
Beliau adalah persis sebagaimana judul di atas. Tidak lebih. Tidak kurang. Data yang saya miliki, Kitab Nafahat al-Unsi min Hadharat al-Qudsi karya Mulla ‘Abdurrahman al-Jami, sama sekali tidak menunjukkan siapa sebenarnya beliau. Tidak diketahui pula dari mana dan di mana beliau lahir dan wafat. Pun, tidak diketahui pula bergaul dengan siapa saja beliau di dalam kehidupannya.
Betul-betul minim pengetahuan saya tentang beliau. Tidak adakah data tentang beliau di kitab-kitab biodata para sufi yang lain. Mungkin ada. Mungkin juga tidak ada. Karena seorang editor yang cukup mumpuni sekali pun tentang para sufi juga mengatakan bahwa “aku juga tidak menemukan di dalam kitab-kitab yang kumiliki adanya keterangan tentang beliau.”
Akan tetapi sangat jelas, utamanya bagi saya pribadi, bahwa ketiadaan yang saya cari bukanlah merupakan alasan bagi saya untuk tidak menuliskannya tentang beliau. Bukankah apa yang kita sebut sebagai hal-ihwal yang perlu memang ‘tidak’ berkaitan dengan segala sesuatu yang sesungguhnya remeh-temeh?
Dengan tegas beliau pernah menuturkan bahwa seseorang yang telah merindukan Allah Ta’ala akan dengan mudah mendapatkan kelezatan di saat menjelang kematian, jauh lebih lezat dibandingkan rasa madu yang telah dia tenggak berkali-kali di tengah kehidupan ini.
Ini jelas merupakan kabar gembira bagi siapa pun yang telah sanggup menciptakan dirinya terbebaskan dari berbagai macam dera ketika sedang mempersembahkan sujud yang paling wangi dan paling fitri di hadapan Tuhannya. Yaitu, ketika dia telah menjadikan segala sembah sujud yang dihablurkan kepada hadiratNya mutlak telah dinikmati dengan sepenuhnya. Sudah menjadi kenikmatan yang paling sempurna.
Hal tersebut memang sangat dimungkinkan. Utamanya bagi seseorang yang telah menjadikan dirinya sebagai ‘sesuatu’ yang telah murni meringkuk dengan penuh kenikmatan di dalam genggaman hadiratNya. Karena sesungguhnya tidak ada hari yang lebih menggembirakan baginya dibandingkan hari ketika Malaikat Maut datang menjemputnya.
Di dalam kehidupan kita ini, kita tidak boleh takut terhadap apa pun. Kita mesti senantiasa mengharapkan diri terhadap Tuhan yang sebenarnya paling kasih sayang kepada kita dibandingkan siapa pun yang lain. Kita tidak mungkin tak tersambung dengan negeri asal-usul yang kepadanya kita memperlabuhkan segala impian dan harapan kita.
Kita mesti terpaut dengan janji agung kita, tidak mungkin tidak. Yaitu, ketika kita masih merupakan bagian dari alam roh, jauh sebelum dilahirkan, sebelum kita tercampak di dunia yang serba terbatas ini, sebelum kita mengenal hari dan tanggal, sebelum kita memasuki tahun-tahun kefanaan, sebelum kita merasakan tidak berdaya memasuki antrean singkat yang bernama kematian. Di saat itu, seluruh diri kita berjanji untuk senantiasa setia mempersembahkan sujud yang paling bergema di dalam kehidupan diri kita kepada Allah Ta’ala.
Dunia ini adalah penjara bagi orang-orang beriman. Duduk di dalamnya dengan perasaan paling santai adalah tindakan tidak terpuji yang sangat memalukan. Dunia ini tidak lain merupakan hilah, tempat hal-ihwal yang semula tidak boleh berubah menjelma segala sesuatu yang menjadi sanjungan.
Jika hilah itu terputus, maka dapat dipastikan bahwa pintu hakikat itu pasti akan terbuka. Dan anehnya, seseorang akan sampai pada kehidupan yang abadi, kehidupan yang sesungguhnya. Aduhai. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Hamzah al-‘Uqaily - 7 February 2025
- Syaikh Amirjah Bayya’ al-Fikhar - 31 January 2025
- Syaikh Abu al-Muzhaffar at-Tirmidzi - 24 January 2025
Natasya Eka
bahasa dan alurnya mudah dimengerti. penokohan serta feelnya sangat terasa untuk dibaca membuat para pembaca tertarik untuk membaca kelanjutan dari kata-perkatanya