
Memajukan suatu bangsa tanpa memajukan pendidikannya seperti menegakkan benang basah. Memajukan ekonomi, meningkatkan kualitas demokrasi, hukum, dan sumber daya manusia merupakan konsekuensi logis dari majunya bidang pendidikan. Pertanyaan penting yang harus diajukan adalah: kenapa bangsa kita masih tertinggal jauh baik secara ekonomi maupun kualitas sumber daya manusianya dengan bangsa lain, bahkan dengan negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia? Paradigma pendidikan seperti apa yang dianut bangsa Indonesia selama ini?
Dari situ dapat disimpulkan ada problem serius dalam sistem pendidikan di Indonesia. Ironisnya, pascakemerdekaan sedikitnya sudah 11 kali kurikulum pendidikan diubah. Mengikuti perkembangan zaman barangkali motifnya, namun nuansa “politik” dan “ideologis” lebih kentara di balik proses pembuatannya. Bagi aparatus dominasi itu dilakukan untuk mempertahankan status quo. Ganti menteri ganti kurikulum (trial and error) seakan-akan sudah menjadi tradisi yang mendarah daging. Visi menteri lebih menonjol ketimbang visi negara: mencerdaskan kehidupan bangsa. Itu sebabnya, pertarungan “ideologis” tidak bisa dihindarkan. Pendeknya, ada agenda “kurikulum tersembunyi” yang sangat mungkin diselundupkan dalam proses pembentukannya.
Perubahan kurikulum tidak bisa dilepaskan dari cara kita melihat pendidikan. Tidak bisa dipungkiri ada dua perspektif utama dalam melihat dunia pendidikan dan persoalannya sebagaimana diklasifikasikan oleh Muchtar Buchori (1994). Tipe pertama, ialah orang yang melihat pendidikan secara mikro. Model tipe pemikir pendidikan ini lebih mementingkan pendidikan sebagai tujuan, bukan proses pencarian dan penggalian terus-menerus. Sedangkan tipe kedua ialah pemikir pendidikan dengan pendekatan makro. Kecenderungan dari tipe ini lebih melihat pendidikan sebagai wahana potensial untuk menghasilkan ide besar mengenai perubahan. Keduanya memiliki kekurangan dan kelebihannya. Jika tipe pendidikan mikro sangat teknis dan operasional, maka pendidikan dengan pendekatan makro bergulat dengan ide dan perubahan besar, namun tidak tahu mengimplementasikannya secara teknis-operasional.
Soedjatmoko bisa dikatakan pemikir pendidikan yang “berikhtiar” berdiri di tengah (meski secara genealogi ia seorang pemikir sosialis). Soedjatmoko ialah seorang pemikir yang jernih dalam melihat masa depan untuk menghasilkan lompatan besar. Sebagai seorang intelektual, Soedjatmoko enggan memunggungi pengetahuan dan tuntutan perubahan zamannya. Menjadi wajar jika Soedjatmoko lebih menekankan pendidikan yang antisipatoris (anticipatory education). Rasionalisasi dari pemikiran seperti ini lebih menekankan pendidikan yang kontekstual—menyesuaikan dengan tantangan zamannya dan bagaimana menghadapinya. Tentu saja pemikiran semacam ini akan diikuti juga pertanyaan filosofis-idealisnya: apakah pendidikan akan mengekor pada perubahan zaman atau pendidikanlah yang akan mengendalikan arus perubahan zaman tersebut?
Pendidikan Kontekstual
Soedjatmoko sangat memahami bagaimana seharusnya menjadi manusia Indonesia dalam menghadapi tantangan global. Filosofis pendidikan bagi Soedjatmoko ialah proses pencarian tiada ujung. Penggalian terus-menerus mengikuti perubahan zaman. Pendeknya, long life learning. Atas dasar itu, Soedjatmoko mengingatkan pentingnya peserta didik dipersiapkan secara kritis, adaptif, integratif, konseptual dan serba ingin tahu (confirm walled) di tengah dunia yang sedemikian cepat berubah. Cara berpikir kritis dan rasional menjadi penting untuk menghasilkan kreativitas sekaligus merespons perubahan yang sedemikian cepat (response time).
Itu sebabnya pendidikan kontekstual yang selaras dengan laku kehidupan peserta didik menjadi relevan untuk diterapkan di masa kini. Pendidikan kontekstual yang menyentuh kehidupan langsung peserta didiknya yang bergumul dengan realitasnya, bisa dikatakan proses pendidikan yang humanis. Sebab, pendekatan ini menjadikan peserta didik sebagai corong proses belajar mengajar di dalam kelas-kelas sekolah. Dengan begitu, peserta didik tidak akan tercerabut dari fitrahnya yang hanya akan menyebabkan dehumanisasi: teralienasi.
Itulah filosofis etis pedagogi kritis. Peserta didik dan pengajar sama-sama mengaktualisasikan diri dalam proses pencarian terus menerus. Senada dengan pemikir Mansour Fakih yang percaya bahwa sejatinya pendidikan ialah alat “produksi” kesadaran kritis: seperti kesadaran kelas, gender, dan kesadaran lainnya. Dengan cara itu, akan tumbuh kesadaran dalam menghadapi arus informasi yang sedemikian deras. Meski kita tidak bisa memunggungi perubahan zaman. Mengingat digitalisasi pendidikan merupakan “syahadat” modernisme yang tidak mungkin diperangi. Pendidikan yang menekankan teknologi merupakan keniscayaan bagi tuntutan perubahan zaman itu sendiri.
Rasionalisasi dari perspektif pendidikan dengan paradigma ini ialah mengimajinasikan segala risiko di masa depan guna menghadapi arus perubahan zaman. Sebagaimana kita tahu, abad 21 yang memasuki revolusi industri mutakhir, menjadikan teknologi (IPTEK) sebagai “iman” yang diyakini sekaligus dipercayai. Dunia pendidikan tidak mungkin mendurhakainya. Hanya dengan mengimplementasikan paradigma pendidikan dengan model ini, kemajuan bangsa di era globalisasi dapat memasuki arena gelanggang internasional yang sesungguhnya: compare advantage.
Salah satu wujud dari kemajuan teknologi di bidang pendidikan ialah sistem digitalisasi. Digitalisasi pendidikan merupakan antitesis dari pendidikan “tradisional” yang masih berpikir dengan cara kolonial: mengeksploitasi sumber daya alam. Pendidikan hari ini yang satu garis lurus dengan dunia teknologi lebih menekankan pada peningkatan sumber daya manusia. Cara berpikir ini yang mungkin sudah bergeser dalam pendidikan kita. Soedjatmoko pernah mengingatkan bahwa pengetahuan positivisme yang kita anut hari ini, tidaklah langgeng di kemudian hari. Bisa saja pengetahuan tersebut menjadi basi. Itu sebabnya dalam suasana tanpa “kepastian” di tengah gelombang arus informasi sedemikian deras, alih-pengetahuan tidaklah relevan untuk diterapkan. Seharusnya yang perlu dioptimalkan ialah peningkatan manusianya (learning capacity).
Bagi Soedjatmoko majunya sebuah bangsa tidak ditentukan oleh ekonomi, militer, sumber daya alam, dan budaya. Melainkan kecakapan intelektual dan kualitas manusianya dalam beradaptasi dengan tantangan zamannya: penguasaan IPTEK. Dengan bahasa sederhana untuk menghasilkan kecakapan intelektual dan kualitas manusianya ialah menyiapkan pendidikan dengan sebaik-baiknya sesuai dengan perkembangan zamannya.
Tantangan Pendidikan
Soedjatmoko juga tidak mengingkari bahwa salah satu parameter kesuksesan dari pendidikan yang menekankan pentingnya penguasaan teknologi bisa dilihat dalam kacamata pragmatisme: penyerapan tenaga kerja. Eksistensi pendidikan hari ini ialah bagaimana peserta didik link and match dengan kebutuhan industrialisasi pasar kerja. Terlebih di saat pandemi covid-19 yang meruntuhkan paradigma pendidikan arus utama: pembelajaran secara langsung (tatap muka).
Pandemi Covid-19 memaksa pendidikan jungkir balik jika tidak ingin dikatakan babak belur. Pendidikan harus keluar dari kebiasaan lapuk dengan segala ketidaksiapan dan keterbatasannya: pendidikan diselenggarakan dengan mekanisme daring (online). Siap atau tidak, pendidikan harus beradaptasi, berakselerasi, dan mencari jalan keluar memastikan proses belajar mengajar tetap berjalan. Meski diikuti sejumlah persoalan, dari teknis hingga filosofis. Salah satunya ialah ketidaksiapan pengajar yang membuat proses belajar mengajar secara daring menjadi minim implementasi. Pengajar tak ubahnya tukang instruksi. Akhirnya, pendidikan “gaya bank” kembali diterapkan dalam proses pembelajaran.
Meski begitu, kita tidak bisa menutup mata, bahwa digitalisasi pendidikan menjadi penting untuk diselenggarakan. Tentu saja ada dua persoalan fundamental yang masih terjadi sampai hari ini yang terus mengintai dunia pendidikan. Persoalan itu juga yang dicemaskan Soedjatmoko. Pertama, akses dan kesetaraan (access and equity). Mengingat peserta didik yang tersebar di berbagai wilayah jelas tidak seragam status bawaannya: ekonomi, infrastruktur, bahasa, hingga sosio-budayanya.
Permasalahan tersebut tidak cukup diselesaikan dengan cara teknikal. Dengan kata lain, memajukan digitalisasi pendidikan tanpa memajukan infrastruktur alat penunjang utamanya, hanya akan menyebabkan disparitas semakin menganga antar-peserta didik (kelas menengah atas dan kelas menengah bawah). Digitalisasi pendidikan yang sedang bergulir saat ini mungkin saja hanya dipahami oleh peserta didik yang tinggal di kota, bukan peserta didik yang tinggal di pinggiran desa—terlebih tinggal daerah terluar dan tertinggal. Pada akhirnya, peserta didik yang bersekolah di tempat murah dan ala kadarnya ibarat pacuan kuda yang berlari dari garis paling belakang saat dihadapkan dengan ideologi kompetisi.
Kedua, sebagaimana dicemaskan oleh Soedjatmoko, problem digitalisasi pendidikan yang menekankan pada penguasaan IPTEK, tanpa ada penguatan karakternya akan menyebabkan peserta didik bunuh diri secara spiritual dan sosial. Pada titik ini sangat mungkin dimensi etis dan kepekaan sosial peserta didik tergelincir. Implikasinya solidaritas sosial dan nasional dipertanyakan. Keadilan sosial semakin jauh untuk diwujudkan. Potret paling umumnya ialah karakteristik industrial di wilayah perkotaan. Bahaya dari eksistensinya pendidikan yang mengedepankan rasionalitas teknokratik hanya akan menghasilkan pengembangan diri yang bersifat teknis materialis sekaligus individualistik.
Meminjam Habermasian, implementasi dari model pendidikan yang hanya menekankan pada aspek pengetahuan teknis-praktis, yang didesiminasikan dalam proses pembelajaran, hanya akan menghasilkan rasionalitas teknokratik yang lebih menekankan pada konformitas dan adaptasi belaka. Dengan bahasa sederhana, digitalisasi pendidikan dalam proses pembentukannya hanya untuk memenuhi dunia pasar kerja yang siap pakai. Peserta didik ibarat adonan yang dicetak untuk memenuhi kebutuhan industri belaka.
Oleh karena itu, pendidikan karakter (character building) harus ditanamkan sebagai satu kesatuan dalam paradigma pendidikan. Tentu kita tidak ingin peserta didik sebagai tulang punggung bangsa mengalami kehampaan jiwa, ketidakpedulian terhadap keadilan dan merosotnya solidaritas sosial. Di saat bersamaan pemerintah juga harus mendorong pembangunan infrastruktur pendidikan di daerah tertinggal. Jangan sampai model pendidikan kita ibarat membangun rel untuk dilewati sendiri. Kurikulum pendidikan seharusnya tidak hanya berorientasi pada “pemberdayaan manusia”, tetapi meningkatkan “sumber daya manusia”. Itulah antitesis pendidikan dalam renungan Soedjatmoko guna menghadapi tantangan bangsa di masa depan: meningkatkan kecakapan sekaligus menguatkan kepekaan.
- Paulo Freire; Pendidikan Orang Tertindas - 4 January 2023
- Lekra yang Dihapuskan dari Sejarahnya - 5 October 2022
- Membaca Soedjatmoko; Pendidikan yang Humanis - 27 July 2022
Alfonsius Febryan
Saya baru tahu berkat bacaan ini, Soedjatmoko punya gagasan juga bagi pendidikan.
Makasih atas referensinya.
kalo ada waktu bahas Paulo Freire, bang..
Perpuskita
Bang, mau tahu cara pandang bang Ade perihal sastra dalam kacamata pendidikan?