Sepak Bola: Penonton dan Pembaca

Pada masa lalu, ada lelaki ketagihan menonton pertandingan sepak bola. Sejak kecil sampai tua, ia mustahil mengharamkan diri menonton sepak bola dan turut taruhan. Pengalaman sebagai penonton ditulis di rubrik “Suka & Duka” di majalah Minggu Pagi, 23 April 1954. Tulisan dijuduli “Penonton Sepak Bola”. Dua halaman bercerita si penonton mendapat nasib buruk. Pada suatu hari, lelaki yang bermukim di Jogjakarta itu ingin pergi ke Solo melihat pertandingan PSM melawan Persis. Ia minta sangu pada istri tapi sempat ditolak gara-gara duit mepet untuk memenuhi kebutuhan harian. Si lelaki itu membujuk bakal menang di taruhan. Ia meramalkan PSM kalah. Uang diberikan sambil merengut. Lelaki itu pergi ke Solo dengan mesem bermimpi bakal menang.

Lelaki tak untung. Persis kalah. Kedudukan terakhir 4-2 untuk PSM. Ia bersedih menanggung kalah dalam pertaruhan. Uang habis dan malu pada istri. Pulang ke Jogjakarta sebagai penumpang ilegal di kereta barang. Di rumah, rupa lelaki malang itu amburadul. Ia sudah pasrah menerima marah dari istri. Situasi di cerita: “Malam itu rumah saja gempar ketika saja datang. Bermatjam-matjam pertanjaan diadjukan oleh anak-isteri. Mengapa begitu putjat, mengapa lambat, tadi naik apa, makan dimana dll. Untung pertanjaan itu tidak ditanjakan oleh isteri saja: taruhanmu bagaimana, memang atau kalah? Tapi saja rasa, meskipun tidak menanjakan kepada saja, ia sudah tahu duduk perkaranja. Malam itu saja tidur seperti orang mati. Tidak merasa apa-apa. Tidak mendengar apa-apa.” Sepak bola terbukti mempermalukan lelaki. Sepak bola membuat keluarga dilanda miskin. Cerita dua halaman itu anggaplah peringatan bagi kaum lelaki di Solo dan Jogjakarta agar mawas diri. Sepak bola jangan dijadikan petaka bagi keluarga!

Pengalaman lelaki di Minggu Pagi itu memiliki “teman lama” di majalah Kadjawen, 12 Mei 1939. Sepak bola masih sumber petaka meski kecil. Iklan bergambar dan bercerita keluaran perusahaan jamu: WYBERT Tjap Tiga Inten. Jamu itu menjanjikan: “… poenika moestadjab sanget toemrap sakit salebeting eled-eled.” Jamu dipastikan cespleng. Dua lelaki berdandan necis menonton pertandingan sepak bola alias balbalan. Pertandingan seru membikin penonton berdebaran. Para penonton memang membuat taruhan. Menang atau kalah tetap saja membuat penonton capek. Dua lelaki bersorak gembira, tanda mereka meraih menang di botohan. Menang tak mutlak menggembirakan. Sakit tenggorokan sampai menimpa. Sakit lekas disembuhkan dengan jamu berupa permen. Bekal penonton bola adalah jamu agar waras.

Kaum lelaki gagal jadi pemain sepak bola memilih jadi penonton. Peran tambahan sah dalam taruhan atau botohan. Mereka mendatangi lapangan, stadion, atau alun-alun berpamrih menonton: bertepuk tangan, bersorak, berjoget, memaki, dan sesumbar. Di mata mereka, sepak bola itu duit. Taruhan mementukan mata duitan dan gengsi. Pada masa 1950-an, taruhan itu pemanis dalam pertandingan sepak bola, terwariskan sampai sekarang. Sepak bola membikin sakit, tak cuma sakit tenggorokan tapi sakit pikiran.

* * *

Ulah kaum lelaki di Kadjawen dan Minggu Pagi bukan teladan bagi bocah-bocah seantero Indonesia. Bocah-bocah mendingan menokohkan Koentjoeng. Siapa? Pada saat berusia 7 tahun, bocah bernama Koentjoeng mulai bersekolah. Ia girang  dan ingin menjadi pintar. Di sekolah, Koentjeong berjumpa teman-teman baru. Di kampung dan sekolah, Koentjoeng bermain bersama teman-teman. Suasana gembira setiap hari. Bermain tak mengganggu pelajaran. Konetjoeng mengerti pembagian waktu belajar dan bermain. Koentjoeng, bocah lugu dan bernampilan khas: potongan rambut kuncung di bagian depan. Ia bernama asli Sariman tapi biasa dipanggil Koentjoeng.

Koentjoeng adalah tokoh di buku bacaan bocah berjudul Tataran (1950) susunan R Wignjadisastra, terbitan JB Wolters Groningen, Jakarta. Buku berisi cerita-cerita berbahasa Jawa, rangsangan bagi pembaca agar mengetahui tata kehidupan di desa. Di rumah Gombloh, Koentjoeng ikut membantu memperbaiki keranjang jebol. Dua bocah bercakap akrab. Gombloh berkata: “Jo, Tjoeng, mengko sore ndeleng balbalan.” Koentjoeng senang diajak melihat pertandingan balbalan atau sepak bola. Gombloh menginformasikan pertandingan itu mempertemukan Hisboel Waton dan Sinar Kota. Balbalan telah jadi kegemaran bersama.

Penulis cerita memberi deksripsi: “Ing panggonan balbalan direngga-rengga gendera. Wong dodolan ora koerang. Gombloh karo Koentjoeng begdja bisa oleh enggon kepenak.” Dua bocah bergembira menjadi penonton. Di mata penonton, pertandingan sepak bola itu paduan olah raga dan hiburan. Ratusan orang jadi penonton, memberi semangat pada kesebelasan Hisboel Waton dan Sinar Kota. Dulu, pertandingan itu gratis. Penonton tinggal datang, tak perlu membeli tiket. Mereka duduk di pinggir lapangan. Di sekitar lapangan, penonton melihat pameran bendera dan para pedagang makanan.

Balbalan memang hiburan. Gombloh mendukung Sinar Kota. Koentjoeng memilih Hisboel Waton. Pada saat pemain Hisboel Waton mencetak gol, Kontjoeng senang. Bocah itu berjoget ingin mengejek Gombloh. Ejekan memicu tantangan. Gombloh pun berkata: “Wah, Koentjoeng ngetje. Ija titenana. Jen Sinar Kota bisa males, sida takboeboet kontjoengmoe tenan.” Detik demi detik berlalu. Pemain Sinar Kota bisa mencetak gol ke gawang Hisboel Waton. Kontjoeng jadi korban ulah Gombloh. Mereka tidak saling marah. Tantangan cuma untuk bergembira agar semangat menonton sepak bola. Pertandingan rampung dengan hasil imbang. Dua bocah pulang pada pukul enam sore. Di perjalanan, Koentjoeng sesumbar: “Akoe besoek jen wis gede, ija arep meloe bal-balan. Awakkoe ben rosa, bagas, waras.” Koentjoeng ingin menjadi pemain, lanjutan dari predikat sebagai penonton. Impian muluk Koentjoeng itu sering dimiliki bocah-bocah di Indonesia, dari masa ke masa. Kita menganggap impian bocah Indonesia terbentuk dari kebiasaan bermain sepak bola dan menonton pertandingan sepak bola.

Di desa dan kota, bocah-bocah biasa bermain sepak bola. Mereka bermain di jalan, halaman rumah, sawah, lapangan, atau lahan kosong. Bermain tak mewajibkan mengenakan sepatu dan seragam. Gawang tak harus terbuat dari besi, berdiri tegak dan kukuh. Urusan terpenting adalah ada bola. Gawang bisa diganti tatanan batu atau sandal. Jumlah pemain diusahakan imbang meski sedikit. Permainan bermisi girang, bukan kemenangan melulu demi medali atau piala. Raga berlarian dan kaki-kaki menendang bola. Bocah-bocah biasa berteriak, bukti gembira. Mereka pun biasa saling ejek agar ada persaingan sengit. Bola dalam permainan pun tak mesti terbuat dari karet atau plastik berisi angin. Bocah lumrah membuat bola dari pelbagai bahan. Semula, Koentjoeng dan teman-teman bermain dengan bola terbuat dari “gombal dioewal-oewal.”

Di mata orang tua, bocah-bocah bermain sepak bola di jalan atau halaman rumah bisa menimbulkan petaka. Girang dimusuhi kemarahan orang tua. Bocah tak selalu mendapat restu bermain balbalan. Mereka tetap saja nekat. Di depan rumah, Koentjoeng menendang bola. Kejadian buruk terjadi: “Koentjoeng kodjoer. Nggone nepang bal keseron. Bal mleboe ngomah, ngenani tjangkir. Krompjang. Tjangkire petjah.” Tendangan Koentjoeng membuat bola masuk rumah menimbulkan ribut dan rusak. Koentjoeng bersiap dan ikhlas mendapat hukuman. Simbok marah: “Tjoeng, balbalan sing adoh kana. Sengitkoe, botjah dolanan balbalan koewi. Ngroesakake gendeng. Metjah-metjahke barang.” Di mata orangtua, bocah bermain balbalan di pelataran rumah kadang memicu marah. Kejadian itu pada masa lalu. Kita cuma mengenang kebingungan Koentjoeng dan teman-teman mencari tempat paling enak bermain sepak bola.

* * *

Koentjoeng itu tokoh di buku. Ia pernah jadi tokoh di kepala ribuan bocah di Jawa, dari masa ke masa. Kita berjarak jauh dari Koentjoeng, berjarak semakin jauh dari deretan cerita dan berita tempo doeloe bertema sepak bola. Hari demi hari, kita mendapat serbuan berita-berita sepak bola di Piala Dunia 2018 Rusia. Berita saling berebut ingin dibaca dan diingat sepanjang masa. Di koran-koran, berita-berita itu hampir sama dan menjemukan. Kita mungkin ingin bernostalgia membaca berita setelah seratus tahun berlalu.

Petikan dari berita dimuat di Pemberita Betawi, Senin, 25 Maret 1907: “Pada masa ini BVC ada soeatoe perhimpoenan voetbal di Betawi jang amat tegoeh, oleh sebab telah dapat beberapa anggota jang baroe jang beloem lama datang dari negeri Wolanda, dan jang mana telah termasjoer kepandaiannja. Hal itoe diketahoei djoega oleh perhimpoenan Hercules, akan tetapi tiada seberapa diperindahkannja, hanja pada malam Minggoe marika soedah bersoeka (berfesta) segenap malam di Kebon Binatang. Tiada oesah dikatakan lagi bahoea dari sebab segenap malam tiada tidoer dan barangkali esok paginja marika melandjoetkan poela festa itoe, maka kemaren sore marika telah habis tenaganja akan melawan moesoehnja dimedan voetbal.” Berita itu dimuat ulang di buku berjudul Berita Olahraga Tempoe Doeloe (2012) susunan HC Bangun. Kita membaca sambil berimajinasi kehebohan sepak bola di tanah jajahan. Sepak bola telah berita.

Pemuatan berita itu ditiru oleh pelbagai surat kabar di Indonesia. Sepak bola pantas diberitakan bersanding berita politik, kriminal, ekonomi, dan hiburan. Berita-berita itu mungkin bakal jadi tumpukan kliping untuk ditata sebagai “sejarah” tak utuh sepak bola di Indonesia. Pemuatan berita-berita pernah dijadikan penulisan cerita oleh Mas Marco Kartodikromo. Novel berjudul Mata Gelap (1914) termasuk pemula dalam menghadirkan sepak bola dalam sastra di tanah jajahan. Sepak bola pun berita dan cerita.

Pada masa 1950-an, majalah getol memberitakan sepak bola adalah Aneka. Berita-berita panjang sering dilengkapi foto-foto berukuran besar. Di Aneka, 10 November 1958, pembaca menilik sejarah sepak bola melalui klub Persija. Ingatan sempat tercatat: “…. achirnja pada bulan Nopember 1928 terbentuklah suatu bond sepakbola jang bernama VIJ (Voetbalbond Indonesia Jacatra), dengan keren anggotanja dari perkumpulan sepakbola  Setiaki, Ster dan MOS. Kemudian tambah satu perkumpulan lagi BSVC,” tulis di berita berjudul “30 Tahun Usia Persdija.” Klub itu turut dalam pembentukan PSSI di Solo, 19 April 1930. Persdija bersama PSM dan Persis menentukan arah baru sejarah sepak bola di tanah jajahan.

Sejak awal abad XX, sepak bola adalah berita-berita menanti tanggapan pembaca. Pada masa 1950-an, sepak bola digunakan dalam pembuatan iklan-iklan di majalah, sebelum keterlaluan di televisi. Dulu, penonton sepak bola sering kaum lelaki bermata duitan dan pamer gengsi. Kini, penonton sepak bola adalah perempuan-perempuan cantik sering disasar kamera dan tampak di kotak televisi. Kita pun memilih menonton sepak bola di televisi sambil makan dan minum. Predikat sebagai pembaca berita dan cerita tak perlu dijanjikan terpenuhi. Begitu.

Bandung Mawardi
Latest posts by Bandung Mawardi (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!