Melintasi Bandar Monaci
Setelah bertahun-tahun, sebentang lahan tersibak
dan sebuah sungai tumbuh—terusan kecil
dengan arus tenang dan doa yang bergegas
dari para pelintas.
Tapi tak ada yang lebih gegas dari para penggali pertama,
ketika seorang pastor datang—Sasareu dari jantung Mediterania itu—
tekun mengayun cangkul bersama anak-anak asrama:
mereka yang memiliki sedikit hari libur di luar jam-jam belajar,
mereka yang terus bergerak menaklukkan jarak.
Maka antara dusun-dusun di Selatan dan Barat Daya,
pompong dan speed boat tak perlu lagi menyisir laut Siberut.
Sebuah terusan telah terbuka dan hari-hari kunjungan
lebih mudah direncanakan, lebih lekas sampai di tujuan.
Setelah bertahun-tahun, sejarah tak pernah dituliskan
—sejarah tentang seorang pastor dan sejalur kanal
dengan keramaian bandar kecil. Sejarah yang menyintas
dalam benak para pelintas dan pemintas,
sejarah yang terjaga dalam doa siapa saja:
mereka yang rindu pergi-pulang ke jauh hulu,
mereka yang kembali mengalir
dari sunyi barasi ke hiruk hilir.
Dan mereka—para pelancong yang mudah mabuk
perjalanan itu—akan menyembulkan kepalanya
dari lambung speed boat, danakar-akar udara
di kedua sisi kanal menyambutnya: akar udara bakau
yang terbuka, segar, dan payau.
Akar-akar udara yang membuat seorang pemandu akan berkata:
“Monaci, Monaci, dialah Otorino Monaci. Batang-batang bakau ini
pernah tumbuh dari peluhnya—bapa yang menuntun anak-anak
asrama berkubang tanah rawa selepas misa.”
Setelah bertahun-tahun, bapa itu pun berpulang
ke jantung setiap orang yang terus mengingatnya
dengan suka rela.
Ampenan, 15 November 2022
Lanskap Pelabuhan Lama, Minggu Pagi
Ini Minggu pagi yang biasa, waktu
yang hanya berjarak sejengkal dengan
hari-hari memulung pekerjaan. Dan kami
masih duduk di tanggul pelabuhan lama—benteng bagi
ingatan sejarah yang mati suri tergerus abrasi.
Sambil menggambar kapal dan ombak,
anakku bertanya tentang parade mobil tangki.
Sementara di kepalaku sesekali kota beraroma minyak,
sesekali sirine menyalak-nyalak:
pernah ada yang terbakar di dada penghuni kota
lebih ganas dari kobar, lebih sangit dari ingatan
yang sulit terhapuskan.
Ini Minggu pagi yang biasa.
Melengkapi piknik keluarga,
kami menyisir pesisir, ke timur
teduh pohon-pohon waru tugur
menjaga lapak-lapak kecil yang tumbuh
menutupi wajah perkampungan yang kumuh.
Dan kami segera melintas di sebuah gang sempit
sembari diam-diam menyembunyikan
kesedihan-kesedihan tak berguna
yang kami pungut dari mulut muara.
Ampenan, 23 Oktober 2022
Minggu Pagi di Pantai Skip, Ampenan
Sebuah kedai kopi—hanya lapak kecil yang ditinggalkan
dengan banner daftar menu berwarna pudar. Lalu tumpukan
ban berbanjar-banjar di belakang pagar kesatrian,
lalu perahu-perahu yang menunggu: perahu yang kembali
kesepian di Minggu pagi, perahu yang sekujur tubuhnya
berkeringat garam dan diam-diam merindukan
bau amis-basah, juga segar ikan-ikan.
Lalu langit biru-gersang—terlalu terang untuk laut
lapang di seberang pembangunan. Lalu bunyi deru yang itu:
mesin pengeruk tanah. Mesin penghancur kenangan pada
tanah pantai yang kerap menyerupa halaman depan pariwisata.
Pernah ada yang senang bertandang ke tempat ini. Mereka
menulis nama-nama yang mudah diingat, nama-nama tersayang
yang lekas terhapus gelombang pasang;
mereka membikin rumah, rumah pasir tempat singgah
sementara masa-masa tamasya; mereka membangun istana
pasir—kemegahan paling sederhana kaum pelesir biasa.
Lalu mereka beranjak tua, begitu juga bentang pantai ini.
Lalu batu-batu pemecah ombak berjaga di bibir muara,
menyediakan ruas tubuhnya bagi para pemancing:
mereka yang tak hendak berpaling dari isyarat mata kail,
mereka yang kerap melemparkan kepedihan-kepedihan
ke asin lautan Pantai Skip, Ampenan.
Ampenan, 21 Agustus-15 November 2022
Kota dengan Masa Lampau yang Tak Pernah
Benar-Benar Bisa Kita Jangkau
—K.B. Samarkand
Kita sudah tahu, sejak mobil es krim itu
memasuki mulut gang kerapu. Lalu,
seperti mereka yang sudah lama tinggal
atau terbiasa mangkal di Kampung Melayu Bangsal,
bergegas kita hentikan waktu:
menyesap es krim kerucut di tepi laut, dengan rasa
cokelat-vanila, bertabur meises warna bianglala
—warna paling manis selepas gerimis.
Kita sudah tahu, ombak pasang pelabuhan lama
selalu mengembalikan rupa-rupa sampah kota.
Tetapi di sore akhir pekan yang ringan
kita boleh sejenak berpura-pura melupakan,
seperti mereka yang sejak lama tahu
bahwa selalu ada waktu untuk menyembunyikan
apa saja yang menumpuk atau berserakan
di halaman belakang pembangunan.
Kuharap kau juga tahu, bahwa hari-hari
ketika kau terlepas dari kewajiban mengaji,
surau-surau—majelis-majelis ilmu—akan berpindah
ke sini sementara waktu. Dan kita bisa
membaca kesetiaan camar pada pucuk-pucuk tua
tonggak-tonggak dermaga. Dan kita bisa
merasakan dan melafalkannya dengan benar
pedih-manis terpisah dari kota
yang pernah menawan kita—kota dengan masa lampau
yang tak pernah benar-benar bisa kita jangkau.
Ampenan, 16 November 2022
Tiba di Muntei
Perahu panjang itu menepi
ke sebuah dermaga kecil di Muntei
—pintu gerbang yang lain
Siberut Selatan.
Seorang laki-laki menurunkan
bertandan-tandan pisang,
pisang bernas dan bergizi
yang dipanen dari barasi.
Lalu wajah seorang pengepul muncul
dari dalam sebuah toko dan berkata:
“Kami tak menerima pisang yang hampir matang.
Badai menunda kedatangan kapal dari Padang.”
Tapi laki-laki itu bersetuju
untuk harga seratus-dua ratus ribu
sebagai pengganti ongkos bensin
agar mesin pompong kembali menderu,
agar dirinya bisa kembali ke hulu
dan membawa sisanya yang tak seberapa
untuk keluarga.
Kini laki-laki itu sedikit lebih lega
dan mulai membakar rokoknya.
Setelah sepengisapan pertama,
ia memandang ke arah sungai:
sebuah pompong yang lain
—dengan berkarung-karung
buah pinang di lambungnya—
merapat ke dermaga.
Ampenan, 16 November 2022
- Puisi-Puisi Tjak S. Parlan - 22 November 2022
- Puisi-Puisi Tjak S. Parlan; Sebuah Malam di Kemiren - 24 August 2021
- Seekor Kucing yang Mati di Suatu Pagi - 23 April 2015
azza mumtazzah
👏👏👏