai aktor dan aktris dari berbagai rentang usia masih sangat kuat. Untuk itu, kita perlu semakin yakin akan kekuatan sineas kita untuk perkembangan kancah film Indonesia. Harus diakui bahwa perfilman Indonesia memang sedang kekurangan film drama keluarga berkualitas. Miles Films jeli untuk mengisi kebutuhan perfilman Indonesia saat ini.

Gladhys Elliona
Latest posts by Gladhys Elliona (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!