
Memasak dengan Ramayda di Minggu Pagi yang Hangat
Tanpa Mengenal Sesiung Bawang Putih
Orang-orang bercengkerama kita penuh ludah. Tanpa acuh
kita terus menulis sajak cinta walau tak mengatakannya.
Aku janji menjemput di matamu yang masih bengkak.
Kita membeli minggu pagi lengkap dengan tuna sekilo, cabe merah keriting
dan bawang merah segenggam tanganku untuk kau lempar pada mereka.
Aku ceritakan bahwa aku punya pisau yang akan mengiris jalan
pulang. Kau cemas ujung jarimu panas mematahkan cabe, yang tidak lebih
cemas dari jerawat di pipimu. Aku berbisik, “setelah ini kupaslah
bawang merah beberapa siung, maka
cemasmu akan berubah jadi airmata tanpa sedih.”
Kita kemudian melihat hari dalam potongan kentang di minyak goreng yang meletup.
“Ibuku bilang aku pemotong kentang yang bagus.”
“Tolong dilihat kualinya, aku mencuci cabe.”
“Kentangnya gosong!”
“Kenapa kau pandangi saja?”
“Kau hanya menyuruhku melihat.”
“Setelah ini kita menggoreng tuna.”
“Darahnya masih ada.”
“Telah aku bumbui, amisnya sudah hilang.”
“Selain ayahku, baru kau lelaki yang memasak untukku. Lihatlah
liukan tanganmu di kuali itu.”
“Kau telah hanyut.”
Sepertinya hari ini akan kita terka dengan dua sendok teh
garam yang kuaduk dalam penggorengan cabe.
“Aku suka asin,” teriakmu di punggungku yang dihantui
atap-atap rumah yang runcing jauh di kampung sana. Ini di ambang
pakansi, aku belum mengantongi tiket pulang.
Yogyakarta, 120610
Taman Gluck Auf
di ini kota malam mengintai pada lori-lori
memecah sunyi. Kau duduk dengan cinta masa lalu
kupelihara dalam lubang-lubang tambang
dan orang-orang yang sibuk hilir-mudik. Taman Gluck Auf
jantung yang menghirup napas kota. Napas sepanjang rel
ditelan kabut. Masuklah ke kota ini, Lunto Kloof
kota dengan kereta yang meliuk, turunlah
dari puncak bukit masuk ke ceruk, londo-londo menyambut
dengan senyum eropanya. Di jalan itu,
orang rantai pernah terseret, cintamu
yang kutunggu di taman Gluck Auf. Kubayangkan
kau tengah duduk di ujung bangku taman yang lain.
Yogyakarta, 1212
Lada Hitam
Keberangkatan yang diiringi mantra para penyihir. Kembangkan layar
menuju Timur Jauh. Sedangkan pastoral menutup gerbang
altar doa, mereka khusuk mencari suara tuhannya.
Bandar kami, dagang yang bukan dongeng. Bisa kau tukar dengan mesiu
negeri Atas Angin atau kulit domba dari Hindustan.
Ia tertawa sambil menepuk meja. Perutnya tidak ubah seperti gentong anggur
oplosan yang menggelinding kesana-kemari. Tuhan telah menuntun kita
dengan suara langit. Suara yang didengar para raja.
Apa yang kau cari di negeri kami. Mesiu para penyihir katamu,
di dalam pengantar tidur anak-anakmu yang masih konon.
Kami terpingkal tertawakan empat ratus atau lima ratus tahun
akan datang masa depan kami yang menjilat-jilat sisa di ujung mangkuk
mi ayam dengan telunjuk korengan kami.
Tambahkan sesendok sambal hijau dan merica seujung kuku, teriaknya
berpeluh-peluh lebih berkeringat dari kuli pelabuhan.
Tabek Kunci, 140216
Ganjal Batu
Tak usah kau pana pandangi roda itu menggelinding. Tak usah
kau takjub pada pendakian yang memutus nafas sepersekian
detik dari jarak tuhan.
Tanjakan menuju kampung kami tajam. Lurah di bawahnya
memang dalam, menelan suara-suara yang kau lempar
sekuat tenaga ke dalamnya. Kami paham, bis buatan jerman
tahun tujuh puluhan itu sudah terlalu engah menanjak
tenanglah, Tuan. kami akan menanti di tanjakan
pertama. Percayalah sebelum Tuan mengoper persneling
karena terengah tak kuat mendaki kami
telah mengganjal dengan batu.
“Kami tahu, Tuan akan kembali ke kota. Tidak apa,
panaskan saja mesin Tuan dulu di sini.”
Tabek Kunci, 140220
Laku Kata
Aku makan tebu dengan urat-uratnya
tak ada sisa manis di sudut bibir,
tak ada sisa kata di ujung lidah
kau kunyah habis sampai ke akar-akarnya.
Padang, 140405
- Laku Kata; Puisi Pinto Anugrah (Padang) - 29 December 2015