Bertepatan dengan hari kemerdekaan Indonesia yang kelima atau tepatnya pada tanggal 17 Agustus 1950, sejumlah seniman berkumpul di kediaman M.S. Ashar untuk membentuk organisasi kebudayaan yang diberi nama Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Mereka yang menghadiri pertemuan tersebut di antaranya ialah A.S. Dharta, M.S. Azhar, Henk Ngantung, Joebar Ajoeb, dan Sudharnoto. Satu hal yang menarik dari pertemuan itu yakni keberadaan Njoto—yang bersama D.N. Aidit menghidupkan kembali Partai Komunis Indonesia (PKI).
Setelah pertemuan di rumah M.S. Ashar dicapai kesepakatan: A.S. Dharta terpilih sebagai sekretaris umum pertama Lekra. Ada beberapa alasan dibentuknya Lekra, salah satunya seperti yang dikatakan Hesri Setiawan, Sekretaris Pimpinan Daerah Lekra Jawa Tengah, dikutip dari buku Lekra dan Geger 1965 (Tempo): “Pembentukan Lekra tak bisa dilepaskan dari situasi politik tanah air kala itu. Setelah Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda pada 1949, Indonesia tidak bisa dikatakan merdeka seratus persen. Jadi, pembentukan Lekra bertujuan membebaskan diri dari ketergantungan pada negeri penjajah.”
Pendapat lain disampaikan Rhoma Dwi Aria Yuliatri dan Muhidin M. Dahlan dalam Lekra Tak Membakar Buku yang lebih menekankan pada aspek etis ketimbang nuansa politis: “Lekra muncul untuk mencegah kemerosotan lebih lanjut dari garis revolusi. Bukan cuma para politikus yang mengemban tugas penting ini, melainkan para pekerja kebudayaan.”
Peran Njoto
Dalam perjalanannya barangkali di antara para pendiri Lekra, Njoto mempunyai pengaruh cukup besar, terutama dalam menjaga “garis putih” Lekra agar tidak berubah menjadi merah PKI. Dalam berbagai catatan, Njoto dan Aidit kerap di persimpangan jalan dalam memandang peran pekerja kebudayaan. Njoto berpandangan bahwa tidak semua seniman Lekra berhaluan Komunis. A.S. Dharta misalnya, yang berkhidmat di Partai Murba yang didirikan oleh Tan Malaka.
Perbedaan pandangan itu mula yang membuat Aidit mencurigai Njoto jika koleganya itu akan membuat partai kiri baru di luar garis PKI. Atas dasar itu terselenggaralah Konferensi Sastra dan Seni Revolusioner pada September 1964 di Jakarta atas inisiasi Aidit. Dikutip dari Lekra dan Geger 1965, Aidit menutup orasinya dengan seruan patriotik: Ayo, bersama Bung Karno kita bina kebudayaan yang berkepribadian nasional.
Terlepas dari perselisihannya dengan Aidit, Njoto adalah seorang intelektual muda yang dihormati. Mantan jurnalis Harian Rakjat sekaligus seniman Lekra, Amarzan Ismail memberikan kesaksiannya dengan menyebut Njoto sebagai seniman multi kemampuan. Maka tidak heran jika ia tidak hanya mahir berorasi, tetapi juga cakap dalam menulis esai, puisi, dan fasih berbicara tentang musik. Pendeknya: Njoto Seniman serbabisa. Di situ kehebatannya.
Njoto lahir pada 1927 di Jember, Jawa Timur. Ayahnya, Raden Sosro Hartono, mendidiknya ala militer: keras, tegas, dan disiplin. Pada saat usianya berusia 16 tahun, anak muda cungkring itu sudah dipercaya menjabat wakil Partai Komunis Indonesia Banyuwangi dan menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat di Yogyakarta. Padahal, saat itu ia masih duduk di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs atau orang pribumi menyebutnya MULO-setingkat sekolah menengah pertama di Solo, Jawa Tengah. Saat itu, ia menjabat sebagai wakil ketua Central Comite Partai Komunis Indonesia atau yang kerap ditulis CC PKI.
Selain aktif di lembaga Lekra dan Partai Komunis Indonesia, Njoto juga menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Harian Rakjat. Media koran harian yang juga menjadi terompet Partai Komunis Indonesia ini, Njoto memberikan ruang seluas-luasnya pada seniman menuangkan pikirannya. Njoto adalah seorang egaliter tulen yang mau mendengar sekaligus membantu seniman lain jika ada yang ditimpa kesulitan.
Di bawah kepemimpinannya bisa dikatakan Harian Rakjat mencapai puncak kejayaan. Harian Rakjat yang berkantor di Jalan Pintu Besar Selatan Nomor 93, Kota Jakarta, serupa tapi tak sama dengan koran komunis dari Soviet: Pravda. Ada kekhasan—sama-sama menggunakan gaya bahasa yang meledak-ledak, tanpa tedeng aling-aling, dan tembak di tempat. Gaya bahasa semacam itu diyakini mudah dimengerti dan disukai oleh golongan kelas sosial bawah, kaum buruh—proletar.
Kejayaan Harian Rakjat dikuatkan dengan pernyataan Amarzan. Menurutnya, oplah Harian Rakjat atau HR mencapai 100 ribu eksemplar. Sedangkan dalam catatan Program dan Pelaksanaan susunan Kementerian Penerangan 1958, menyebutkan oplah HR kurang lebih di angka 60 ribu eksemplar. Angka yang fantastis pada masa itu.
Kongres pertama dan terakhir, dan jurus 1-5-1
Pada tahun 1959, Solo, Taman Sriwedari di Jalan Brigadir Jendral Selamet Riyadi menjadi saksi bisu atas terselenggaranya hajatan besar kongres pertama sekaligus yang terakhir Lekra. Gapura dihiasi lukisan, umbul-umbul dan bendera merah putih tegak berkibar di sepanjang tepi jalan. Ribuan manusia berkumpul menyaksikan kemeriahan dan hiburan. Di area taman satu demi satu seniman Lekra bergantian menampilkan pementasan puisi, ludruk, ketoprak, wayang orang, reog, tarian, dan nyanyian.
Gaung terompet kemeriahan hari itu menandai dibukanya kongres. Luar biasanya pesta kebudayaan berlangsung hingga sepekan. Setiap malam jumlah pengunjung mencapai 15 ribu orang. Ini adalah bukti pesona Lekra sebagai medan magnet bagi para seniman kala itu, yang juga menandakan kematangan organisasi Lekra.
Sementara dalam kerja berkesenian, pemimpin dan anggota kongres menggoreng matang arah perjuangan Lekra yang dibuktikan dengan merevisi dan merumuskan konsep kerja berkesenian. Hasilnya adalah lahir konsep 1-5-1. Yang berarti, kerja kebudayaan bergariskan politik sebagai panglima dengan lima kombinasi: meluas dan meninggi, tinggi mutu ideologi dan tinggi mutu artistik, tradisi baik dan kekinian revolusioner, kreativitas individual dan kearifan massa, serta realisme sosialis dan romantik revolusioner. Semua konsep itu diwujudkan dengan satu badan dan jiwa yakni turun ke bawah (turba). Bisa dikatakan konsep kesenian ini terinspirasi dari estetika realisme sosialisme ala Uni Soviet.
Sejalan dengan ditelurkannya konsep kerja berkesenian 1-5-1, Lekra merombak struktur organisasinya beberapa bulan setelah kongres di Solo. Lekra menyusun lembaga kreatif, pada Februari 1959, Lembaga Seni Rupa berdiri, diikuti oleh Lembaga Film Indonesia pada tahun yang sama, April 1959. Masih di bulan dan tahun yang sama, lembaga kreatif lainnya juga berdiri, yakni Lembaga Sastra Indonesia yang diketuai oleh Bakrie Siregar. Di tahun yang sama berdiri Lembaga Musik Indonesia, sedangkan yang berdiri belakangan adalah Lembaga Tari Indonesia, sebelum Lembaga Seni Drama Indonesia dibentuk pada tahun 1964.
Seteru yang senasib: Manikebu versus Lekra
Dibentuknya Lekra mendapat tanggapan keras dari pelaku seniman lain, yang tidak sejalan dengan prinsip kerja berkesenian ala Lekra yang dirumuskan dengan tegas dan keras. Sebagaimana termaktub dalam mukadimah lembaga itu. Kalimat pertamanya begitu ngeri jika tidak mau dikatakan revolusioner: Rakjat adalah satu-satunya penjipta kebudajaan Indonesia baru hanya dapat dilakukan oleh Rakjat …”
Hal itu tampak pada prinsip 1-5-1 yang menyatakan kerja kebudayaan yang bergariskan politik sebagai panglima. Maka pada 17 Agustus 1963, sejumlah seniman ambil bagian guna mendeklarasikan Manifestasi Kebudayaan. Sebut saja H.B. Jassin, Trisno Sumardjo, Wiratmo, Goenawan Mohamad, A. Bastari, Soe Hok Djin atau yang dikenal dengan nama Arief Budiman. Dalam petisi manifesnya mereka mengusung konsep humanisme universal: Bagi kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia. Kami tidak mengutamakan salah satu sektor kebudayaan di atas sektor kebudayaan lain.
Usaha itu tidak mempunyai tujuan lain selain menentang propaganda Lekra, juga sebagai ikhtiar untuk merespons tatanan sosial-budaya yang serba terpimpin. Meski terbilang berumur pendek, nyatanya keberadaan Manifestasi Kebudayaan membuat Presiden Soekarno, PKI, Lekra, dan kelompok Pro-Manipol USDEK lainnya gerah. Mereka ramai-ramai “mengeroyok” dan “menggebuki” kelompok Manifestasi Kebudayaan. Mereka yang tergabung dalam manifes pun harus menjadi korban.
Slogan Manipol USDEK-Manifesto Politik, UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia yang digaungkan Soekarno merupakan suatu jalan garis lurus proses penciptaan karya seni. Mereka yang menolak dan melanggar rambu-rambu tersebut akan diintimidasi, diganyang, atau bila perlu digelari kontrarevolusi. Puncaknya pada 8 Mei 1964, Manifestasi Kebudayaan secara resmi dilarang oleh Presiden Soekarno.
Tahun 1965 bisa jadi adalah tahun puncak kejayaan Lekra. Sebab, pasca-Partai Komunis Indonesia diduga terlibat upaya kudeta atau yang dikenal dengan peristiwa G30S/PKI, Lekra terkena imbasnya. Semua yang berbau komunis dikejar-kejar, disiksa, dipenjarakan, diasingkan, dan dibunuh. Tidak terkecuali para seniman Lekra. Seperti bandul jam yang bergerak berlainan, apa yang mereka alami jauh lebih mengerikan ketimbang para pendukung manifes (yang diintimidasi oleh rezim Soekarno).
Sejatinya, tanggal 17 Agustus 2022 tahun ini, bukan hanya merayakan hari jadi Negara Kesatuan Republik Indonesia, melainkan juga hari lahirnya organisasi kebudayaan besar yang pernah ada di Indonesia—tidak lain ialah Lekra. Namun, badai politik menghancurkannya hingga ke akar-akarnya hanya dalam kedipan mata.
Lekra setelah keruntuhannya terus-menerus disingkirkan baik dari teks maupun ingatan masyarakatnya dan generasi setelahnya. Mereka dihapus dari sejarah bukan hanya dengan cara dilupakan, namun juga dihilangkan identitasnya. Seperti dikisahkan oleh Amir yang nasib patung kayu milik Amrus, yang diberi tajuk Keluarga Tandus di Senja. Patung yang berada di Akademi Sosial Aliarcham, Jakarta, dibakar massa. Faktor kebencian menjadi alasannya. Pematungnya adalah anggota Lekra dan patungnya ditempatkan gedung milik PKI. Tentu saja kita bisa menduga siapa yang merongrongnya.
Ibarat makam yang gelap nan sunyi, kuburan dan nisan Lekra tidak lagi ditemukan. Jalan Cidurian Nomor 19 bekas kantor sekretariat Lekra tidak lagi berbekas. Sebab, telah ditindas oleh bangunan lain. Kini berdiri di atasnya Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Tri Dharma Widya. Tidak hanya itu, bertahun-tahun karya sastrawan Lekra dibelenggu—dicap sebagai bacaan terlarang. Barangkali, itu hanya satu dari sekian jejak Lekra yang coba dihapuskan dan disingkirkan dari sejarahnya.
Tetapi, karya sastra akan tetap dirayakan meski hanya ditulis pada selembar daun. Di dalam novel, puisi, dan drama—tragedi kemanusiaan ditulis ulang. Bukan atas panggilan ideologi, tetapi seruan solidaritas kemanusiaan. Pertanyaan penting yang sering diajukan dan terus-menerus diproduksi sampai dewasa ini adalah: Benarkah Lekra sebagai organisasi resmi PKI? Seorang eks anggota Lekra pernah berkelakar sebagaimana dikutip dari Lekra dan Geger 1965: “Aidit gagal mem-PKI-kan Lekra, tetapi Soeharto justru berhasil mewujudkannya.”
- Paulo Freire; Pendidikan Orang Tertindas - 4 January 2023
- Lekra yang Dihapuskan dari Sejarahnya - 5 October 2022
- Membaca Soedjatmoko; Pendidikan yang Humanis - 27 July 2022