Matematika dan Etos Keilmuan

Di sudut-sudut teras, gang, dan jalan obrolan mengenai matematika itu mudah muncul dari berbagai kalangan. Obrolan itu kerap pula mudah ditebak arahnya: matematika akan sering digambarkan sebagai satu hal masalah bagi kehidupan. Hal itu dimunculkan dengan klaim bahwa matematika itu penuh hitung-hitungan, rumit, dan membuat pusing kepala. Kesadaran itu tampaknya menjadi satu masalah dalam kebudayaan ilmu kita. Bagaimana hal yang perlu dilakukan?

Keluhan pernah disampaikan oleh HJ. Sriyanto dalam tulisannya “Momok Itu Bernama Matematika” dalam Majalah Basis edisi Juli–Agustus 1994. Ia mengungkapkan bahwa persepsi yang muncul biasanya didasarkan pada pengalaman kurang menyenangkan ketika belajar matematika di sekolah. Pendapat itu tentu ingin mengetengahkan bahwa keberadaan sekolah terkadang memunculkan masalah.

Namun, hal lain yang paling mendasar saya kira adalah keberadaan pemahaman di lingkungan masyarakat yang cenderung melanggengkan matematika itu penuh dengan sinis. Apa sebab? Lingkungan sekolah bagi proses tumbuh dan kembang anak adalah siklus lanjutan dari lingkungan keluarga dan masyarakat sekitarnya. Artinya, peranan keluarga dan lingkungan sosial menjadi modal berharga bagi seorang anak menempuh pendidikan di sekolah.

Kalau hal demikian terus terjadi, tampaknya ada semacam tantangan yang berarti pada kesadaran sosial masyarakat menaruh perhatian terhadap sains dan teknologi. Untuk menuju ke sana tidak ada cara lain sebagai penumbuh kesadaran tanpa ilmu matematika. Itu tak terlepas bahwa matematika menjadi ilmu yang mendasari pada banyak cabang keilmuan, khususnya adalah ilmu-ilmu eksperimen.

Matematika itu bahasa sebagaimana ditegaskan oleh Andi Hakim Nasoetion lewat bukunya Panduan Berpikir dan Meneliti Secara Ilmiah Bagi Remaja (1992). Buku itu penting pada masanya sebagai petunjuk untuk para pelajar dalam menggerakkan dan membuka diri terhadap perangai ilmiah. Ia menyebutkan sebagai bahasa matematika menggunakan istilah maupun lambang yang telah disepakati di dunia. Tanpa keberatan kita harus berkata, matematika itu sebagai bahasa yang menyatukan warga dunia.

Refleksi Nobel 2022

Pada tanggal 3–8 Oktober lalu, dunia menyambut kehadiran terobosan dari beberapa bidang ilmu dalam penghargaan Nobel yang telah dimulai sejak tahun 1901. Di Indonesia mungkin hanya beberapa orang saja yang sudi mengikuti itu. Kalau anggapan itu benar, akan menguatkan kenyataan bahwa ada tugas besar baik dari pemerintah, institusi, maupun lembaga penelitian dalam membangun keberadaan sumber daya manusia yang berwawasan ilmu, pengetahuan, dan teknologi.

Di beberapa bidang nobel yang ada, baik itu ekonomi, fisika, kimia, hingga kedokteran pastilah ada hal tersirat mengenai kemampuan bermatematika. Situasi ini harusnya menjadi refleksi bersama di tengah gelombang hiruk pikuk di media yang kerap kali memunculkan pikiran sains dan teknologi bagi Indonesia. Kita khawatir malah terjerembap—kehilangan momentum untuk memaknai fase itu dan justru menjadi bangsa yang abai terhadap matematika.

Tidak mengherankan, Bambang Hidayat, ahli astronomi dan direktur Observatorium Bosscha 1968–1999 memiliki banyak hal yang kemudian ia ketengahkan dalam bukunya Kepalungan Budaya: Batas Pengetahuan, Pemberdayaan Iptek dan Ilmuwan Masa Depan (Pustaka Jaya, 2022). Buku itu diterbitkan tepat sebulan sebelum usianya genap masuk 88 tahun pada bulan September. Persembahan yang perlu diberi hormat akan penyampaian pesan pada generasi saat ini.

Ia menyampaikan matematika sebagai bagian ilmu pengetahuan dasar (IPD). Pengamatannya anak-anak belum begitu mendapat perhatian hal itu dalam upaya mengaktualisasikan rasa ingin tahu terhadap gejala alam di sekitar. Sampai kemudian ia menyatakan: “Orangtua juga masih sangat kurang menyediakan bahan bacaan yang relevan dengan pengembangan minat terhadap IPD.”

Penelitian Terkini

Takdir keluarga sebagai gerbang membuka cakrawala ilmu bisa jadi belum disadari oleh banyak orang tua. Akhirnya satu jalan yang penuh diharapkan adalah keberadaan sekolah. Kalau mengacu pada komunikasi maupun interaksi yang hadir, tentu sangat tidak mencukupi. Selain itu, agaknya berkaitan dengan budaya menyediakan bacaan juga menjadi sebuah tanda tanya dan pekerjaan yang amat berat di tengah koneksi dunia dalam satu genggaman. Generasi muda patut disebut sebagai pertaruhan peradaban bangsa.

Dua ahli matematika dari ITB, Iwan Pranoto dan Aditya F. Ihsan menulis buku Berpikir Majemuk dalam Matematika (Kompas, 2020). Keduanya mendekatkan matematika pada ranah kebudayaan dan keseharian dalam menjadi warga negara Indonesia. Bahwa kemampuan matematika beriringan dengan kesadaran dalam meresapi kebhinnekaan. Matematika tidaklah membentuk keinginan dalam mempertahankan kebenaran tunggal, namun membuka diri seorang untuk memahami proses atau dalam bahasa matematika disebut dengan cara.

Upaya itu sebagai bentuk budaya tanding atas persepsi publik yang cenderung menegasikan matematika dengan keberagaman. Kita dibawa sadar nasionalisme bukan sebatas klaim akan merasa mencintai dan memiliki Indonesia, namun nasionalisme membawa kesadaran seorang warga negara untuk terus berani memijah kesadaran ilmiah. Nasionalisme terdiri dari bahasa ilmu dan pengetahuan yang dapat menghubungkan warga negara sedunia.[]

Joko Priyono
Latest posts by Joko Priyono (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!